Latihan perang Rusia dan China. ©patdollard.com |
Apa yang signifikan dari digelarnya latihan perang bersama Rusia dan China di Laut Mediterania 11-21 Mei 2015 ini? Benarkah ia hanya sebatas bagian dari rangkaian memperingati Hari Kemenangan (Victory Day) pada Perang Dunia Kedua?
Benarkah bahwa maksud dari latihan perang ini tidak lain adalah untuk memperlihatkan kepada dunia, khususnya Amerika Serikat (AS) dan Eropa, bahwa dua negara terkuat di belahan dunia timur sudah menjalin kerja sama militer? Dan lokasi latihan perang itu ada di halaman belakang Eropa Barat.
Serentetan kejadian dalam beberapa waktu terakhir ini memang bisa mengundang spekulasi makin mesranya Rusia dan China yang mengarah pada terbentuknya aliansi baru kedua raksasa itu.
Mei tahun lalu kedua negara secara simbolis menentang hegemoni finansial AS dan memotong dominasi Dollat AS dengan perjanjian antara bank Rusia VTB dan Bank of China untuk menggunakan mata uang domestik masing-masing dalam transaksi antara kedua negara. Perjanjian yang ditandatangani di Shanghai itu disaksikan langsung oleh Presiden Vladimir Putin dan Presiden Xi Jinping.
China dan Rusia juga menyepakati penjualan gas senilai USD 400 miliar. Dengan kesepakatan ini, produsen gas asal Rusia Gazprom akan mengirim 1,3 triliun kaki kubik gas ke China. Transaksi ini terjadi seiring ketegangan antara Rusia dan Eropa. Di mana pada tahun lalu, Rusia mengirim 30 persen dari suplai gasnya, atau sekira 6 triliun kaki kubik ke Eropa.
Presiden Rusia Vladimir Putin telah memangkas pengiriman gas ke Ukraina, yang porsinya mencapai setengah dari ekspor gas Rusia ke Eropa. Untuk itu, Eropa harus mencari cara dari krisis gas akibat penghentian ini. Apa yang dilakukan Putin ini akibat sanksi yang dikenakan kepada Rusia oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS). Semuanya berawal dari konflik geopolitik yang terjadi di Ukraina, di mana Rusia mel kukan ekspansi ke negara tersebut.
Bila dirunut ke belakang, di era paska perang dingin, Rusia dan China kadang kala memang membentuk kemitraan strategis untuk mengimbangi aliansi trans Atlantik di bawah pimpinan AS. Yang paling jelas adalah ketika NATO di tahun 1999 melawan sekutu Rusia, Serbia di Kosovo yang juga membuat marah China karena dibomnya kedutaan China secara tak sengaja di Beograd.
Selain itu kedua negara juga menentang invasi AS ke Iraq dan krisis akhir-akhir ini di Ukraina serta gerakan China di Laut China Selatan yang bersentuhan dengan negara-negara yang mesra dengan AS makin memicu terbentuknya kedekatan baru itu.
Tapi kedekatan baru itu juga menimbulkan reaksi dari negara-negara tetangga mereka di Eropa dan Asia untuk membina kemitraan strategis dengan AS dan memperkuat kemampuan militer mereka. Perjanjian energi antara Rusia dan China memang bisa menjadi perlawanan geopolitis terhadap AS, tetapi dengan adanya impuls hegemonik seperti yang ditunjukkan Rusia di Krimea dan klaim agresif China di Laut China Selatan dan wilayah udaranya, mendorong tetangga-tetangganya yang lebih kecil untuk mendekat ke AS.
Ini yang nampaknya membuat AS tak terlalu khawatir terhadap kemungkinan terbentuknya aliansi Rusia-China. Menlu AS, John Kerry pernah menyatakan bahwa perkembangan kedekatan kedua negara bukanlah hal baru yang mengagetkan dan jika dunia diuntungkan oleh perkembangan baru itu maka hal itu bagus-bagus saja.
Namun ketenangan itu rupanya tak dirasakan oleh semua pihak di AS. Di kalangan think tank dan intelektual ada pula yang khawatir bahwa perkembangan saat ini adalah gambaran sekilas tentang gambaran geopilitik di masa depan di mana dua otokrasi yang mempunyai ruang manuver untuk bekerjasama serta mempunyai tujuan sama menentang prinsip-prinsip liberal dan kepentingan AS. Ini berpeluang menciptakan konflik yang serius yang bisa berdampak pada kawasan, termasuk Indonesia.
