Pasukan dari Pusat Latihan No. 242 dari Angkatan Udara Rusia mempersiapkan diri untuk naik pesawat di lapangan udara Chkalovsky di Omsk, Rusia. |
Rusia telah memutuskan mundur dari Trakat Angkatan Bersenjata Konvensional Eropa (Conventional Armed Forces in Europe/CFE) dan menyebut perjanjian tersebut sebagai “hal yang tak bermakna”. Para pakar menilai ini adalah cara Moskow mengekspresikan ketidakpuasannya atas tindakan Barat terkait krisis Ukraina.
Moskow telah mengumumkan keputusannya untuk mundur dari Trakat CFE pada Rabu (11/3), dan menyebut perjanjian tersebut “tak bermakna, baik dari sudut pandang politis maupun praktis”. Sekretaris Jendral NATO Jens Stoltenberg menyatakan pihak sekutu kecewa atas keputusan Rusia.
Sinyal bagi Barat
Para pakar mengaitkan keputusan Moskow dengan situasi yang terjadi akibat krisis Ukraina. Kepala Pusat Keamanan Internasional di Institute of World Economy Alexei Arbatov mendeskripsikan langkah Rusia sebagai “gestur demonstratif untuk menanggapi langkah NATO yang melakukan ekspansi di dekat perbatasan Rusia”.
Menurut sang pakar, sejak Amerika mengirim tank-tank ke Latvia beberapa hari lalu, Rusia hendak “sekali lagi mengingatkan” bahwa mereka tak lagi terikat oleh kesepakatan tersebut.
Arbatov berpendapat, pengiriman tank tersebut jelas melanggar “setidaknya semangat kesepakatan, kalau bukan kesepakatan itu sendiri”. Ia berasumsi, seiring berjalannya waktu, batas maksimal jumlah senjata bagi negara-negara Baltik—yang tidak disinggung baik dalam CFE maupun versi adaptasinya—yang bergabung dengan NATO pada 2004 juga meningkat.
Kepala Dewan Hubungan Internasional Rusia Andrei Kortunov pun melihat mundurnya Rusia dari perjanjian tersebut sebagai sinyal bagi Barat. “Rusia hendak memperlihatkan bahwa mereka tidak senang atas aktivitas militer NATO di perbatasannya,” kata Kortunov.
“Kesalahan Besar”
Rusia telah meratifikasi versi adaptasi Trakat CFE meskipun trakat tersebut tidak menyebutkan negara-negara Baltik. Sementara, perjanjian mengenai batasan senjata untuk NATO melampaui tiga kali lipat dibanding batasan untuk tentara Rusia. Namun, NATO tetap tidak mau meratifikasi dokumen tersebut.
NATO meminta Rusia melakukan implementasi Perjanjian Istanbul 1999 terlebih dulu, yang mengharuskan Rusia menarik pasukannya dari Georgia, Abkhazia, Osetia Selatan, dan Transnistria, sebagai syarat untuk meratifikasi trakat tersebut. Moskow menyebut ikatan tersebut “artifisial”, dan mengaktakan bahwa perjanjian dengan penarikan pasukan, yang ditandatangani oleh Georgia dan Moldova, adalah kesepakatan dua pihak dan tidak berkaitan dengan Trakat CFE.
“Negara NATO tidak mau segera meratifikasi trakat versi adaptasi. Padahal, Rusia telah menarik hampir semua pasukannya, yang tersisa di sana tinggalah kontingen dan objek yang tidak signifikan. Barat ingin Rusia menarik semua pasukan untuk mematuhi perjanjian Istanbul. Dari sisi NATO, saya pikir ini adalah hal yang sangat tidak bijaksana, ini adalah kesalahan besar,” kata Arbatov, menambahkan bahwa aliansi tersebut telah mengakhiri rezim kontrol senjata konvensional di Eropa.
Meningkatkan Kecurigaan
Di saat yang sama, para pakar menyayangkan mundurnya Rusia dari Trakat CFE tidak disertai dengan inisiatif spesifik mengenai bagaimana cara untuk mengembalikan stabilitas dan keamanan yang dibutuhkan.
“Jika Anda menolak sesuatu, bahkan secara adil, Anda harus untuk menawarkan solusi baru atas masalah tersebut,” kata Kortunov, yang yakin bahwa penarikan diri Rusia dari pernjanjian ini akan memperparah sentimen anti-Rusia dan kecurigaan negara Barat terhadap Rusia.
Tentang CFE
Trakat CFE, yang menetapkan batas maksimal jumlah senjata berat, ditandatangani oleh NATO dan Organisasi Pakta Warsawa pada 1990. Pada 1999, muncul versi adaptasi perjanjian tersebut. Mengingat pesatnya perkembangan NATO, batasan jumlah senjata negara-negara aliansi diturunkan, sementara Rusia diizinkan menambah peralatan militer untuk wilayah barat laut Rusia dan Kaukasus.
