Masih jelas dalam ingatan Pelda (Purn) Soemadji (77), pertempuran yang dilakoninya 50 tahun lalu di Plaman Mapu, Sarawak, Malaysia dalam Operasi 'Ganyang Malaysia' Dwikora. Berlatih keras sebelum bertempur melawan pasukan elit Inggris, menerabas hutan lebat Borneo, memanggul senjata hingga menyaksikan rekannya gugur.
Saat itu Soemadji muda yang berpangkat Sersan Mayor yang bergabung dengan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, kini Komando Pasukan Khusus/Kopassus-red) pada tahun 1962 diplot terjun di perbatasan Kalimantan Barat pada akhir 1964.
"Kami diterjunkan sama-sama. Cuma ada satu masalah, pesawat yang membawa saya satu tim Benhur itu, tidak berani menerjunkan kami. Akhirnya saya dibawa pulang ke Banjarmasin, besok diulang lagi, tidak berani lagi, akhirnya kami dibawa pulang ke Jakarta," tutur Soemadji memulai kisahnya saat ditemui detikcom di RT 4 RW 7, Cijantung, Kelurahan Baru, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Selasa (17/3/2015) lalu.
Batalnya itu, menurut Soemadji karena Inggris sudah memusatkan pasukan berkekuatan besar di Kalimantan Barat, dibantu tentara dari negara persemakmuran Inggris, seperti Selandia Baru, Australia dan pasukan Gurkha dari India. Pasukan Kompi Benhur kemudian dibawa ke Jakarta untuk berlatih perang.
"Persiapan lagi, latihan lagi di sini (Cijantung) sekitar 3 bulan, untuk menghadapi tugas yang musuhnya berat itu ya dari Inggris, Selandia Baru, Australia. Persiapan lagi, persiapan yang matang," jelas Soemadji.
Selain musuh yang berat, menurut catatan dari eks Komandan Kompi Benhur Mayor Purn Oerip Soetjipto dalam dokumen yang didapatkan dari Pusat Sejarah Kopassus, gagalnya pendaratan Kompi Benhur atau Kompi B karena cuaca buruk dan sasaran dari Kompi B tidak ditemukan. Hingga akhirnya pasukan dibawa kembali ke Cijantung untuk berlatih.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Soemadji tak mengingat kapan persisnya, hanya menyebut April 1965. Catatan Museum Pustaka Korps Baret Merah, saat itu bulan April 1965 ada 3 kompi diterjunkan yakni Kompi Benhur dari RPKAD dengan Komandan Kompi Lettu Oerip Soetjipto, dibantu 2Kompi dari Yon 3 Semarang, yakni Kompi Kancil dengan Komandan Kompi Letda Soewardjo dan Kompi Kenyung dengan Komandan Kompi Lettu Muchadi diberangkatkan ke Pontianak dengan kapal di malam hari, untuk menjaga kerahasiaan.
"Ada 3 kompi, intinya adalah Kompi Benhur. Kompi Benhur ini yang akan melakukan serangan. 2 Kompi lainnya sebagai penindas dan penutup," tuturnya.
1 Kompi saat itu, terdiri dari 75 orang yang dibagi 3 peleton. Tiap 1 peleton yang terdiri dari 13 orang dibekali senjata 2 pucuk RPG Bren yang masing-masing bisa memuat hingga 100 peluru, 2 pucuk launcher AR 16, 1 rocket launcher dan 1 torpedo bangalore. Saat merapat ke perbatasan, imbuh Soemadji, 3 kompi ini tak mengenakan seragam RPKAD melainkan menyamar mengenakan seragam Zeni Tempur (Zipur VII) dengan badge kalajengking di lengan kiri.
3 Kompi itu awalnya tak langsung menyerang pos tentara Inggris di Plaman Mapu, melainkan di Pang Amo karena merupakan pos musuh paling besar.
"Taktiknya menyebar tim kecil sebagai intel lapangan. Saat itu perintah Pak Sarwo Edhie (Komandan RPKAD), tangkap Inggris hidup-hidup," tutur Soemadji yang ingatannya masih tajam ini.
Namun, penyerangan di Pang Amo ini gagal karena medan yang berat dan informasi intelijen yang kurang pas. Akhirnya, strategi diubah dan dipilihlah pos Mapu, karena agak menjorok ke dalam dengan perbatasan Indonesia dan dekat dengan pos musuh di Sein dan Bunan Gagak. Maka pada 18 April 1965, 1 peleton dipimpin Dan Ton Peltu Rohendi mengadakan pengintaian di Mapu. Hasil pengintaian itu dikaji, kemudian disusun strategi, diputuskan waktu penyerangan adalah 26 April pukul 19.00 waktu setempat.