Indonesia tentu harus mencermati perkembangan ini secara seksama dan harus berkontribusi baik dalam ide maupun gagasan serta langkah konkret menjadikan Indonesia dan kawasan Asia Tenggara sebagai wilayah yang dapat meng-engage secara konstruktif ketiga raksasa itu untuk kepentingan nasional dan regional. ( Merdeka.com )
Pushkov: Aliansi Moskow-Beijing adalah Kegagalan Terbesar Obama Selama Menjadi Presiden AS
Aliansi antara Moskow dan Beijing yang berakar dari upaya AS untuk mengisolasi Rusia merupakan kegagalan terbesar Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat, demikian disampaikan Alexei Pushkov, Kepala Komite Internasional Majelis Rendah Parlemen Rusia (Duma), Selasa (12/5).
“Menurut saya, hal tersebut merupakan kegagalan terbesar Obama sepanjang karir kepresidenannya. Persekutuan antara Moskow dan Beijing belum pernah sejelas saat ini,” kata Pushkov saat diwawancara stasiun radio Vesti FM. “Ya, kami memang memiliki kerja sama strategis, tapi tak pernah ada pembicaraan mengenai hubungan sekutu, kerja sama strategis di level yang lebih tinggi. Tiongkok tak mau campur tangan. Namun, kini aliansi mulai terbangun berkat kebijakan luar negeri AS di bawah pemerintahan Obama.”
Pushkov menilai Beijing sangat sadar bahwa jika kampanye anti-Rusia berjalan sukses, target selanjutnya adalah Tiongkok. Oleh karena itu, menurut Pushkov, Tiongkok bergerak menuju Rusia dan melawan upaya untuk mengisolasi Rusia. “Tiongkok mendadak tersadar bahwa jika kebijakan isolasi terhadap Rusia, berjalan sukses, Tiongkok bisa jadi target selanjutnya, karena Amerika tak pernah menutupi bahwa rival terbesar AS di abad ke-21 bukan Rusia, melainkan Tiongkok,” kata Pushkov. (indonesia.rbth.com)
Benarkah bahwa maksud dari latihan perang ini tidak lain adalah untuk memperlihatkan kepada dunia, khususnya Amerika Serikat (AS) dan Eropa, bahwa dua negara terkuat di belahan dunia timur sudah menjalin kerja sama militer? Dan lokasi latihan perang itu ada di halaman belakang Eropa Barat.
Serentetan kejadian dalam beberapa waktu terakhir ini memang bisa mengundang spekulasi makin mesranya Rusia dan China yang mengarah pada terbentuknya aliansi baru kedua raksasa itu.
Mei tahun lalu kedua negara secara simbolis menentang hegemoni finansial AS dan memotong dominasi Dollat AS dengan perjanjian antara bank Rusia VTB dan Bank of China untuk menggunakan mata uang domestik masing-masing dalam transaksi antara kedua negara. Perjanjian yang ditandatangani di Shanghai itu disaksikan langsung oleh Presiden Vladimir Putin dan Presiden Xi Jinping.
China dan Rusia juga menyepakati penjualan gas senilai USD 400 miliar. Dengan kesepakatan ini, produsen gas asal Rusia Gazprom akan mengirim 1,3 triliun kaki kubik gas ke China. Transaksi ini terjadi seiring ketegangan antara Rusia dan Eropa. Di mana pada tahun lalu, Rusia mengirim 30 persen dari suplai gasnya, atau sekira 6 triliun kaki kubik ke Eropa.
Presiden Rusia Vladimir Putin telah memangkas pengiriman gas ke Ukraina, yang porsinya mencapai setengah dari ekspor gas Rusia ke Eropa. Untuk itu, Eropa harus mencari cara dari krisis gas akibat penghentian ini. Apa yang dilakukan Putin ini akibat sanksi yang dikenakan kepada Rusia oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS). Semuanya berawal dari konflik geopolitik yang terjadi di Ukraina, di mana Rusia mel kukan ekspansi ke negara tersebut.
