Wajib militer kembali diperkenalkan oleh Försvarsmakten karena dianggap perlu, selama Pemerintahan PM Fredrik Reinfeldt periode 2006-2014 lalu Swedia mengalami krisis ekonomi sama seperti di dunia yang juga mengalami krisis ekonomi. Krisis ekonomi Swedia yang dialami pada tahun 2010an merupakan depresi terburuk sejak tahun 1930an, untuk mencegah semakin buruknya ekonomi maka Kementerian Keuangan Swedia Anders Borg memutuskan memotong pengeluaran militer.
Swedia merupakan negara netral sejak Perang Napoleon 1800an, maka dari itu negara tersebut mengandalkan kemandirian militer dalam bentuk apapun, akibatnya Försvarsmakten selalu mengadakan wajib militer bagi penduduknya terutama saat Cold War. Pada tahun 1980an Swedia mampu menggerakan 700.000 personel pasukan, jumlah yang sangat besar bagi negara berpenduduk hanya 10 Juta orang saja, wajib militer tidak hanya menguntungkan Försvarsmakten saja tetapi warga sipil juga yang belajar disiplin dan sopan santun dalam kehidupan keseharian.
Sejak Cold War berakhir, Russia bukanlah ancaman lagi bagi teritorial Swedia, maka dari itu sejak 2000an Försvarsmakten menggunakan wajib militer sebagai sarana dalam perdamaian dunia. Namun ketika Russia menyerang Georgia tahun 2008, warga Swedia tidak terlalu memperdulikan Russia, namun setelah aneksasi Krimia 2014 dan mendukung pemberontakan di Donbass, Swedia menyadari bahwa negara tersebut harus kembali dari "Alam Kuburnya". Sejak 2017 lalu Swedia kembali mengaktifkan kembali wajib militer yang sempat nonaktif pada 2010 lalu, bahkan anggaran militer Swedia terus digenjot merangkak naik tahun ke tahun.
Saat ini dana pertahanan Försvarsmakten pada 2019 sebesar kr59.400.000.000 atau sebesar Rp88,53 Triliun, Swedia juga tiap tahunnya menganggarkan kr4,5 Miliar (Rp6,7 Triliun) untuk menjalankan program wajib militernya.
Wanita dalam Försvarsmakten, sejak 2017 lalu keluar aturan bahwa wanita Swedia akan ikut dalam "Wajib Militer" jumlah wanita dalam Försvarsmakten sebesar 4.000-5.000 personel wanita dalam militer.