"Tidak sampai 1 minggu dari Pang Amo, tim berangkat lagi ke Mapu. Ada kompi yang bertugas mengganggu pos-pos musuh lain agar tidak bisa membantu pos di Mapu. 1 Hari 1 malam lewat sungai terus. Setelah lewat Sarawak, kami kembali lagi dari belakang pos musuh di Mapu yang dipertahankan oleh tentara dari Selandia Baru," tutur Soemadji.
3 Kompi berpencar mengendap-endap. Setelah mendekati pos Mapu, mereka mendapati ada 3 bukit kecil, yang berlapis dikelilingi pagar kawat, bambu tajam nan rapat, parit sedalam 2 meter kemudian kawat gulung.
"Seandainya kawat gulung itu dialiri setrum, mati kami. Perjuangan yang berat. Kami membawa senjata yang berat sekali bebannya, tidak boleh mengeluarkan suara, sekalipun gesekan air minum dengan veldples (tempat air minum tentara-red)," tuturnya.
Saat itu Soemadji muda yang berpangkat Sersan Mayor yang bergabung dengan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, kini Komando Pasukan Khusus/Kopassus-red) pada tahun 1962 diplot terjun di perbatasan Kalimantan Barat pada akhir 1964.
"Kami diterjunkan sama-sama. Cuma ada satu masalah, pesawat yang membawa saya satu tim Benhur itu, tidak berani menerjunkan kami. Akhirnya saya dibawa pulang ke Banjarmasin, besok diulang lagi, tidak berani lagi, akhirnya kami dibawa pulang ke Jakarta," tutur Soemadji memulai kisahnya saat ditemui detikcom di RT 4 RW 7, Cijantung, Kelurahan Baru, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Selasa (17/3/2015) lalu.
Batalnya itu, menurut Soemadji karena Inggris sudah memusatkan pasukan berkekuatan besar di Kalimantan Barat, dibantu tentara dari negara persemakmuran Inggris, seperti Selandia Baru, Australia dan pasukan Gurkha dari India. Pasukan Kompi Benhur kemudian dibawa ke Jakarta untuk berlatih perang.
"Persiapan lagi, latihan lagi di sini (Cijantung) sekitar 3 bulan, untuk menghadapi tugas yang musuhnya berat itu ya dari Inggris, Selandia Baru, Australia. Persiapan lagi, persiapan yang matang," jelas Soemadji.
Selain musuh yang berat, menurut catatan dari eks Komandan Kompi Benhur Mayor Purn Oerip Soetjipto dalam dokumen yang didapatkan dari Pusat Sejarah Kopassus, gagalnya pendaratan Kompi Benhur atau Kompi B karena cuaca buruk dan sasaran dari Kompi B tidak ditemukan. Hingga akhirnya pasukan dibawa kembali ke Cijantung untuk berlatih.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Soemadji tak mengingat kapan persisnya, hanya menyebut April 1965. Catatan Museum Pustaka Korps Baret Merah, saat itu bulan April 1965 ada 3 kompi diterjunkan yakni Kompi Benhur dari RPKAD dengan Komandan Kompi Lettu Oerip Soetjipto, dibantu 2Kompi dari Yon 3 Semarang, yakni Kompi Kancil dengan Komandan Kompi Letda Soewardjo dan Kompi Kenyung dengan Komandan Kompi Lettu Muchadi diberangkatkan ke Pontianak dengan kapal di malam hari, untuk menjaga kerahasiaan.
"Ada 3 kompi, intinya adalah Kompi Benhur. Kompi Benhur ini yang akan melakukan serangan. 2 Kompi lainnya sebagai penindas dan penutup," tuturnya.
1 Kompi saat itu, terdiri dari 75 orang yang dibagi 3 peleton. Tiap 1 peleton yang terdiri dari 13 orang dibekali senjata 2 pucuk RPG Bren yang masing-masing bisa memuat hingga 100 peluru, 2 pucuk launcher AR 16, 1 rocket launcher dan 1 torpedo bangalore. Saat merapat ke perbatasan, imbuh Soemadji, 3 kompi ini tak mengenakan seragam RPKAD melainkan menyamar mengenakan seragam Zeni Tempur (Zipur VII) dengan badge kalajengking di lengan kiri.
3 Kompi itu awalnya tak langsung menyerang pos tentara Inggris di Plaman Mapu, melainkan di Pang Amo karena merupakan pos musuh paling besar.
