Pakar: Rusia Bisa Berubah Jadi Musuh Bebuyutan AS

ilustrasi
Meski saat ini hubungan Rusia dan AS secara drastis mendingin, para politikus dan pakar dari kedua negara tetap melanjutkan dialog diplomatik dan berupaya mencari titik temu di antara mereka. Kesimpulan dari diskusi para pemimpin lembaga diplomatik tersebut ialah kriris hubungan bilateral mereka telah berlarut-larut dan mulai hilang kendali.

Pertemuan para kepala lembaga diplomatik Rusia dan AS yang berlangsung di Roma pada pertengahan Desember menunjukan meski hubungan bilateral mereka saat ini sedang meruncing, kedua negara adidaya nuklir tersebut tetap berusaha mencari titik temu dan siap bekerja sama menyelesaikan isu-isu penting, termasuk masalah di Palestina. Para pakar menilai Moskow dan Washington sama-sama bersedia menurunkan ketegangan hubungan mereka, namun kecil kemungkinan normalisasi skala penuh dapat terjadi dalam jangka waktu menengah.

“Jika krisis ini terus memburuk, akan timbul berbagai masalah serius. Rusia bisa berubah menjadi musuh bebuyutan AS,” kata Andrey Sushentsov dari Vneshnaya Politika berpendapat. Dari perspektif potensi pertempuran bersenjata, Rusia tak akan menimbulkan ancaman serius bagi AS (dengan mengesampingkan aspek risiko perang nuklir), akan tetapi peralihan Rusia masuk ke barisan musuh AS akan menciptakan isu-isu serius dalam proses realisasi kepentingan AS di beberapa wilayah dunia seperti Asia, Eropa, dan Timur Dekat, serta mempersulit proses pengekangan Tiongkok.

Oleh sebab itu, Moskow dan Washington mengambil langkah untuk mencegah ekskalasi terkait isu paling sensitif dalam hubungan bilateral Rusia-AS, yakni situasi di Ukraina. “Langkah pertama yang telah disetujui semua pihak adalah gencatan senjata di Ukraina timur. Saat ini gencatan senjata tersebut sudah berlangsung dan kedua belah pihak telah menarik mundur pasukannya,” terang Sushentsov.

Selain itu, terdapat satu faktor lain yang bisa menjadi sumber kesalahpahaman, yakni realisasi perjanjian kerja sama Ukraina dengan Uni Eropa. Ahli politik Eropa dan Amerika menyakini penandatanganan perjanjian tersebut tidak melanggar kepentingan Moskow. Menurut pakar, hal itu tidak membuat langkah Kiev semakin dekat untuk bergabung dengan Uni Eropa, tapi sebaliknya malah mungkin akan menunda kemungkinan tersebut terwujud.

Normalisasi Hubungan Masih Sulit

Meski AS dan Rusia berhasil berkompromi terkait isu di Ukraina, tetap saja normalisasi hubungan kedua negara ini masih jauh. Hal tersebut dikarenakan dua hal. Pertama, sulit bagi AS dan Rusia untuk membuat modus vivendi (persetujuan dua pihak yang bersengketa) perihal luas wilayah pasca-Uni Soviet secara keseluruhan.

“Kedua pihak memiliki pendekatan yang berbeda mengenai wilayah tersebut. Rusia, baik dalam era Yeltsin maupun era Putin, tetap bergerak untuk mendapatkan pengakuan wilayah bekas Uni Soviet sebagai lingkup kepentingan prioritasnya, sementara AS tidak mengakui klaim tersebut,” papar dosen universitas RGGU Rusia Sergey Markedonov.

Alasan kedua, Rusia dan AS tak dapat membuat modus vivendi secara global. Mereka bekerja sama dalam sejumlah hal seperti di luar angkasa, Arktik, dan Timur Dekat, namun mereka masih belum memiliki struktur hubungan bilateral internal dengan visi strategis yang utuh.

Jika kedua belah pihak tidak mengerahkan upaya serius untuk menciptakan struktur tersebut dalam waktu dekat, maka pakar Rusia berpendapat hanya akan ada dua skenario yang dapat menghentikan perselisihan kekuasaan tersebut. “Pertama, salah satu negara harus menolak memperluas lingkup pengaruhnya. Namun, mereka harus mampu bertahan dari tekanan nasional untuk itu. Skenario kedua adalah jika Moskow dan Washington terpaksa menyatukan kekuatannya untuk menghadapi pesaing yang lebih kuat. Namun pesaing tersebut tidak akan muncul dalam waktu dekat,” kata ahli politik Rusia, kepala lembaga analisis politik Alte Et Certe Andrey Epifantsev. 

Ia berpendapat kecil kemungkinan stabilisasi hubungan dapat terjadi berkat kompromi terhadap kondisi saat ini. “Kedua negara memiliki pandangan yang sangat berbeda dalam melihat dunia ini, sedangkan kompromi satu arah yang dicapai melalui keputusan Rusia menghentikan usaha untuk melindungi kepentingannya hanya akan menjadi bentuk kekalahan,” tambah Epifantsev. Menurut sang pakar, Putin tak dapat menyetujui hal tersebut baik dalam situasi politik maupun luar negeri saat ini.

Sumber : RBTH Indonesia

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait