Islam Politik: Bangkitnya Kekuatan Politik Agama di Indonesia


Berkumpulnya massa dalam jumlah besar di Jakarta akhir pekan ini memprotes pengakuan Trump terhadap Yerusalem karena ibukota Israel kembali menunjukkan kekuatan baru Islam politik di Indonesia. Menurut para pengamat, kebangkitan ini dapat menyebabkan dampak serius bagi Presiden Jokowi menjelang pemilihan nasional tahun 2019. Opini oleh John Mcbeth.

Besarnya jumlah massa di Jakarta pada akhir pekan ini yang melakukan protes terhadap pengakuan Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel, kembali menunjukkan kekuatan yang baru ditemukan.

Massa berkekuatan 100 ribu orang yang berkerumun di pusat Jakarta pada protes hari Minggu (17/12) atas pengakuan Presiden AS Donald Trump terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel tersebut, kembali menunjukkan kekuatan yang baru ditemukan, apa yang disebut oleh akademisi sebagai upaya politik agama di Indonesia.


Demonstrasi tersebut adalah aksi protes pro-Palestina terbesar di ibu kota Indonesia, walaupun masih kalah jumlah dengan banyaknya massa yang melakukan demonstrasi terhadap Gubernur Jakarta Basuki Purnama pada bulan November dan Desember tahun 2016, yang akhirnya menurunkan gubernur tersebut.

Namun begitu, dalam konteks lingkungan politik saat ini, pengaruh para pengatur politik agama di Indonesia—yang pertama kali muncul saat pertarungan gubernur pada bulan April lalu—dapat memiliki dampak serius bagi Presiden Jokowi menjelang pemilihan nasional tahun 2019.

Berdasarkan survei yang dilakukan sebelum dan setelah mobilisasi Muslim yang berakhir pada kekalahan Ahok, sebuah tulisan mengatakan bahwa kesuksesannya dapat berasal dari kemampuan tokoh-tokoh yang sama, untuk mengatur narasi yang efektif.

Ditulis oleh Profesor Marcus Mietzner dari Universitas Naisonal Australia, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, dan peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) Rizka Halida, tulisan tersebut menyebut protes pada tahun 2016 sebagai “perubahan penting dalam politik Indonesia,” dan menekankan bahwa para oposisi non-Muslim yang memegang posisi politik telah semakin dipersulit sejak saat itu.

Tulisan tersebut mengidentifikasi calon kandidat kepresidenan Prabowo Subianto, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pemimpin Front Pembela Islam (FPI) yang mengasingkan diri Habib Rizieq Shihab, dan anggota kelompok Islam yang kerap disebut garis keras Bachtiar Nasir dan Al-Khaththath, sebagai para pemain utama dalam mengarahkan persepsi Muslim terhadap politik dan ekonomi.

Para analis berspekulasi mengenai koalisi antara Prabowo dan SBY pada tahun 2019, di mana putra mantan presiden tersebut yang berusia 39 tahun, Agus Harimurti, berada dalam daftar calon kandidat wakil presiden yang akan maju bersama Prabowo.

Walaupun Agus gagal saat menjadi kandidat pemilu Gubernur Jakarta, mayor pensiunan militer tersebut dapat tampil dengan baik, dan dapat membantu Prabowo untuk menarik 80 juta kaum milenial yang merupakan bagian besar dari pemilih Indonesia sebanyak 185 juta orang.

Para analis percaya bahwa meningkatnya ketimpangan di masyarakat Indonesia dan kegagalan pemerintah Jokowi untuk menciptakan lapangan pekerjaan untuk lulusan sekolah, membuat orang yang tidak mampu, mempertimbangkan apa yang mereka lihat sebagai sistem kapitalis yang gagal.

Dalam Laporan Kekayaan Global ketujuhnya, yang dirilis pada tahun ini, Credit Suisse Research Institute menyebut Indonesia sebagai negara paling timpang keempat di dunia, dan menekankan bahwa satu persen teratas populasi orang dewasa dari penduduk sebanyak 164 jiwa, mengendalikan setengah dari kekayaan negara yang sebesar $1,8 triliun.

“Masalah dari teori tetesan ke bawah (teori kegiatan ekonomi besar untuk kemakmuran kalangan kelas bawah), adalah bahwa tidak ada yang ‘diteteskan,'” ujar Ma’ruf Amin, ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam konferensi tahunan Nahdlatul Ulama baru-baru ini, yang merupakan Organisasi Islam terbesar di dunia, yang telah meminta pemerintah Indonesia untuk memunculkan model ekonomi yang baru.

Amin—yang juga memimpin demonstrasi pada Minggu (17/12)—adalah penasihat agama paling berpengaruh bagi SBY saat masa kepresidenannya yang panjang, dan mengeluarkan fatwa kontroversial melawan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme, yang berperan dalam merusak reputasi toleransi Indonesia.

Nasir—seorang ulama yang mengenyam pendidikan di Arab Saudi—menegaskan bahwa target berikutnya dari koalisi anti-Ahok adalah perusahaan-perusahaan milik pengusaha beretnis China, yang penguasaannya terhadap ekonomi yang dilakukan secara timpang, dengan cepat menjadi pesan inti dalam rencana permainan untuk mengalahkan Jokowi dalam periode kedua di tahun 2019.

Penemuan paling penting dalam survei opini baru-baru ini adalah bahwa sejak mobilisasi massa pada tahun lalu, terdapat peningkatan tajam dalam jumlah Muslim Indonesia yang percaya bahwa non-Muslim tidak seharusnya menjabat di jabatan tinggi politik.

Kekalahan Ahok dan hukuman penjaranya selama dua tahun karena penistaan, adalah akibat dari ketika ia mempertanyakan sebuah ayat Al-Qur’an, yang dianggap oleh para Islam konservatif bahwa posisi politik hanya diperuntukkan bagi umat Muslim.

Indonesia jelas masih jauh untuk memilih non-Muslim sebagai presiden. Bahkan seorang beretnis non-Jawa sangat jarang menjadi Presiden, seperti B. J. Habibie yang lahir di Sulawesi—dan itu hanya karena turunnya Presiden Suharto yang membuatnya, sebagai Wakil Presiden, menjabat.

Namun dalam polling LSI terbaru, rata-rata sebesar 49,6 persen dari responden percaya, bahwa non-Muslim seharusnya tidak menjadi presiden, wakil presiden, gubernur, bupati, atau wali kota—yang merupakan peningkatan sebesar 7,3 persen, dari survei serupa yang dilaksanakan oleh Wahid Institute pada bulan Maret tahun lalu.

Tentu saja, karena jajak pendapat tersebut menunjukkan sikap moderat sebelum mobilisasi kelompok Islam tahun 2016, dapat disimpulkan bahwa tema yang dipropaganda oleh para pengelola protes dan pendukung politik mereka, bertanggung jawab atas meningkatnya gagasan keagamaan ini.

Banyak dari mereka yang bergabung bersama pesan mobilisasi tersebut, atau terradikalisasi selama dan setelah protes itu, adalah Muslim dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah, walau tulisan tersebut menemukan bahwa sejak tahun 2010-2011, masyarakat kaya dan berpendidikan tinggi mencakup sebagian yang lebih besar dari komunitas Islam, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Tren yang sama berlaku di kelompok pemuda Indonesia, di mana 52,4 persen siswa sekolah menengah pertama, dan 47,5 persen siswa sekolah menengah atas menentang gubernur non-Muslim, yang secara signifikan lebih banyak dari survei tahun 2016 yang saat itu sebesar 40 persen; namun untuk mahasiswa berkisar di angka yang sama, sekitar 43-44 persen.

“Penolakan terhadap non-Muslim dalam posisi politik, mendukung Front Pembela Islam (FPI), dan persepsi bahwa kesenjangan ekonomi antara Muslim dan non-Muslim meningkat setelah mobilisasi tersebut,” tulisan tersebut menekankan.

Yang mengkhawatirkan, dukungan terhadap agenda FPI meningkat dari 15,6 persen menjadi 23,6 persen antara Juni tahun lalu dan Agustus tahun ini, walau Rizieq Shihab sedang mencari perlindungan di Arab Saudi, untuk melarikan diri dari tuduhan pornografi (yang akhirnya tidak terbukti).

Anehnya, sikap di antara umat Muslim dalam tingkat sosial dan budaya tetap moderat, seperti yang mereka lakukan selama tujuh tahun terakhir, dimana jumlah mereka yang keberatan dengan tempat-tempat ibadah non-Muslim di lingkungan mereka, menurun dari 52 persen menjadi 48,2 persen.

Namun para penulis mengatakan bahwa hal ini bisa dijelaskan dengan fakta bahwa para partisipan diberi tahu bahwa bergabung dengan protes tersebut tidak membuat mereka menjadi rasis, dan bahwa Islam tetaplah toleran terhadap agama lain—walau gagasannya sejak saat itu menunjukkan cerita yang berbeda.

“Sudah jelas, gagasan inti dari Islam garis keras telah semakin kuat di antara populasi Muslim sebagai dampak dari mobilisasi tersebut,” ujar mereka, dan menekankan bahwa walau para pemimpin protes telah mencapai tujuan mereka, masyarakat Muslim yang telah lama moderat, menjadi mudah terpengaruh dengan gagasan-gagasan eksklusif.

Tulisan tersebut mempertanyakan tindakan pemerintah yang represif dalam berhadapan dengan protes tersebut, termasuk mengajukan kasus hukum yang tidak berkaitan terhadap para pengatur protes dan melakukan proses yudisial untuk melarang organisasi Islam Hizbut Tahrir, karena secara terbuka mempromosikan kekhalifahan. “Untuk melindungi dirinya, demokrasi harus tegas,” ujar tulisan tersebut, “tapi juga secara tegas taat hukum.”

Sumber : matamatapolitik.com

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait