Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Papua menjawab tuduhan kelompok tentara Papua merdeka (TPM) dengan menegaskan, apa yang dilakukan sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM), dengan melakukan pembunuhan adalah tindakan yang tak beradab.
"Saya rasa publik bisa melihat, mana yang binatang, mana yang tidak. Kalau ada orang membantai orang tanpa alasan siapa yang binatang?" kata Muhammad Aidi, juru bicara Komando Daerah Militer Papua kepada BBC News Indonesia, hari Kamis (6/12/2018).
"Keberadaan TNI di sini legal berdasarkan institusi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), keberadaan KKSB (Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata) legalnya dari mana?" kata Aidi.
"Siapa yang melegalkan? Dasar hukumnya mana ada? Jadi, sekelompok orang mengangkat senjata secara ilegal, tanpa izin, itu adalah pelanggaran hukum," kata Aidi.
Sebelumnya, dalam wawancara melalui telepon, juru bicara Organisasi Papua Merdeka (OPM), Sebby Sambom, mengatakan bahwa pihaknya membunuh para pekerja konstruksi proyek jalan di Nduga karena bagi OPM, sebagian besar pekerja adalah anggota TNI, yang dianggap musuh oleh OPM.
"Kami melawan Indonesia, yang kami lawan itu bukan manusia. Mereka adalah manusia yang berwatak binatang. Oleh karena itu, kami menempuh jalan perang. Itu prinsip TPM," kata Sebby.
Sebby mengatakan pihaknya tidak memerlukan pembangunan infrastruktur dan ini sudah ia peringatkan kepada TNI dan pemerintah Indonesia.
Ia juga mengatakan tidak khawatir pembunuhan pekerja proyek akan membuat keamanan di Papua memburuk.
'Perang total pada 2021'
"Kami sudah siap melancarkan revolusi di seluruh tanah Papua melawan TNI dan Polri. Ini kesalahan juga pihak PBB, Amerika Serikat, dan Belanda yang memberikan Papua kepada Indonesia. Selama 50 tahun kami menderita, itu sudah cukup," kata Sebby.
"Kami sudah siap melancarkan revolusi di seluruh tanah Papua melawan TNI dan Polri. Ini kesalahan juga pihak PBB, Amerika Serikat, dan Belanda yang memberikan Papua kepada Indonesia. Selama 50 tahun kami menderita, itu sudah cukup," kata Sebby.
"Generasi lama sudah meninggal. Kami generasi baru sudah menetapkan memilih jalan revolusi...akan ada krisis di Papua, pada 2021 kami akan melancarkan perang revolusi total melawan TNI/Polri. Kami minta masyarakat sipil Indonesia untuk meninggalkan Papua Barat," katanya.
Ia tidak merinci mengapa menyebut tahun 2021.
"Kami TNI dilatih dan dididik untuk membunuh dan siap untuk terbunuh," kata Aidi.
Menanggapi pernyataan ini, juru bicara Kodam di Papua, Muhammad Aidi, menyatakan TNI siap berhadapan dengan tentara Papua merdeka.
"Kita selalu siap kapan saja. Saya berharap mereka bukan pecundang. Artinya hanya sekadar bicara. Mari berhadapan secara jantan, kita siap menghadapi, TNI siap menghadapi demi menjaga kedaulatan negara ini, kami siap," kata Aidi.
Papua diintegrasikan ke wilayah Indonesia melalui apa yang disebut Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969, yang hasilnya diakui oleh PBB.
Separatisme adalah salah satu masalah yang terjadi di pulau tersebut.
Pemerintah Indonesia antara lain mengalokasi dana khusus triliunan rupiah sejak 2001 untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua, melalui skema dana otonomi khusus.
Sebby mengatakan pihaknya tidak membutuhkan pembangunan prasarana dan hanya ingin "merdeka di tanah sendiri."
Dana Puluhan Triliun Dikucurkan
Sementara, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) menyebut puluhan triliun rupiah yang dikucurkan tiap tahun tak berdampak pada kesejahteraan warga asli Papua.
Sebby mengatakan pihaknya tidak membutuhkan pembangunan prasarana dan hanya ingin "merdeka di tanah sendiri."
Ia juga mempertanyakan mengapa di Papua tak dimungkinkan partai daerah, sebagaimana di Aceh.
Ketua MRP, Timotius Murib, menyebut, sampai sekarang Papua masih mencatat angka kemiskinan terbesar, sekitar 21%.
"Ekonomi orang Papua sangat buruk dan tidak kelihatan. Misalnya bahan makanan lokal, di mana bupati harus kreatif memberdayakan sumber daya alam dan bagaimana agar akses ke masyarakat punya pendapatan perkapita. Tapi untuk ciptakan itu sangat susah," ujar Timotius kepada BBC News Indonesia, Rabu (21/11/2018) lalu.
Dalam pantauan Timotius, layanan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi masih minim.
Dia mencontohkan pemanfataan sumber daya alam oleh kepala dearah, tidak meningkatkan pendapatan masyarakat setempat.
Selain itu, ada pula penggunaan dana otsus yang menurutnya tidak tepat sasaran.
Dana yang semestinya ditujukan untuk kesehatan, seperti membangun rumah perawat di daerah pedalaman, menurutnya justru digunakan untuk membuat dermaga dan jembatan.
Selain itu, ada pula penggunaan dana otsus yang menurutnya tidak tepat sasaran.
Dana yang semestinya ditujukan untuk kesehatan, seperti membangun rumah perawat di daerah pedalaman, menurutnya justru digunakan untuk membuat dermaga dan jembatan.
