Patung Gajah Mada |
Beberapa hari terakhir ini warganet “geger” meributkan wacana Majapahit adalah Kesultanan Islam. Lebih ribut lagi, ada informasi (lantas menjadi viral) yang menyebutkan Maha Patih Gadjah Mada adalah seorang muslim dan bernama asli Gaj Ahmada.
Banyak yang membantah informasi tersebut. Tidak sedikit yang menilainya sebagai hasil otak-atik gathuk (asal nyambung), dan tidak sedikit yang menertawakan.
Pada 2010 lalu, wacana Kesultanan Majapahit sebenarnya sudah muncul. Buku pertama pencetus wacana ini berjudul Kesultanan Majapahit: Fakta Sejarah yang Tersembunyi. Penerbitnya, Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Yogyakarta. Lembaga ini mencetak buku itu cuma 1.000 eksemplar.
Penulis buku itu, Herman Sinung Janutama, adalah penggiat kajian budaya Jawa, yang tercatat pernah studi di jurusan fisika UGM. Untuk keperluan penyusunan buku, Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Yogyakarta membentuk kelompok pengkaji bernama “Tim Kajian Kesultanan Majapahit”, beranggotakan 29 orang. Mereka mengklaim bekerja selama tiga tahun sejak 2006. Di tim itu ada dua orang yang dipercaya mahir memahami naskah-naskah Jawa kuno, yakni Herman dan Imam Qalyubi.
Klarifikasi Tim Kajian Kesultanan Majapahit
Saat ditemui Tirto, Ketua Tim Kajian Kesultanan Majapahit, Ryanto Tri Nugroho, akrab disapa Rinto, menanggapi enteng cibiran di media sosial terhadap teori Majapahit Islam. Dia mengklaim timnya punya dasar kuat meski metode riset dan kesimpulannya berkebalikan dengan studi sejarah dan antropologi mainstream.
“Kami hanya ingin membuka kembali wacana yang dulu diyakini banyak orang-orang sepuh. Nanti kami akan jelaskan bertahap, tidak perlu emosi menanggapi bantahan itu,” kata Rinto kepada Tirto di Kantor Pengurus Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta pada Sabtu (17/6).
Wakil Ketua Pengurus Harian PDM Kota Yogyakarta itu hanya mengklarifikasi, “Kami sebut Gadjah Mada muslim. Tapi, kami tak menyebut Gadjah Mada bernama Gaj Ahmada, itu informasi salah.”
Rinto sudah menduga mayoritas orang akan menolak kesimpulan kajian timnya. Pasalnya, kajian itu sengaja berniat membantah teori sejarah tentang Majapahit yang sudah mapan di kalangan akademikus, yakni bahwa Wilwatikta ialah kerajaan Hindu-Budha. Makanya, banyak bukti, yang dianggap tak relevan, oleh para sejarawan dan antropolog, justru jadi sumber primer bagi mereka. Misalnya, cerita lisan dan daftar silsilah raja Jawa seperti yang dimiliki Kasunanan Surakarta.
“Kalau cara pandangnya sudah beda, tidak mungkin ketemu. Kami pernah memaparkan kajian ini ke para akademisi senior UGM, mereka setuju ada masyarakat muslim di Jawa sejak awal Majapahit berdiri, tapi tetap saja menolak Majapahit adalah kerajaan Islam,” kata Rinto.
Menurut Rinto, kajian itu didasari anggapan bahwa ada pembalikan sejarah masa lalu Nusantara oleh peneliti kolonial.
“Sama seperti saat Orde Baru, tak ada yang berani menyebut peran HB IX lebih besar dari Soeharto di serangan Oemoem 1 Maret, baru-baru ini saja disebut,” ujarnya. Dia melanjutkan, “Sedangkan kami sering mendengar dalang-dalang sepuh bilang Majapahit itu kerajaan Islam.”
Berangkat dari keyakinan itu, mereka mempelajari dokumen silsilah para raja jawa dan banyak cerita lisan. Daftar silsilah milik sejumlah keraton di Jawa menerangkan semua raja Jawa, setelah agama Islam muncul, merupakan muslim. Mereka lalu mencari bukti penguat dengan berkunjung ke makam-makam keramat di Mojokerto dan Gresik, petilasan keraton Majapahit di Trowulan dan sejumlah museum.
Rinto mencontohkan, di kompleks pemakaman Maulana Malik Ibrahim di Gresik, timnya menemukan ada gambar lambang Surya Majapahit bertuliskan lafaz Arab berbunyi “Shifat, Asma, Ma’rifat, Adam, Muhammad, Allah, Tauhid dan Dzat”. Sedangkan di museum Trowulan, mereka melihat benda purbakala kepeng emas bertuliskan “La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah”.
“Penjaga museum bilang tulisan di kepeng itu huruf Cina, menurut kami itu jelas 'La Ilaha Illallah',” kata Rinto.
Di pemakaman Maulana Malik Ibrahim, menurut Rinto, juga ada batu bertuliskan huruf Arab yang menerangkan bahwa tokoh itu jadi “tempat rujukan para raja dan hakim kerajaan” serta meninggal pada 1419 M. “Ia (Malik Ibrahim) wafat 1419 M, berarti pernah hidup di masa Hayam Wuruk (1350–1389),” katanya.
Dari hasil penelusuran di makam keramat, museum, benda arkeologi, dan naskah kuno, dengan basis informasi cerita lisan serta daftar silsilah raja jawa, mereka menyimpulkan Majapahit kerajaan Islam. Rinto meyakini Raden Wijaya, pendiri Majapahit, adalah muslim. Bahkan, Raja Kediri Jayabaya, yang tersohor dengan ramalannya, juga muslim.
“Di Gresik, ada makam muslimah Fatimah binti Maimun yang meninggal 1082 Masehi. Tak mungkin mereka datang dan tidur saja di Gresik, pasti mereka berdakwah,” kata Rinto.
Dia menambahkan, “Jakob Soemardjo (arkeolog, ahli filsafat Jawa) pernah meragukan Tarumanagara adalah Hindu sebab Raja Purnawarman (395-434 Masehi) setiap tahun menyembelih 1.000 sapi untuk ritual. Ini juga kami pakai jadi referensi, Tarumanagara sudah menganut ajaran agama Ibrahim (sebelum Muhammad).”
Kritik Metodologi Berdasar Keyakinan Tradisi
Herman Sinung Janutama, penulis buku itu, mengklaim kesimpulan Majapahit adalah kerajaan Islam berangkat dari keyakinan terhadap tradisi di Jawa. Kebanyakan memang cerita lisan dan ada rujukan ke manuskrip. Tapi, bagi dia, riset hanya untuk membuat pengetahuan sejarah di tradisi Jawa jadi sistematis dan punya catatan pelengkap.
“Bagi orang Jawa yang masih menjalankan tradisi, Majapahit tidak pernah bukan Islam. Kami tak perlu pembuktian. Kami tak berangkat dari perdebatan teori.” Herman menambahkan, “Makanya, riset kami pakai kritik metodologi (ke studi sejarah mainstream).”
Dalam praktiknya, kritik metodologi itu, dia mencontohkan, dilakukan dengan merambah manuskrip yang jarang jadi referensi kajian sejarah mainstream soal Majapahit. Misalnya, Babad Majapahit, sebanyak empat jilid, dengan jumlah halaman 4.000-an, Babad Menak, Serat Menak, Damarwulan Ngenger, dan lainnya.
Kata Herman, “Naskah masih ada di Museum Sonobudoyo. Isinya menyimpulkan baik Majapahit maupun Singasari adalah kerajaan Islam. Cerita-cerita di dalamnya selama ini hidup di bawah sadar orang Jawa (cerita lisan dan tradisi).”
Herman mengikuti pendapat Petrus Josephus Zoetmulder soal pentingnya riset manuskrip kuno sebagai sumber utama pengetahuan mengenai Jawa. Ia menuding para peneliti Majapahit terpengaruh pendapat C.C. Berg yang mengesampingkan studi manuskrip sehingga, “Kesimpulan studi soal Majapahit jadi selalu spekulatif.”
Zoetmulder adalah paderi Jesuit yang mumpuni dalam studi sastra Jawa kuna. Dua karya utamanya, Panteisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa serta Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, telah menjadi klasik. Khusus Kalangwan, menariknya, juga membicarakan beberapa naskah era Majapahit termasuk Negarakrtagama—sesuatu yang disepakati dan dikehendaki Herman—tetapi lagi-lagi menegaskan keberadaan Majapahit sebagai kerajaan, bukan kesultanan.
Berkebalikan dengan pendapat Herman, C.C. Berg adalah filolog Belanda yang sama sekali tidak pernah mengesampingkan studi terhadap manuskrip kuno. Pembacaan Tirto menemukan, Berg justru banyak membaca naskah-naskah kuno dan menjadikannya bahan tulisan-tulisannya. Ia, misalnya, membaca dengan teliti naskah Pararaton dan dari sanalah ia percaya ada kesinambungan tradisi literer antara sastra Jawa era Hindu-Budha dengan era Islam.
Kecurigaan bahwa sarjana Barat enggan peduli dengan tradisi babad, karena memeluk ideologi positivistik dalam historiografi, sebenarnya kecurigaan yang berlebihan. Tidak sedikit sarjana Barat yang memandang positif naskah-naskah babad sebagai sumber sejarah. De Graaf, hingga yang mutakhir seperti Merle Ricklefs, adalah sedikit contoh dari sarjana yang percaya bahwa sumber-sumber babad, suluk, dan teks-teks Jawa, sangat mungkin dijadikan sumber sejarah.
Kritik kepada para sarjana dan filolog Belanda bukan karena mereka meremehkan manuskrip Jawa, melainkan—seperti diulas Nancy Florida dalam disertasinya Writing the Past Inscribing the Future: History as Prophecy in Colonial Java—para filolog dan sarjana Belanda pada abad 19 cenderung menganggap sastra Jawa Kuno era Hindu-Budha sebagai puncak kesusastraan, sedangkan naskah dari era Islam sebagai dekadensi kesusastraan Jawa.
Salah Baca dan Percaya Silsilah
Herman mengaku ia menerapkan cara pandang berbeda dari para filolog dan sejarawan modern dalam pembacaan manuskrip Jawa. Herman menuduh para sejarawan, terutama dari Barat, salah saat membaca manuskrip Jawa. Ia mengingatkan kasus sederhana, yang mudah memicu pembacaan salah, “Tulisan Jawa tak mengenal tanda koma dan spasi.”
“Untuk membaca manuskrip kuno Jawa harus memahami konteksnya, yakni pengetahuan tradisi Jawa soal Islam. Manuskrip itu lahir dari tradisi, bukan sebaliknya,” ujarnya. “Contoh, di Babad Majapahit, ada cerita Umar Moyo dan Umar Madi (merujuk ke Islam).”
Di kasus Gadjah Mada, Herman mengaku meyakini dia muslim sebab ada bukti catatan silsilahnya. Dasar ini juga jadi dalil bahwa Raden Wijaya dan raja-raja Jawa sebelum dia ialah muslim.
Herman berpendapat, meski peneliti modern menganggap data silsilah tidak valid, para pelaku tradisi Jawa meyakini kebenarannya. Ia menggambarkan kelengkapan data macam itu, misalnya, di Keraton Cirebon, ada data silsilah Sunan Gunung Jati yang “mengular” hingga Nabi Adam.
Sayang, Herman tidak merinci silsilah yang mana dan seperti apa. Jika kembali merujuk naskah-naskah Jawa dari periode Islam, silsilah yang mengular hingga Nabi Adam sebenarnya hal biasa, jamak, dan sama sekali tidak baru. Pembacaan Tirto, misalnya, kepada naskah Babad Tanah Jawi, silsilah raja-raja Mataram Islam juga sampai pada Nabi Sis dan Nabi Adam serta Siti Hawa, tapi dalam silsilah itu juga menyelinap nama seperti Hyang Wenang hingga Batara Guru; pendeknya: nama-nama Dewa Hindu.
“Selain itu, nama Gadjah merujuk ke Ganesha, simbol universal di Jawa soal sumber ilmu. Makanya, para ulama di Jawa (masa Majapahit) dapat gelar Gadjah,” Herman mengimbuhkan.
Teori Kesultanan Majapahit, menurut Herman, juga punya bukti kuat dalam keyakinan tradisi Jawa bahwa Syekh Jumadil Qubro bukan hanya ulama penting, melainkan tokoh yang berpengaruh besar terhadap Majapahit. Situs makam tokoh ini bertebaran di Jawa dan, yang paling populer, di Trowulan.
