Tiga Calon Kepala BIN Pemerintah Dianggap Tak Layak

Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Marciano Norman (kanan) ketika menerima kunjungan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi (kiri) di Kantor Pusat BIN, Jakarta, Selasa (16/12). Antara Foto/HO/Humas KemenPAN
Tiga nama kandidat calon Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) baru yang dimiliki pemerintah yaitu Letnan Jenderal (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin, mantan Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali, dan mantan Wakil Panglima TNI Jenderal (Purn) Fachrul Razi, dipandang tidak layak memimpin lembaga intelijen negara tersebut. Ketiga orang itu dianggap tidak bersih dari dugaan pelanggaran HAM dan konflik politik yang membayangi sejarah hidup mereka.

Sekretaris eksekutif Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM), Choirul Anam, menilai BIN ke depannya harus menjadi lembaga yang menjalankan tugas sesuai hukum dan koridor penegakan HAM di Indonesia. Oleh karena itu, menurutnya posisi Kepala BIN harus diisi oleh tokoh yang tidak memiliki potensi keterlibatan dalam kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

"Kasum sangat keberatan atas pencalonan As'ad Said (sebagai calon Kepala BIN) selama ia belum pernah diperiksa di pengadilan sampai keluar putusan tetap. Kecuali dia pernah diadili dan terbukti bersih atau tidak dirinya dalam kasus Munir, kami baru menerima. Fakta yg KASUM dapatkan dari investigasi ada keterlibatan As'ad dalam pembunuhan Munir," ujar Anam dalam acara diskusi bertema 'Tarik Ulur Kepala Badan Intelijen Negara' di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta, Senin (23/2).

Menurut Anam, As'ad Said saat ini masuk sebagai nominasi terkuat calon Kepala BIN karena ia dipandang memiliki unsur sipil oleh Pemerintah. Namun, dugaan keterlibatan As'ad dalam kasus pembunuhan Munir tampak dilupakan oleh Pemerintah dalam proses seleksi calon Kepala BIN.

Saat peristiwa pembunuhan Munir terjadi 2004 lalu As'ad diketahui masih menjabat posisi sebagai Wakil Ketua BIN. "Secara struktur BIN saat itu, dia bertanggung jawab mengeluarkan uang untuk operasi intelijen dan mengurusi segala administrasi. Jadi ada dugaan As'ad terlibat kasus tersebut (pembunuhan Munir) karena wewenangnya yang besar," ujar Anam menjelaskan.

Penolakan juga datang terhadap nama Sjafrie Sjamsoeddin dan Fachrul Razi sebagai kandidat calon Kepala BIN baru. Baik Sjafrie maupun Fachrul dianggap sempat terlibat beberapa peristiwa politik pada rentang tahun 1998-1999 yang masih menjadi misteri hingga saat ini.

"Fachrul adalah bagian dari masa lalu. Persinggungannya dengan kekuasaan saat transisi politik 1998 lalu membuat posisinya tidak netral. Sjafrie juga saya kira salah satu Jenderal yang bermasalah karena dugaan keterlibatan dalam beberapa peristiwa politik di tahun 1998," ujar Ketua Badan Setara Institute Hendardi dalam kesempatan yang sama.

Untuk menghasilkan Kepala BIN yang sesuai harapannya, Hendardi mengusulkan uji publik dilakukan terhadap calon pemimpin lembaga intelijen negara itu. Selain itu, ia juga ingin agar proses pemilihan Kepala BIN nantinya terbuka dan dapat disaksikan oleh masyarakat luas.

"Calon Kepala BIN harus memberikan harapan baru bagi produk-produk kerja intelijen yang kontributif bagi kemajuan pembangunan bangsa. Proses pemilihan harus terbuka dan calon-calonnya harus diketahui publik serta melalui proses seleksi publik. Karena itu perlu dipertimbangkan calon-calon yang independen, bersih, dan bebas dugaan keterlibatan pelanggaran HAM," kata Hendardi.

Selain memberi nilai buruk terhadap tiga nama calon Kepala BIN dari Pemerintah, dalam acara di Komnas HAM Senin sore tadi juga disampaikan nama-nama calon Kepala BIN yang dipandang memiliki kemampuan dan integritas yang tinggi.

"Calon-calon Kepala BIN yang baik menurut saya adalah Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, politisi PDIP TB. Hasanuddin, Andreas Parera, dan peneliti LIPI Ikrar Nusa Bhakti," ujar Direktur Program Imparsial Al Araf.

Sumber

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait