Menilik Kehidupan Prajurit TNI di Tapal Batas


Makan nasi berlauk daun singkong tumbuk, sudah menjadi hal yang biasa bagi prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) di tapal batas. Hidup di tengah-tengah masyarakat yang penuh keterbatasan membuat para prajurit terbiasa menjalani berbagai peran.

Dari berladang untuk memenuhi kebutuhan pangan, mengajar, mengobati orang sakit, sampai membuat jalan dan jembatan untuk patroli, harus mereka lakukan. Setidaknya, hal itu yang tengah dilakukan Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan Batalyon Infanteri 511/Dibyatara Yodha di perbatasan wilayah Entikong, Kalimantan Barat.

Komandan Satgas Pamtas Yonif 511/DY Letnan Kolonel infanteri, Jadi mengatakan saat ini mereka tengah bertugas mengamankan daerah perbatasan tersebut. Terdapat 29 pos yang menjadi area tanggung jawabnya di sektor barat. Setiap pos memiliki tanggung jawab terhadap wilayah di sekitar pos. "Kami selalu menekankan kepada anggota untuk membantu kesulitan masyarakat, diminta ataupun tidak diminta," ujar Letkol Jadi, saat Tempo menyambangi wilayah tugasnya pada Rabu, 31 Oktober 2018.

Jadi tidak mengherankan lagi apabila di daerah perbatasan terlihat orang berbaju loreng mengajar di ruang-ruang kelas. Para prajurit tersebut biasanya mengajar pelajaran umum. Saat mengajar, mereka juga akan menyampaikan soal wawasan kebangsaan dan cinta tanah air, agar anak-anak di wilayah perbatasan memiliki rasa nasionalisme.

Komandan Pos Gun Tembawang, Letnan Dua Inf Gatot Primadasa merupakan salah satu personel TNI yang menjadi guru di Sekolah Dasar di Dusun Gun Jemak, Desa Suruh Tembawang, Entikong, Kalimantan Barat. Di desa tersebut, hanya ada satu sekolah dasar negeri dan belum ada sekolah menengah pertama, apalagi sekolah menengah atas. "Tenaga pendidik di sini sangat kurang. Hal itu membuat saya merasa terpanggil untuk membantu mengajar anak-anak di perbatasan," ujar Gatot, ketika ditemui sedang bertugas.

Gatot menuturkan, sering terkendala cuaca buruk saat akan berangkat dari pos TNI yang berlokasi di seberang sungai ke Dusun Gun Jemak. Waktu yang dibutuhkan untuk menuju dusun itu sekitar 20 menit. "Kalau hujan, air sungai ini naik, kami tidak bisa ke mana-mana. Jalan juga tak bisa dilalui," ujar dia.

Akses jalan di Desa Suruh Tembawang memang sangat tidak memadai. Hanya ada badan jalan bertanah merah bercampur kerikil. Jalan sangat terjal dan licin, jika hujan mengguyur wilayah itu. Kata Gatot, jika hujan turun, apabila tidak berhati-hati berjalan, bisa masuk jurang yang ada di samping jalan.

Selain kesulitan akses jalan dan logistik, pasukan Satgas Pamtas ini juga kesulitan mendapatkan informasi, karena tidak ada sinyal internet. Mereka hanya bisa berkomunikasi dengan keluarga nun jauh di sana via telepon atau pesan singkat.

Untuk menelepon, mereka membuat sebuah kayu yang bisa menjadi penyangga telepon genggam. Kayu tersebut diletakkan di sebuah tempat, yang bisa menangkap sinyal. Telepon pun harus didengar dengan speaker dan dijaga posisinya tidak bergerak agar sinyal tidak putus-putus. "Kami harus bicara keras-keras. Kalau telepon diangkat dari kayu itu, sinyal hilang," ujar Gatot bercerita.

Adapun tugas pokok personel Pamtas ini adalah menjaga patok perbatasan dengan melakukan operasi patroli patok. Ada 87 patok yang menjadi batas wilayah RI-Malaysia, yang harus dijaga agar tidak ada pergeseran. Satgas juga bertugas mengawasi keluar-masuk barang ilegal dari dan menuju desa yang berbatasan langsung dengan wilayah Serawak, Malaysia itu.

Selama kurang lebih enam bulan bertugas di wilayah tersebut, Gatot dan anggotanya mengaku belum pernah menemukan barang ilegal masuk melalui Desa Suruh Tembawang. Desa itu hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki melalui Kampung Sepit, Serawak Malaysia.

Sumber : TEMPO

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait