Militer Inggris secara resmi mengakhiri misi mereka di Afghanistan. Pesawat militer terakhir Inggris meninggalkan Kabul pada Sabtu (28/8) malam, setelah mengevakuasi lebih dari 15 orang orang dalam dua pekan sejak Taliban menguasai Afghanistan.
Kepergian pesawat militer ini mengakhiri kehadiran militer Inggris di Afghanistan selama 20 tahun. Kementerian Pertahanan Inggris dalam sebuah pernyataan mengatakan, penerbangan terakhir yang membawa personel Angkatan Bersenjata Inggris telah meninggalkan Kabul.
"Kita harus bangga dengan angkatan bersenjata kita, dan menyambut mereka yang datang untuk kehidupan yang lebih baik. Kita juga merasa sedih untuk mereka yang ditinggalkan," kata Menteri Pertahanan Ben Wallace setelah penerbangan terakhir Inggris.
Sebelumnya pada Jumat (27/8), Inggris mengatakan, misi evakuasinya akan segera berakhir. Militer Inggris tidak dapat mengevakuasi warga Afghanistan yang belum mencapai bandara Kabul, meskipun mereka memenuhi syarat dan izin untuk meninggalkan negara mereka.
Wallace memperkirakan, antara 800 hingga 1.100 warga Afghanistan yang telah bekerja dengan Inggris dan memenuhi syarat untuk pemukiman kembali tidak akan berhasil keluar melalui udara. Inggris berjanji untuk membantu jika mereka bisa pergi melalui darat.
Kepala Angkatan Bersenjata Inggris Nick Carter, mengatakan kepada BBC, totalnya warga Afghanistan yang telah mengantongi izin namun tidak dapat dievakuasi mencapai ratusan orang. "Kami menerima pesan dan teks dari teman-teman Afghanistan kami yang sangat menyedihkan. Kami menjalani ini dengan cara yang paling menyakitkan," kata Carter.
Carter mengatakan, Inggris dan sekutunya kemungkinan dapat bekerja sama dengan Taliban di masa depan. Terutama untuk mengatasi ancaman dari kelompok militan ISIS. Kelompok ISIS adalah musuh negara Barat dan Taliban.
ISIS sebelumnya mengaku bertanggung jawab atas serangan bom bunuh diri di luar bandara Kabul pada Kamis (26/8), yang menewaskan puluhan orang, termasuk 13 anggota militer AS.
"Jika Taliban mampu menunjukkan bahwa mereka dapat berperilaku seperti pemerintahan pada umumnya dalam melawan terorisme, kita mungkin (dapat) beroperasi bersama," kata Carter kepada Sky News.
"Tapi kita harus menunggu dan melihat. Tentu saja beberapa cerita yang kita dapatkan tentang cara mereka memperlakukan musuh akan sangat sulit bagi kita untuk bekerja dengan mereka saat ini," ujar Carter menambahkan.
Perdana Menteri Boris Johnson memuji angkatan bersenjata Inggris. Dia memberikan apresiasi kepada pasukan Inggris yang telah menjalani operasi selama dua dekade terakhir.
"Saya ingin berterima kasih kepada semua orang yang terlibat dan ribuan orang yang mengabdi selama dua dekade terakhir. Anda bangga dengan apa yang telah Anda capai," kata Johnson.
Johnson membahas situasi Afghanistan dengan Kanselir Jerman Angela Merkel pada Sabtu. Kedua pemimpin sepakat bahwa negara-negara kaya Kelompok Tujuh (GU) harus mengambil pendekatan bersama untuk berurusan dengan pemerintah Taliban di masa depan.
"Perdana Menteri menekankan bahwa setiap pengakuan dan keterlibatan dengan Taliban, bergantung pada upaya mereka dalam menghormati hak asasi manusia," kata kantor Johnson.
Inggris berada di pihak Washington sejak awal invasi pimpinan AS ke Afghanistan. Invasi tersebut menggulingkan Taliban yang saat itu berkuasa. Pasukan AS dan sekutunya melumpuhkan Taliban, karena mereka menyembunyikan militan Alqaeda, yang berada balik serangan 11 September 2001. Lebih dari 450 personel angkatan bersenjata Inggris tewas selama operasi di Afghanistan dalam dua dekade terakhir.
Presiden Joe Biden telah menetapkan tenggat waktu bagi militer AS untuk meninggalkan Afghanistan, yaitu 31 Agustus. Sementara pasukan sekutu termasuk Inggris telah memilih untuk pergi sebelum tenggat waktu. Inggris juga telah menangguhkan operasional kedutaan di Afghanistan.
Sumber Republika