Evaluasi Otsus
Ia menyarankan perlunya audit dana Otonomi Khusus oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurutnya, kepala daerah sebagai penguasa anggaran harus bertanggung jawab atas indikasi penyalahgunaan dana tersebut.
Dia mendesak Presiden Jokowi agar berbicara langsung kepada MRP sebagai perwakilan resmi masyarakat adat dan orang asli Papua, agar mengevaluasi keberadaan Otonomi Khusus.
Jika hal itu tak dilakukan, menurutnya tuntutan tentang referendum Papua merdeka akan terus muncul.
"Yang minta merdeka itu orang asli Papua, bukan orang lain. Sehingga pemerintah pusat memberikan otsus, terus berhasil atau tidak? Evaluasinya harus dilakukan di rumah adat MRP bukan di tempat lain."
"Kami MRP mengatakan otsus tidak berjalan dengan baik. Tidak berhasil. Oleh karenanya suara Papua merdeka akan ada terus," katanya.
'Sertifikat jatuh ke para transmigran'
Hal lain yang menjadi kritik Timotius Murib adalah gencarnya pembangunan yang menurutnya mengabaikan orang asli Papua.
Baginya proyek jalan trans Papua hanya menghancurkan hutan mereka.
Pembagian 3.000 lebih sertifikat tanah oleh Jokowi pada April lalu, kata dia, sebagian besar justru jatuh ke tangan warga transmigran.
"Kami tidak butuh pembangunan, kami butuh kehidupan. Kenapa? Hari ini orang asli Papua butuh kehidupan, bukan pembangunan. Kalau pembangunan, tanah kami hilang, orang banyak mati. Pemekaran juga tidak perlu. Yang terjadi tanah kami terampas," ujarnya.
Kebijakan dana Otonomi Khusus di Papua mulai berlaku sejak 2001 sebagai bentuk kesepakatan integrasi politik dalam kesatuan Indonesia.
Pemberian dana otsus sebesar dua persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) untuk empat hal, yakni kesehatan, pendidikan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur.
Dari bidang-bidang itu, dana paling besar diperuntukkan untuk kesehatan sebesar 20%, pendidikan 15%, dan masing-masing 5% untuk ekonomi dan infrastruktur.
Otonomi khusus 'tidak akan dihentikan'
Sejak digelontorkan pada 2001 hingga 2017, total dana otsus untuk Papua dan Papua Barat sebesar Rp 67 triliun.
Pengamat otonomi daerah, Robert Endi Jaweng, mengatakan pemerintahan Jokowi harus mengevaluasi total penggunaan dana otsus.
Dalam pantauannya, uang puluhan triliun itu tak juga bisa memberikan kesejahteraan bagi warga asli Papua.
Angka kemiskinan masih tinggi dan tak berbanding lurus dengan besarnya dana otsus yang dikucurkan tiap tahun, kata Robert.
"Jokowi harus siapkan strategi, tapi lebih dahulu buat keputusan politik lanjut atau tidak dana otsus. Dan setelah itu mau apa? Ini yang ditunggu rakyat Papua untuk lihat masa depan Papua. Kita tak main-main dalam mengelola dana otsus yang besar. Karena itu harus terbuka manajemen pengelolannya. Harus diperbaiki," ujar Robert.
Ia menilai kebijakan tersebut harus dilanjutkan.
Tapi dengan syarat, harus ada ukuran penilaian kinerja.
Pemerintah memberikan target-target tertentu kepada Pemprov Papua, semisal bagaimana menurunkan angka kemiskinan dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
"Harus ada kesepakatan bahwa dana otsus diberikan dalam skema berbasis kinerja. Apakah tercapai target nasonal? Kemiskinan tercapai? Indek Pembangunan Manusia tercapai tidak? Kalau tidak gitu, tidak punya ukuran penilaian kinerja. Yang ada makin manja elit politik di sana," katanya.
Dalam catatannya, dana otsus sebagian besar habis untuk belanja pegawai.
Selama itu pula, tidak pernah ada evaluasi oleh pemerintah pusat.
Bahkan audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diragukan kesahihannya.
"Audit BPK juga diragukan karena ada persepsi WTP itu adalah wajar tanpa pemeriksaan karena takut ada hal-hal sensitif yang tak bisa diungkap," tegasnya.
Selain itu pertanggung jawaban anggaran oleh kepala daerah ia nilai masih sangat buruk.
Menurutnya, urusan otonomi khusus tak bisa diserahkan kepada orang sekelas Dirjen Otda di Kemendagri semata. Namun harus dipegang oleh otoritas lebih tinggi, semisal wakil presiden lantaran persoalan di Papua begitu kompleks.
Dijanjikan akan dievaluasi
Tenaga Ahli Kantor Staf Kepresidenan, Ali Mochtar Ngabalin, menjanjikan adanya evaluasi terhadap alokasi dana otsus.
Tapi kebijakan tersebut, kata dia, tidak akan dihentikan pada 2021 mengingat pembangunan di Papua masih diperlukan terutama infrastruktur.
"Bahwa pemerintah akan melakukan evaluasi kemudian dari data dan laporan yang disampaikan pemprov Papua, tentu akan jadi pertimbangan. Bahwa ada evaluasi penambahan dana dan ada komentar bahwa otsus tak berikan dampak, tak juga begitu karena Papua luas dan sangat sulit dijangkau," jelas Ali Mochtar Ngabalin.
Ia juga menyayangkan masih adanya suara referendum oleh Majelis Rakyat Papua, sebab perhatian yang diberikan Presiden Jokowi kepada Papua sangat besar.
Sumber : Tribunnews