Moskow meratifikasi trakat versi adaptasi pada 2004, namun dari 30 negara yang menandatangi dokumen CFE, langkah ini hanya diikuti oleh tiga negara, yakni Belarus, Kazakhstan, dan Ukraina. Pada 2007, Rusia menangguhkan implementasi perjanjian tersebut dan akhirnya kini memutuskan mundur sepenuhnya dari perjanjian tersebut.
Moskow telah mengumumkan keputusannya untuk mundur dari Trakat CFE pada Rabu (11/3), dan menyebut perjanjian tersebut “tak bermakna, baik dari sudut pandang politis maupun praktis”. Sekretaris Jendral NATO Jens Stoltenberg menyatakan pihak sekutu kecewa atas keputusan Rusia.
Sinyal bagi Barat
Para pakar mengaitkan keputusan Moskow dengan situasi yang terjadi akibat krisis Ukraina. Kepala Pusat Keamanan Internasional di Institute of World Economy Alexei Arbatov mendeskripsikan langkah Rusia sebagai “gestur demonstratif untuk menanggapi langkah NATO yang melakukan ekspansi di dekat perbatasan Rusia”.
Menurut sang pakar, sejak Amerika mengirim tank-tank ke Latvia beberapa hari lalu, Rusia hendak “sekali lagi mengingatkan” bahwa mereka tak lagi terikat oleh kesepakatan tersebut.
Arbatov berpendapat, pengiriman tank tersebut jelas melanggar “setidaknya semangat kesepakatan, kalau bukan kesepakatan itu sendiri”. Ia berasumsi, seiring berjalannya waktu, batas maksimal jumlah senjata bagi negara-negara Baltik—yang tidak disinggung baik dalam CFE maupun versi adaptasinya—yang bergabung dengan NATO pada 2004 juga meningkat.
Kepala Dewan Hubungan Internasional Rusia Andrei Kortunov pun melihat mundurnya Rusia dari perjanjian tersebut sebagai sinyal bagi Barat. “Rusia hendak memperlihatkan bahwa mereka tidak senang atas aktivitas militer NATO di perbatasannya,” kata Kortunov.
“Kesalahan Besar”
Rusia telah meratifikasi versi adaptasi Trakat CFE meskipun trakat tersebut tidak menyebutkan negara-negara Baltik. Sementara, perjanjian mengenai batasan senjata untuk NATO melampaui tiga kali lipat dibanding batasan untuk tentara Rusia. Namun, NATO tetap tidak mau meratifikasi dokumen tersebut.
NATO meminta Rusia melakukan implementasi Perjanjian Istanbul 1999 terlebih dulu, yang mengharuskan Rusia menarik pasukannya dari Georgia, Abkhazia, Osetia Selatan, dan Transnistria, sebagai syarat untuk meratifikasi trakat tersebut. Moskow menyebut ikatan tersebut “artifisial”, dan mengaktakan bahwa perjanjian dengan penarikan pasukan, yang ditandatangani oleh Georgia dan Moldova, adalah kesepakatan dua pihak dan tidak berkaitan dengan Trakat CFE.
“Negara NATO tidak mau segera meratifikasi trakat versi adaptasi. Padahal, Rusia telah menarik hampir semua pasukannya, yang tersisa di sana tinggalah kontingen dan objek yang tidak signifikan. Barat ingin Rusia menarik semua pasukan untuk mematuhi perjanjian Istanbul. Dari sisi NATO, saya pikir ini adalah hal yang sangat tidak bijaksana, ini adalah kesalahan besar,” kata Arbatov, menambahkan bahwa aliansi tersebut telah mengakhiri rezim kontrol senjata konvensional di Eropa.
Meningkatkan Kecurigaan
Di saat yang sama, para pakar menyayangkan mundurnya Rusia dari Trakat CFE tidak disertai dengan inisiatif spesifik mengenai bagaimana cara untuk mengembalikan stabilitas dan keamanan yang dibutuhkan.
“Jika Anda menolak sesuatu, bahkan secara adil, Anda harus untuk menawarkan solusi baru atas masalah tersebut,” kata Kortunov, yang yakin bahwa penarikan diri Rusia dari pernjanjian ini akan memperparah sentimen anti-Rusia dan kecurigaan negara Barat terhadap Rusia.
Tentang CFE
Trakat CFE, yang menetapkan batas maksimal jumlah senjata berat, ditandatangani oleh NATO dan Organisasi Pakta Warsawa pada 1990. Pada 1999, muncul versi adaptasi perjanjian tersebut. Mengingat pesatnya perkembangan NATO, batasan jumlah senjata negara-negara aliansi diturunkan, sementara Rusia diizinkan menambah peralatan militer untuk wilayah barat laut Rusia dan Kaukasus.
Moskow meratifikasi trakat versi adaptasi pada 2004, namun dari 30 negara yang menandatangi dokumen CFE, langkah ini hanya diikuti oleh tiga negara, yakni Belarus, Kazakhstan, dan Ukraina. Pada 2007, Rusia menangguhkan implementasi perjanjian tersebut dan akhirnya kini memutuskan mundur sepenuhnya dari perjanjian tersebut.
Sumber : RBTH Indonesia