Studi Indonesianis Belanda, Martin Van Bruinessen, pernah menyimpulkan, Syekh Jumadil Qubro terindikasi kuat hanya tokoh fiktif di sejarah Jawa. Ia menulis, nama itu merujuk ke tokoh tarekat asal Asia Tengah, Najmuddin Al-Kubra. Ajaran tokoh yang wafat pada 1221 M itu, tulis Martin, merembes ke praktik tarekat di Jawa hingga kini.
Mengenai tesis Martin tersebut, Herman mencontohkan cara penalaran studinya. Ia berdalih, kesimpulan dia berbeda dengan Martin sebab memakai cara penelusuran genealogi tarekat Jawa yang jauh berbeda.
“Martin menelusurinya dari Timur Tengah. Kami merunutnya dari Jawa, pakai sumber-sumber tradisi di Jawa,” katanya.
Pernyataan Sinung ini agak lain dengan pembacaan Tirto terhadap teks Bruinessen, "Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar; Traces of Kubrawiyya influence in early Indonesian Islam". Teks itu memperlihatkan Bruinessen tidaklah sama sekali abai kepada sumber-sumber Jawa. Selain mengakomodasi teks-teks Jawa dan Melayu, Bruinessen juga memperhatikan silsilah sang tokoh berdasarkan versi juru kunci salah satu petilasan/makam yang diduga sebagai makam Jumadil Qubro di Turgo. Bruinessen pun mewawancarai dan menyimak silsilah yang dibabarkan juru kunci petilasan di Tralaya. Catatan kaki dari naskah Bruinessen kaya dengan teks-teks yang memperlihatkan betapa ia tidak anti dengan sumber-sumber lokal.
Soal Candi-Candi sebagai Bukti Hindu-Budha
Lalu bagaimana dengan bukti candi Hindu-Budha yang bertebaran di Jawa Timur?
Soal ini, Herman mengklaim mengikuti pendapat disertasi arkeolog R. Soekmono. Dalam catatan Tirto, disertasi R. Soekmono pernah dibukukan berjudul The Javanese Candi: Functions and Meaning.
“Prof. Soekmono bilang candi-candi di Jawa dibangun bukan untuk tempat peribadatan,” kata Herman.
Pernyataan Herman ini berkebalikan dengan pembacaan Tirto terhadap disertasi Prof. Soekmono. Disertasi yang diuji oleh salah satunya Zoetmulder S.J. ini justru menegaskan fungsi candi sebagai tempat pemujaan. Yang dibantah Soekmono bukanlah anggapan bahwa candi di Jawa adalah tempat ibadah seperti yang disampaikan Herman; yang dibantah adalah anggapan bahwa seluruh candi sebagai tempat pemakaman/perabuan.
Soekmono membantah anggapan lama yang dipopulerkan juga oleh para pengkaji Barat, salah satunya oleh Raffles, yang menganggap candi-candi di Jawa sebagai tempat pemakaman atau menyimpan abu-abu jenazah yang dikremasi. Pendapat itu sangat lama dianggap sebagai kebenaran.
Penelitian Soekmono membantah hal itu dan menegaskan bahwa candi yang digunakan untuk pemakaman hanya ada dalam candi Hindu, itu pun selalu dilengkapi dengan patung yang mewujudkan sang raja yang dimakamkan sebagai dewa dan kemudian disembah (sehingga fungsinya tetap memuat elemen ibadat/pemujaan).
Sedangkan candi-candi Budha seperti Borobudur, menurut Soekmono, malah benar-benar dipakai sebagai tempat pemujaan; pendeknya: sebagai kuil. (Baca, misalnya, buku Soekmono yang lain, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, hal. 81-92)
Soekmono bahkan membuka disertasinya dengan mempertanyakan argumen Raffles, salah satunya mengkritik ketidakjelasan sumber yang dipakai Raffles untuk menyimpulkan candi sebagai tempat menyimpan abu/relik. Bab 6 dari buku yang berasal dari disertasi Soekmono itu bahkan menyajikan penjelasan secara khusus candi sebagai kuil.
Pendapat Herman dan kawan-kawannya mengenai Majapahit adalah Kesultanan Islam bagi banyak orang memang terkesan spekulatif. Tapi, mengingat pendapat itu berbasis pada “keyakinan di tradisi Jawa”, wajar saja pendukung “Kesultanan Majapahit” tak merisaukan ribuan bantahan di media sosial. Mereka justru bungah wacana ini menarik perhatian publik sebab memunculkan alternatif selain pengetahuan sejarah yang sudah otoritatif.
Sumber : tirto.id