"Taktiknya menyebar tim kecil sebagai intel lapangan. Saat itu perintah Pak Sarwo Edhie (Komandan RPKAD), tangkap Inggris hidup-hidup," tutur Soemadji yang ingatannya masih tajam ini.
Namun, penyerangan di Pang Amo ini gagal karena medan yang berat dan informasi intelijen yang kurang pas. Akhirnya, strategi diubah dan dipilihlah pos Mapu, karena agak menjorok ke dalam dengan perbatasan Indonesia dan dekat dengan pos musuh di Sein dan Bunan Gagak. Maka pada 18 April 1965, 1 peleton dipimpin Dan Ton Peltu Rohendi mengadakan pengintaian di Mapu. Hasil pengintaian itu dikaji, kemudian disusun strategi, diputuskan waktu penyerangan adalah 26 April pukul 19.00 waktu setempat.
"Tidak sampai 1 minggu dari Pang Amo, tim berangkat lagi ke Mapu. Ada kompi yang bertugas mengganggu pos-pos musuh lain agar tidak bisa membantu pos di Mapu. 1 Hari 1 malam lewat sungai terus. Setelah lewat Sarawak, kami kembali lagi dari belakang pos musuh di Mapu yang dipertahankan oleh tentara dari Selandia Baru," tutur Soemadji.
3 Kompi berpencar mengendap-endap. Setelah mendekati pos Mapu, mereka mendapati ada 3 bukit kecil, yang berlapis dikelilingi pagar kawat, bambu tajam nan rapat, parit sedalam 2 meter kemudian kawat gulung.
"Seandainya kawat gulung itu dialiri setrum, mati kami. Perjuangan yang berat. Kami membawa senjata yang berat sekali bebannya, tidak boleh mengeluarkan suara, sekalipun gesekan air minum dengan veldples (tempat air minum tentara-red)," tuturnya.
Soemadji ingat, saat mengendap-endap, jam sudah menunjukkan pukul 03.00 dini hari, pada 27 April 1965. Kompi Benhur masih standby dan mengendap-endap, hingga 7 meter dari pos musuh, tak membuat tentara sekutu Inggris itu sadar.
"Mereka tak sadar kami sudah mengelilingi dia, maut yang akan datang itu, mungkin ngantuk itu jam 3 malam. Kami juga sudah keberatan muatan bawa senjata. Kalau sudah gerak kami kepengennya ketemu musuh, perang. Kita menunggu komando dari kompi, Pak Oerip (Oerip Soetjipto), buka tembakan dari dia, dia sudah bilang 'jangan buka tembakan sebelum ada tembakan dari saya'," jelas Soemadji.
Setelah komandan Kompi Benhur atau Kompi B membuka serangan dengan mortir 5 pucuk, ke atas bukit, mulailah serangan mendadak.
"Elevasinya harus pas, setelah mortir dilemparkan, duung! dung! dung! dung! Tepat sekali kena bunker itu. Kemudian, dem! dem! dem! dem! Kita serang," celoteh Soemadji ekspresif dengan gerakan tangan.
Pertempuran berdarah pun tak terelakkan. Serangan pembuka mortir disambung dengan rocket launcher dan tembakan RPG Bren membuat pihak musuh tewas berdarah-darah.
"Ada karung-karung pasir itu sampai pasirnya berhamburan seperti hujan, burr! Di samping itu kami sudah keberatan membawa senjata jalan berhari-hari, ketemu musuh seperti itu ya sudah, kami lampiaskan. Di samping itu 1 orang membawa granat 1. Berapa puluh itu, mungkin seratusan (tentara yang tewas). Mereka pengakuannya menurut siaran radio, mati 72 tentara Selandia Baru, padahal lebih daripada itu. Hanya, biasa kan kalau perang ditutup-tutupi kan," tuturnya
Kebanyakan tentara musuh yang tewas, imbuh Soemadji, karena terkubur masuk ke killing ground yang posisinya kemungkinan kecil untuk lari. Serangan itu berlangsung selama 1 jam. Usai serangan besar itu, Soemadji yang berada di bawah bukit bersama 3 rekannya, FX Soenardi, Yacob Idris dan Sugimin.
Ternyata, ada tentara paratroops Inggris yang melihat dan menembaki Soemadji dan rekan-rekannya. "Berempat ini, dihajar dari pos yang nggak tahu kami. Jegrek! Kami ditembak dari pos itu, dibalas pakai rocket launcher itu, dhier! Baru berhenti. Namun teman saya, Soenardi ternyata kena tembak," kenangnya.
