Memahami Pasar Alutsista Di Benua Afrika


Pada ajang pameran Africa Aerospace and Defence 2016 (AAD), yang berlangsung minggu lalu di Afrika Selatan dapat dilihat bahwa tidak biasanya, Afrika menerima begitu banyak perhatian atau diskusi seperti Asia Selatan, Timur Tengah atau Asia Timur Jauh. Bahkan dalam banyak studi pertahanan baik itu dalam hal pasar atau masalah keamanan, Afrika adalah wilayah yang kompleks dan menarik untuk studi.

Pada tingkat yang paling luas, pasar Afrika setidaknya terbagi menjadi dua wilayah yang berbeda yaitu Afrika bagian utara dan Afrika bagian Selatan. Afrika bagian utara memimpin dalam sistem senjata konvensional, seperti jet tempur multi-peran, MBT modern, atau peralatan tempur angkatan laut generasi baru. Aljazair, Mesir dan Maroko telah menjadi importir utama dalam beberapa tahun terakhir bagi produsen persenjataan terkemuka seperti AS, Rusia, Prancis, Jerman, Italia, dan Inggris.

Frigat FREMM buatan DCNS Perancis
Berdasarkan estimasi yang dibuat oleh SIPRI menyebutkan bahwa Aljazair, Mesir, Maroko, dan Tunisia telah secara kolektif mengalokasikan anggaran hampir US $20 milyaruntuk pengeluaran pertahanan tahun 2015, dimana pengeluaran Aljazair adalah 50% dari total jumlah tersebut. Pengeluaran Mesir juga menjadi perhatian, terutama dari komposisi impor dalam dua tahun terakhir. Bayangkan saja, Mesir bahwa membeli pesawat temput multiperan Dassault Rafale, sebuah fregat multi-misi FREMM, 4 korvet Gowind atau frigat ringan, dan 2 LHD yang semua itu menghabiskan dana hingga US $5 miliar per tahun.

Sebaliknya, pengeluaran kumulatif lebih dari 40 negara Afrika Sub-Sahara (Afrika bagian selatan) pada tahun 2015 hampir mencapai US $18 milyar; Afrika Selatan US $3.4 miliar, Angola US $3.6 miliar, Nigeria US $2.07 miliar, dan Sudan Selatan US $1,3 miliar dimana ke empat negara tersebut menyumbang lebih dari US $10 miliar. Pengeluaran Sudan tidak dicatat oleh SIPRI, tapi satu hal yang pasti bahwa Sudan juga berada di kelompok teratas.

EMB-314/A-29 Super Tucano banyak digunakan di Angola, Burkina Faso, Ghana, Mali, Mauritania dan Senegal
Yang menjadi catatan penting adalah bahwa Angola telah menganggarkan US $6,8 milyar pada tahun sebelumnya untuk belanja pertahanan negara.

Di negara-negara Afrika Sub-Sahara, fokus belanja pertahanan adalah untuk mengelola ancaman keamanan internal, misalnya counterinsurgency (COIN) di Nigeria. Selain itu, peningkatan jumlah negara-negara Afrika Sub-Sahara yang terlibat dalam operasi penjaga perdamaian PBB, seperti Ethiopia dan Rwanda.

Namun, kebutuhan untuk pesawat tempur multi-peran yang kompleks dinilai kurang penting dibandingkan dengan pengadaan dan pemeliharaan armada kendaraan lapis baja ringan yang cukup besar atau persediaan peralatan infanteri dan senjata kecil. Hal ini juga menjadi perhatian bahwa sosio-ekonomi personel pendukung, baik untuk tujuan menjaga loyalitas terhadap aparat penguasa (seperti halnya di Angola), atau untuk membangun institusi militer profesional, juga merupakan proporsi yang penting dari anggaran belanja militer tersebut.

Secara keseluruhan sebagian besar impor peralatan di benua Afrika berasal dari Rusia, Barat, atau China. Afrika juga adalah rumah bagi setidaknya dua vendor pertahanan utama yaitu Denel Group dan Paramount Group. Kedua raksasa vendor pertahanan ini berada di Afrika Selatan; Denel adalah entitas milik negara sedangkan Paramount Group adalah pemain sektor swasta.

Atlas Cheetah C milik Angkatan Udara Afrika Selatan
Sementara Denel telah terlibat dalam sejumlah program besar untuk angkatan bersenjata Afrika Selatan pada 1980-an, misalnya helikopter serang Rooivalk atau program pesawat tempur Cheetah, sebagian besar penawaran produk saat ini terdiri dari kendaraan lapis baja, amunisi dipandu, persenjataan kecil, dan sistem artileri. Di sisi lain, Paramount Group sebagian besar menghasilkan kendaraan lapis baja.

Industri pertahanan Afrika Selatan fokus pada kendaraan lapis baja dan senjata kecil tidaklah mengherankan, sebab pasar intinya yaitu Afrika Sub-Sahara sebagian besar masih fokus pada pengadaan sistem tersebut. Namun, persaingan dari raksasa pertahanan luar negeri, seperti NORINCO di Cina, mampu untuk meredam kapasitas Denel dan Paramount untuk mengakses pasar-pasar utama di wilayah ini.

China telah menjual varian tempur L-15 ke Zambia
Selain itu, kurangnya permintaan domestik di Afrika Selatan menyebabkan vendor perlu untuk mengejar calon pelanggan di pasar lebih jauh, terutama Timur Tengah dan Asia Tengah. Denel Grup telah terlibat dalam sejumlah kemitraan dengan Tawazun Precision Industries di Uni Emirat Arab, badan multi-industri yang bukan hanya menerima offset komersial antara Denel dan angkatan bersenjata UAE tetapi juga sebagai mitra produksi bersama Denel untuk pihak ketiga.

Area lainnya, seperti sistem aerospace dan angkatan laut, pesaing di Afrika sebagian besar bukanlah pemain (meskipun Denel Aviation bisa menjadi perantara Saab, BAE, dll), wilayah ini juga turut diperebutkan oleh vendor Barat, Rusia, dan Cina.

Negara-negara Afrika Sub-Sahara, banyak mengakuisisi pesawat tempur terbaru yang berasal dari China, yang mana telah menjual varian tempur L-15 ke Zambia dan siap untuk menjual JF-17 hasil kerjasama dengan Pakistan ke Nigeria.

Namun, Angola, Burkina Faso, Ghana, Mali, Mauritania dan Senegal lebih berminat membeli pesawat EMB-314/A-29 Super Tucano, termasuk Nigeria. Akibatnya, solusi pesawat tempur murah telah lebih banyak dicari untuk diakuisisi baru-baru ini.

Pakistan menjual pesawat tempur JF-17 Thunder ke Nigeria
Pasar Afrika Utara masih terlihat menguntungkan bagi pemasok senjata tradisional, termasuk AS. Sedangkan Rusia, Italia dan Jerman adalah sebagai pemasok utama bagi Aljazair, terutama dalam sistem penerbangan dan angkatan laut. Dilain pihak, Cina juga berhasil mengamankan dan menyelesaikan penjualan korvet kepada Angkatan Laut Aljazair.

Untuk jangka panjang, pemasok tradisional Barat dan Rusia mungkin menghadapi peningkatan persaingan dari China, yang akan terus mengumpulkan ekspor bernilai tinggi peralatan pertahanan. Dengan sistem yang relatif lebih terjangkau, konfigurasi terbuka atau disesuaikan, sebagai persiapan negera-negara itu untuk melepaskan ketergantungan teknologi pada AS atau Eropa Barat yang mungkin tidak akan menawarkan drone bersenjata tentunya akan sangat menguntungkan bagi Beijing.

Di lain pihak, AS, Inggris, Perancis, Italia, Jerman, dan Rusia berusaha mempertahankan hubungan yang relatif kuat di sejumlah pasar utama, terutama di Afrika Utara. Hubungan ini terdiri dari ikatan politik lama dan komunikasi yang erat serta kolaborasi antar militer. Selain itu, keakraban dengan pemasok tradisional serta meningkatkan kemauan dari pihak vendor seperti Leonardo Group untuk memberikan offset komersial dan transfer teknologi (walau dengan kapasitas berbeda) menjadi salah satu cara untuk menghambat kompetisi bagi produk pertahan Cina.

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait