TNI dan Polri ramai-ramai mengerahkan pasukannya ke wilayah Nduga, Papua. Mereka ditugaskan memburu pembunuh sejumlah pekerja Trans Papua dari PT Istaka Karya.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ifdhal Kasim mengatakan pelopor pencarian itu harus dipusatkan pada instansi Polri. Dia merespons ucapan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang ingin TNI turun tangan menangani kasus pembunuhan itu.
"Untuk merespons peristiwa ini, jika menggunakan instrumen hukum, penegakan hukum pidana harusnya yang melakukan adalah kepolisian," kata Ifdhal
"Ini juga mengingat masih dalam ruang lingkup kepolisian setempat. Menjaga integritas wilayah," imbuhnya.
Kadiv Humas Polri Brigjen Muhammad Iqbal mengaku kepolisian telah memetakan wilayah Nduga. Strategi teknis dan taktis pun sudah mereka rancang.
Saat ini Polri terus mengidentifikasi para pembunuh korban terafiliasi dalam kelompok apa.
“Kami mengerucutkan apakah kelompok ini benar atau tidak, yang jelas Polri dan TNI akan mengejar dan menindak tegas kelompok ini,” kata Muhammad Iqbal
"Kami mengerucutkan apakah kelompok ini benar atau tidak, yang jelas Polri dan TNI akan mengejar dan menindak tegas kelompok ini," ucap Iqbal. Sedangkan Wakapendam Kodam XVII/Cenderawasih Letkol Infanteri Dax Sianturi menyatakan TNI dan Polri memiliki kewajiban yang sama, yaitu mengamankan NKRI.
Terkait instansi mana yang menjadi pelopor pemburuan pelaku pembunuhan itu, saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (5/12/2018), Dex hanya menjawab, "Kami serahkan kepada pimpinan TNI saja." Antara Kelompok Bersenjata dengan Separatis Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan saat ini status pemburuan diduga menargetkan "kelompok bersenjata".
Maka dari itu Polri seharusnya menjadi unsur terdepan yang bertanggung jawab atas operasi itu. "Densus 88 termasuk yang dilibatkan, itu bisa saja. Seperti pelibatan satuan-satuan Polri lainnya," kata Khairul kepada reporter Tirto, Rabu (5/12/2018).
Sedangkan TNI, kata Khairul, menjadi unsur pendukung yang pergerakannya tetap berada di bawah koordinasi Polri. Menurutnya hal itu sesuai dengan aturan hukum Indonesia.
Jika TNI hendak ditempatkan di garis depan operasi itu, menurut Khairul, target bukan lagi "kelompok bersenjata". Melainkan harus ditambahkan embel-embel "separatis".
"Status ini punya konsekuensi tak sederhana. Artinya mengakui mereka sebagai kelompok yang ingin memisahkan diri dari NKRI alias pejuang kemerdekaan. Bukan lagi sekadar kelompok yang mengganggu atau mengacaukan keamanan di wilayah Papua," jelasnya.
Pada level tertentu, tambah Khairul, status tertib sipil bisa dicabut dan Papua menjadi Daerah Operasi Militer (DOM). Namun tidak selesai di situ, perhatian dunia internasional akan sangat tajam ketika mengetahui adanya DOM. "Skemanya bukan operasi teritorial, tapi pemulihan keamanan dengan Polri sebagai penjuru dan TNI sebagai penguat," kata Khairul menduga bentuk operasi yang sedang dilakukan saat ini.