Operasi Dwikora yang berlangsung pada tahun 1965 adalah respons Indonesia untuk berperang di Malaysia, di bawah Presiden Soekarno saat itu, karena tidak setuju atas pembentukan Federasi Malaysia oleh Inggris. Inggris, yang hendak mengakhiri kolonisasi saat itu hendak menggabungkan koloninya di Semenanjung Malaya dengan Sabah dan Sarawak di Kalimantan. Presiden Soekarno tak setuju lantaran menganggap Federasi Malaysia adalah boneka Inggris yang akan mengancam kemerdekaan Indonesia.
Satu lagi, pembentukan Federasi Malaysia dianggap melanggar Perjanjian Manila yang diteken 3 negara, Indonesia, Malaysia dan Filipina di Manila-Filipina pada 5 Agustus 1963. Dalam perjanjian itu, ketiga negara sepakat bahwa warga Sabah dan Sarawak mesti melakukan referendum dan menentukan nasib sendiri tanpa ada paksaan dari pihak luar di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Namun ternyata, sebulan setelah Perjanjian Manila diteken, Inggris membentuk Federasi Malaysia pada 16 September 1963. (Detik)
"Mereka tak sadar kami sudah mengelilingi dia, maut yang akan datang itu, mungkin ngantuk itu jam 3 malam. Kami juga sudah keberatan muatan bawa senjata. Kalau sudah gerak kami kepengennya ketemu musuh, perang. Kita menunggu komando dari kompi, Pak Oerip (Oerip Soetjipto), buka tembakan dari dia, dia sudah bilang 'jangan buka tembakan sebelum ada tembakan dari saya'," jelas Soemadji.
Setelah komandan Kompi Benhur atau Kompi B membuka serangan dengan mortir 5 pucuk, ke atas bukit, mulailah serangan mendadak.
"Elevasinya harus pas, setelah mortir dilemparkan, duung! dung! dung! dung! Tepat sekali kena bunker itu. Kemudian, dem! dem! dem! dem! Kita serang," celoteh Soemadji ekspresif dengan gerakan tangan.
Pertempuran berdarah pun tak terelakkan. Serangan pembuka mortir disambung dengan rocket launcher dan tembakan RPG Bren membuat pihak musuh tewas berdarah-darah.
"Ada karung-karung pasir itu sampai pasirnya berhamburan seperti hujan, burr! Di samping itu kami sudah keberatan membawa senjata jalan berhari-hari, ketemu musuh seperti itu ya sudah, kami lampiaskan. Di samping itu 1 orang membawa granat 1. Berapa puluh itu, mungkin seratusan (tentara yang tewas). Mereka pengakuannya menurut siaran radio, mati 72 tentara Selandia Baru, padahal lebih daripada itu. Hanya, biasa kan kalau perang ditutup-tutupi kan," tuturnya
Kebanyakan tentara musuh yang tewas, imbuh Soemadji, karena terkubur masuk ke killing ground yang posisinya kemungkinan kecil untuk lari. Serangan itu berlangsung selama 1 jam. Usai serangan besar itu, Soemadji yang berada di bawah bukit bersama 3 rekannya, FX Soenardi, Yacob Idris dan Sugimin.
Ternyata, ada tentara paratroops Inggris yang melihat dan menembaki Soemadji dan rekan-rekannya. "Berempat ini, dihajar dari pos yang nggak tahu kami. Jegrek! Kami ditembak dari pos itu, dibalas pakai rocket launcher itu, dhier! Baru berhenti. Namun teman saya, Soenardi ternyata kena tembak," kenangnya.
Operasi Dwikora yang berlangsung pada tahun 1965 adalah respons Indonesia untuk berperang di Malaysia, di bawah Presiden Soekarno saat itu, karena tidak setuju atas pembentukan Federasi Malaysia oleh Inggris. Inggris, yang hendak mengakhiri kolonisasi saat itu hendak menggabungkan koloninya di Semenanjung Malaya dengan Sabah dan Sarawak di Kalimantan. Presiden Soekarno tak setuju lantaran menganggap Federasi Malaysia adalah boneka Inggris yang akan mengancam kemerdekaan Indonesia.
Satu lagi, pembentukan Federasi Malaysia dianggap melanggar Perjanjian Manila yang diteken 3 negara, Indonesia, Malaysia dan Filipina di Manila-Filipina pada 5 Agustus 1963. Dalam perjanjian itu, ketiga negara sepakat bahwa warga Sabah dan Sarawak mesti melakukan referendum dan menentukan nasib sendiri tanpa ada paksaan dari pihak luar di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Namun ternyata, sebulan setelah Perjanjian Manila diteken, Inggris membentuk Federasi Malaysia pada 16 September 1963. (Detik)