Tak masuk akal langit Indonesia dikuasai Singapura


Indonesia belum memiliki kedaulatan penuh di udara. Saat ini, pengaturan lalu lintas udara atau Air Traffic System Provider (ATS) masih berada di bawah kendali Singapura. Sejak tahun 1996, Indonesia menyerahkan wewenang ATS pada Singapura karena saat itu Indonesia belum mampu menyelenggarakan ATS sendiri.

Mantan Kepala Staf TNI AU, Marsekal (Purn) Chappy Hakim pernah mengkritisi masalah ini. Lewat website pribadinya Chappy menulis persoalan ini.

"Republik Indonesia sebagai negara yang jauh lebih besar seharusnya bertindak sebagai negara yang memiliki otoritas pengaturan udara di atas negara- negara kecil di sekitarnya, bukan sebaliknya," tulis pensiunan bintang jenderal empat ini.

Chappy juga mempertanyakan motif Singapura yang mempertahankan mati-matian pengaturan ATS ini. Chappy menduga ada kepentingan militer di baliknya.

"Kita tidak menyadari bahwa seiring dengan itu mereka dapat menggunakan kawasan udara sebagai latihan pesawat militernya dengan sangat leluasa sampai jauh di luar batas (yang berarti jauh di dalam kawasan RI) tanpa kita dapat turut mengawasinya. Di sisi lain kondisi air traffic control (ATC) kita sendiri, instansi pengatur lalu lintas udara nasional, sudah berada dalam kondisi yang sangat parah," katanya.

Dalam Keputusan Presiden nomor Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7 Tahun 1996 tentang Ratifikasi Perjanjian FIR (flight information region) dengan Singapura, diatur sistem navigasi timur di Indonesia dikuasai Singapura selama 15 tahun. Saat itu Indonesia belum mampu mengatur sistem navigasi udara di Indonesia Timur.

Masalah soal kedaulatan ini juga pernah dikeluhkan TNI AU. Saat itu Panglima Komando Operasi TNI AU I, Marsekal Muda TNI Eddy Suyanto mengakui jika wilayah Batam dan sekitarnya masih mengandalkan pengaturan lalu lintas udara dari Singapura. Seharusnya hal ini tidak terjadi karena Indonesia harus berdaulat di wilayah udaranya sendiri.

"Kami akan terus membicarakan agar bisa diatur sendiri," ujar Eddy seperti ditulis kantor berita antara beberapa waktu lalu.

Tentu saja. Sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, menyebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia. Pasal 6 UU No 1/2009 menyebutkan, dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara NKRI, pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara.

Isu soal kedaulatan wilayah udara Indonesia ini kembali mencuat setelah menteri BUMN Dahlan Iskan mencetuskan agar Indonesia memiliki sistem pengaturan lalu lintas udara sendiri. Dengan demikian Indonesia tidak perlu lagi bergantung pada Singapura.

"Indonesia di udara belum berdaulat penuh. Sekarang kontrolnya ada di negara tetangga, itu bukan salah negara tetangga," ungkap Dahlan di Jakarta, Kamis (15/3).

Menurutnya saat ini, sistem pengamanan udara di wilayah timur Indonesia seperti di Batam, Palembang, Medan, Pekanbaru, Pontianak, Bangka Belitung dikontrol oleh Singapura. Dahlan berinisiatif membuat sistem jasa layanan penerbangan agar Indonesia lebih berdaulat penuh di udara.

"Jadi tujuan utama single ATS ini memang membuat Indonesia berdaulat di udara" tegasnya.

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait