Panglima TNI Jenderal Moeldoko ketika mendatangi Istana Kepresidenan |
Rencana Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Moeldoko untuk mengembalikan jabatan wakil panglima TNI ditentang oleh lembaga swadaya masyarakat Imparsial. Menurut LSM yang mengawasi dan menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia ini, kehadiran wakil panglima bisa menghadirkan dualisme komando dalam tubuh TNI.
Wakil Direktur Imparsial Al Araf menyatakan, kewenangan wakil panglima yang kemungkinan akan sama dengan panglima TNI akan memberikan masalah koordinasi dan kendali terhadap bawahannya.
"Menghadirkan kembali jabatan wakil panglima TNI justru berpotensi menimbulkan dualisme komando dalam diri TNI," ujar Al saat ditemui di kantor Imparsial, Kamis (19/3).
Menurutnya, implikasinya bukan hanya membuat masalah di tingkat koordinasi tapi yang lebih serius adalah persoalan kendali dan kebijakan yang mungkin kontradiksi antara panglima TNI dan wakil panglima.
Al menyebutkan, dalam Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia tidak disebutkan harus ada wakil panglima TNI. Dia menyatakan dalam UU tersebut hanya tercantum keharusan keberadaan panglima TNI.
Selain itu, Imparsial juga menekan agar Presiden Indonesia Joko Widodo lebih mementingkan dua agenda yang lebih penting jika ingin melakukan reorganisasi dalam tubuh TNI. Agenda pertama adalah melakukan restrukturisasi Komando Teritorial yang merupakan salah satu agenda reformasi TNI saat Indonesia memasuki Era Reformasi.
Agenda kedua adalah perubahan peradilan militer dalam tubuh TNI. Al mengatakan, peradilan militer harus diubah agar keadilan terhadap anggota TNI bisa sama dengan rakyat sipil.
Al menambahkan, peradilan militer selama ini mengandung banyak kritik karena praktik peradilan seringkali menjadi sarang imunitas bagi anggota TNI yang melakukan tindak pidana. Selain itu jika dipidana pun anggota TNI sering tidak mendapatkan vonis maksimal.
Maka dari itu Al mengatakan jika anggota TNI melakukan kejahatan hukum umum lebih baik diselesaikan di pengadilan umum. Namun jika melakukan pelanggaran militer barulah diselesaikan di pengadilan militer.
"Kan mereka juga rakyat sipil, maka bisa diselesaikan di pengadilan umum jika melakukan kesalahan umum," ujarnya.
"Kami menuntut Jokowi untuk memprioritaskan agenda reformasi TNI yang belum dijalankan. Presiden perlu meninjau ulang rencana menghadirkan kembali jabatan Wakil Panglima TNI," lanjut Al.
Sebelumnya Moeldoko memunculkan wacana pengangkatan wakil panglima TNI, menggantikan jabatan kepala staf umum (Kasum).
Moeldoko menjelaskan, dalam organisasi militer, panglima dan wakilnya itu berada dalam satu 'kotak', sehingga jika panglima sedang tidak ada atau berhalangan, maka wakil panglima dapat langsung menggantikannya.
"Tapi Kasum itu hanya mengkoordinasikan asisten, jadi kalau panglima tidak ada, maka Kasum tidak bisa act sebagai panglima. Bedanya itu," ujar Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (18/3). (CNN Indonesia)
Wakil Direktur Imparsial Al Araf menyatakan, kewenangan wakil panglima yang kemungkinan akan sama dengan panglima TNI akan memberikan masalah koordinasi dan kendali terhadap bawahannya.
"Menghadirkan kembali jabatan wakil panglima TNI justru berpotensi menimbulkan dualisme komando dalam diri TNI," ujar Al saat ditemui di kantor Imparsial, Kamis (19/3).
Menurutnya, implikasinya bukan hanya membuat masalah di tingkat koordinasi tapi yang lebih serius adalah persoalan kendali dan kebijakan yang mungkin kontradiksi antara panglima TNI dan wakil panglima.
Al menyebutkan, dalam Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia tidak disebutkan harus ada wakil panglima TNI. Dia menyatakan dalam UU tersebut hanya tercantum keharusan keberadaan panglima TNI.
Selain itu, Imparsial juga menekan agar Presiden Indonesia Joko Widodo lebih mementingkan dua agenda yang lebih penting jika ingin melakukan reorganisasi dalam tubuh TNI. Agenda pertama adalah melakukan restrukturisasi Komando Teritorial yang merupakan salah satu agenda reformasi TNI saat Indonesia memasuki Era Reformasi.
Agenda kedua adalah perubahan peradilan militer dalam tubuh TNI. Al mengatakan, peradilan militer harus diubah agar keadilan terhadap anggota TNI bisa sama dengan rakyat sipil.
Al menambahkan, peradilan militer selama ini mengandung banyak kritik karena praktik peradilan seringkali menjadi sarang imunitas bagi anggota TNI yang melakukan tindak pidana. Selain itu jika dipidana pun anggota TNI sering tidak mendapatkan vonis maksimal.
Maka dari itu Al mengatakan jika anggota TNI melakukan kejahatan hukum umum lebih baik diselesaikan di pengadilan umum. Namun jika melakukan pelanggaran militer barulah diselesaikan di pengadilan militer.
"Kan mereka juga rakyat sipil, maka bisa diselesaikan di pengadilan umum jika melakukan kesalahan umum," ujarnya.
"Kami menuntut Jokowi untuk memprioritaskan agenda reformasi TNI yang belum dijalankan. Presiden perlu meninjau ulang rencana menghadirkan kembali jabatan Wakil Panglima TNI," lanjut Al.
Sebelumnya Moeldoko memunculkan wacana pengangkatan wakil panglima TNI, menggantikan jabatan kepala staf umum (Kasum).
Moeldoko menjelaskan, dalam organisasi militer, panglima dan wakilnya itu berada dalam satu 'kotak', sehingga jika panglima sedang tidak ada atau berhalangan, maka wakil panglima dapat langsung menggantikannya.
"Tapi Kasum itu hanya mengkoordinasikan asisten, jadi kalau panglima tidak ada, maka Kasum tidak bisa act sebagai panglima. Bedanya itu," ujar Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (18/3). (CNN Indonesia)