MENJELANG Kongres Nasional ke-VI, PKI menggiatkan program amal kepada rakyat. Wongso, buruh tani Desa Tombol, Klaten, Jawa Tengah, menyambut kongres dengan antusias. Resort (organisasi tingkat desa) PKI setempat saat itu sedang mengadakan kerja bakti di desanya.
“Saya ini sehidup semati dengan Palu Arit. Waktu pemilihan (1955) yang lalu, saya dengan penuh keyakinan mencoblos Palu Arit,” kata Wongso. “Pekarangan ini,” lanjutnya, “merupakan hasil perjuangan PKI. Orang-orang PKI di daerah saya adalah orang yang selalu memikirkan nasib rakyat,” ujar Wongso dilansir Harian Rakjat, 10 Agustus 1959.
Hasil amal rakyat cukup membanggakan. Dari kegiatan sosial itu, Bintang Merah, Nomor Spesial Jilid I, (1960), mewartakan fasilitas umum yang telah dibangun: jalan raya, selokan, rumah, sekolah, bendungan, jembatan, kakus umum, pemakaman umum, pemberantasan hama tikus, dan kursus Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Selain itu, atas permintaan rakyat setempat telah dibangun berbagai fasilitas publik lainnya mulai dari balai rakyat, lapangan olahraga, hingga masjid dan gereja.
Mulai dari buruh tani di Bireun, Aceh hingga nelayan kawasan laut Sawu di Nusa Tenggara Timur merasakan dampaknya.
Disisihkan Politik Dagang Sapi
Meski tercatat sebagai partai pemenang Pemilu 1955, PKI tidak mendapat kuasa untuk memerintah. Koalisi PNI, Masjumi dan NU, menolak bekerja sama dengan PKI dalam satu kabinet. Alasannya: perbedaan ideologi.
Presiden Sukarno tetap ingin menyertakan PKI. Dalam memoarnya Tonggak-tonggak di Perjalananku, Ali Sastroamidjojo yang menjadi formatur kabinet dan kemudian perdana menteri kena teguran keras. Sukarno mengecam kabinet yang dirancang Ali dalam Kabinet Ali II karena tidak mencerminkan semangat gotong-royong. Namun, sistem Demokrasi Parlementer saat itu tidak memberikan otoritas lebih bagi kepala negara mengintervensi kebijakan partai-partai.
“Politik dagang sapi,” tulis Njoto, Wakil Sekretaris Jendral PKI, dalam editorial Harian Rakjat, 16 Maret 1956, “telah menyisihkan PKI dari lingkaran kekuasaan.”
Meski kecewa, PKI tidak serta merta menjadi radikal merongrong pemerintah. Program-program kabinet Ali II tetap didukung sembari menyandarkan oposisinya pada suara rakyat.
PKI Menuai
Para kader PKI di daerah berperan besar dalam menyukseskan program partai. Akar ideologi yang kuat membuat mereka terampil menerjemahkan kebijakan partai dengan menyuarakan aspirasi tiap-tiap daerah. Selain faktor ideologi, menurut Boyd Compton kader PKI di daerah adalah organisator yang digaji lebih baik di banding partai manapun.
Selain PKI, “agaknya tidak ada partai lain yang sanggup menggaji begitu besar para pegawai pentingnya di tingkat rendahan,” tulis Compton dalam surat-suratnya yang diterbitkan Kemelut Demokrasi Liberal.
Compton, peneliti politik Amerika yang pada 1955 menyaksikan jalannya pemilihan umum di Indonesia. Menurutnya, PKI menjadi salah satu kekuatan anyar yang gencar melancarkan propaganda dengan cara-cara populis. Partai ini juga mendayagunakan kadernya secara optimal untuk menggaet pemilih.
“PKI telah mencurahkan biaya besar dalam kampanye yang penuh rayuan dan gertakan ini. Dari semua penampilannya, kelihatan bahwa ia merupakan partai terkaya di Jawa Timur. Mungkin juga yang paling sukses,” tulis Compton.
Memasuki tahun 1960, hasil kerja keras dituai. Hampir di tiap penjuru negeri, panji Palu Arit berkibar. Pimpinan PKI, D.N Aidit mengklaim massa PKI di seluruh Indonesia telah mencapai 1,5 juta anggota. Di sejumlah daerah tingkat II (Cirebon di Jawa Barat, Surabaya di Jawa Timur, Surakarta, Magelang, Salatiga, dan Boyolali di Jawa Tengah), kader PKI menduduki kursi bupati atau walikota.
PKI semakin di atas angin ketika kepercayaan rakyat di daerah runtuh terhadap Masjumi dan PSI akibat keterlibatan dalam PRRI-Permesta. PKI semakin jumawa.
“Bagi rakyat daerah, PKI adalah partai konkret. Tidak umbar janji-janji palsu dan tidak ada dominasi individu,” ujar Arbi Sanit, sosiolog Universitas Indonesia. Itulah, kata Arbi, yang menyebabkan jumlah anggota PKI membludak.