Bila dirunut ke belakang, di era paska perang dingin, Rusia dan China kadang kala memang membentuk kemitraan strategis untuk mengimbangi aliansi trans Atlantik di bawah pimpinan AS. Yang paling jelas adalah ketika NATO di tahun 1999 melawan sekutu Rusia, Serbia di Kosovo yang juga membuat marah China karena dibomnya kedutaan China secara tak sengaja di Beograd.
Selain itu kedua negara juga menentang invasi AS ke Iraq dan krisis akhir-akhir ini di Ukraina serta gerakan China di Laut China Selatan yang bersentuhan dengan negara-negara yang mesra dengan AS makin memicu terbentuknya kedekatan baru itu.
Tapi kedekatan baru itu juga menimbulkan reaksi dari negara-negara tetangga mereka di Eropa dan Asia untuk membina kemitraan strategis dengan AS dan memperkuat kemampuan militer mereka. Perjanjian energi antara Rusia dan China memang bisa menjadi perlawanan geopolitis terhadap AS, tetapi dengan adanya impuls hegemonik seperti yang ditunjukkan Rusia di Krimea dan klaim agresif China di Laut China Selatan dan wilayah udaranya, mendorong tetangga-tetangganya yang lebih kecil untuk mendekat ke AS.
Ini yang nampaknya membuat AS tak terlalu khawatir terhadap kemungkinan terbentuknya aliansi Rusia-China. Menlu AS, John Kerry pernah menyatakan bahwa perkembangan kedekatan kedua negara bukanlah hal baru yang mengagetkan dan jika dunia diuntungkan oleh perkembangan baru itu maka hal itu bagus-bagus saja.
Namun ketenangan itu rupanya tak dirasakan oleh semua pihak di AS. Di kalangan think tank dan intelektual ada pula yang khawatir bahwa perkembangan saat ini adalah gambaran sekilas tentang gambaran geopilitik di masa depan di mana dua otokrasi yang mempunyai ruang manuver untuk bekerjasama serta mempunyai tujuan sama menentang prinsip-prinsip liberal dan kepentingan AS. Ini berpeluang menciptakan konflik yang serius yang bisa berdampak pada kawasan, termasuk Indonesia.
Indonesia tentu harus mencermati perkembangan ini secara seksama dan harus berkontribusi baik dalam ide maupun gagasan serta langkah konkret menjadikan Indonesia dan kawasan Asia Tenggara sebagai wilayah yang dapat meng-engage secara konstruktif ketiga raksasa itu untuk kepentingan nasional dan regional. ( Merdeka.com )
Pushkov: Aliansi Moskow-Beijing adalah Kegagalan Terbesar Obama Selama Menjadi Presiden AS
Aliansi antara Moskow dan Beijing yang berakar dari upaya AS untuk mengisolasi Rusia merupakan kegagalan terbesar Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat, demikian disampaikan Alexei Pushkov, Kepala Komite Internasional Majelis Rendah Parlemen Rusia (Duma), Selasa (12/5).
“Menurut saya, hal tersebut merupakan kegagalan terbesar Obama sepanjang karir kepresidenannya. Persekutuan antara Moskow dan Beijing belum pernah sejelas saat ini,” kata Pushkov saat diwawancara stasiun radio Vesti FM. “Ya, kami memang memiliki kerja sama strategis, tapi tak pernah ada pembicaraan mengenai hubungan sekutu, kerja sama strategis di level yang lebih tinggi. Tiongkok tak mau campur tangan. Namun, kini aliansi mulai terbangun berkat kebijakan luar negeri AS di bawah pemerintahan Obama.”
Pushkov menilai Beijing sangat sadar bahwa jika kampanye anti-Rusia berjalan sukses, target selanjutnya adalah Tiongkok. Oleh karena itu, menurut Pushkov, Tiongkok bergerak menuju Rusia dan melawan upaya untuk mengisolasi Rusia. “Tiongkok mendadak tersadar bahwa jika kebijakan isolasi terhadap Rusia, berjalan sukses, Tiongkok bisa jadi target selanjutnya, karena Amerika tak pernah menutupi bahwa rival terbesar AS di abad ke-21 bukan Rusia, melainkan Tiongkok,” kata Pushkov. (indonesia.rbth.com)