Pusat Polisi Militer TNI berencana meminta keterangan bekas Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal (Purnawirawan) Agus Supriatna dalam pengusutan kasus dugaan korupsi pembelian helikopter Agusta Westland (AW) 101.
Agus menjabat sebagai KSAU saat pembelian heli itu dilakukan, sehingga diduga pensiunan jenderal bintang empat itu mengetahui proses pembelian heli pabrikan Inggris-Italia tersebut.
"Nanti kalau memang diperlukan pasti kita mintain keterangan,"kata Komandan Puspom TNI Mayor Jenderal Dodik Wijanarko.
Soal waktu pemeriksaan Agus, Dodik belum bisa memastikan. Namun dia menyatakan bakal menyampaikan jadwal pemeriksaan tersebut. jika sudah ditentukan. "Nanti kalau sudah ada kita sampaikan. Kalau belum ya belum," tuturnya.
Dodik mengungkapkan sejauh ini Puspom TNI sudah memeriksa 28 saksi untuk dimintai keterangan dalam kasus pembelian heli tersebut. Namun, jenderal bintang dua itu tak merinci siapa saja dan terkait apa saksi-saksi itu diperiksa.
Ia memastikan Puspom TNI akan mengembangkan penyidikan untuk mengungkap sejumlah oknum militer yang terlibat pembelian heli yang sebenarnya sudah ditolak oleh Presiden Joko Widodo ini.
Dodik menyebutkan ada banyak kejanggalan dalam pembelian heli yang kini disimpan di Lanud Halim Perdanakusuma. Diduga heli yang didatangkan merupakan pesanan negara lain yang dibatalkan. "Kita akan mengecek sampai ke pabrik di mana heli dibuat," tutur Dodik.
Prajurit matra Angkatan Darat itu memastikan penyidikan kasus pembelian heli yang diduga merugikan negara hingga Rp224 miliar ini tak berhenti pada empat tersangka yang sudah dijerat. Hal tersebut juga sebagai komitmen Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memberantas korupsi.
"Rekan-rekan jangan khawatir, ini tak berhenti sampai di sini, masih sangat mungkin muncul tersangka baru," tuturnya.
Empat tersangka dari militer di antaranya, bekas Kepala Dinas Pengadaan TNI AU Marsekal Pertama Fachri Adamy yang menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pembelian heli, Kepala Unit Layanan Pengadaan TNI AU"Kolonel FTS, Letnan Kolonel WW selaku Pejabat Pemegang Kas, Pembantu Letnan Dua SS yang berperan memberikan uang ke sejumlah pihak.
Puspom TNI bekerja sama dengan KPKdalam mengusut kasus korupsi pembelian heli ini. KPK menangani pelaku dari kalangan sipil. Sejauh ini, KPK baru menetapkan satu tersangka dari kalangan sipil. Yakni Irfan Kurnia Saleh, Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM).
PT Diratama adalah rekanan TNI AU dalam pembelian heli AW 101. Irfan diduga ikut dalamskandal yang merugikan negara ratusan miliar rupiah ini. "Setelah dilakukan ekspos, ditetapkan seorang tersangka IKS, selaku Direktur PTDJM," ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan.
Basaria menjelaskan pada April 2016, TNI AUmembuka lelang pengadaan helikopter AW 101. Lelang hanya diikuti dua perusahaan: PT Diratama Jaya Mandiri dan PT Karya Cipta Gemilang.
Berdasarkan hasil penyidikan, proses lelang diduga sudah diatur agar proyek ini jatuh ke tangan PT Diratama Jaya Mandiri. "Baik PT DJM atau PT KCG, dia (Irfan) sudah menentukan. Dia sudah tahu bahwa yang akan dimenangkan adalah PT DJM," beber Basaria.
Sebelum pelaksanaan lelang, Irfan telah mengadakan kontrak kerja sama pembelian dengan produsen heli AW 101 dengan harga Rp 514 miliar per unit.
Sedangkan nilai kontrak pembelian 1 unit heli dengan TNI AU adalah Rp 738 miliar. Sehingga terjadi selisih harga Rp 224 miliar yang dianggap sebagai kerugian negara.
Di tempat terpisah, Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan korupsi dalam pembelian heli ini sangat kentara. "Di internet harganya 21 juta dolar Amerika (per unit). Tapi kontraknya mencapai 56 juta dolar Amerika," sebutnya.
Memang ada penambahan spesifikasi heli yang awalnya untuk angkutan VVIP itu. "Ya (ada penambahan) meski tidak banyak," ujar Agus.
Agus memastikan tersangka kasus korupsi kelas kakap ini bakal bertambah. "Baru satu tersangkanya dari swasta," katanya.
Dalam kasus ini, Irfan disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang Undang Hukum Pidana.
Dalam proses penyidikan kasus ini, Puspom TNI dan KPK telah melakukan penggeledahan di sejumlah tempat untuk mengumpulkan barang bukti. Di antaranya, kantor PT Diratama Jaya Mandiri di Sentul, rumah di Bidakara Jakarta Selatan, rumah di Sentul dan rumah di Bogor. Namun pihak KPK tak membeberkan identitas pemilik rumah yang menjadi sasaran penggeledahan ini.
Sejauh ini, tim penyidik gabungan telah menyita uang tunai Rp 7.331.624.959 dari Kolonel WW, tersangka kasus ini. "Tentunya (uang) yang kita sita itu berhubungan dengan pembuktian kasus ini," kata Dodik.
Tim penyidik gabungan juga telah memblokir rekening PT Diratama Jaya Mandiri yang berisi dana Rp 139 miliar.
Kilas Balik
Panglima TNI Malu Jokowi Lebih Tahu Soal Korupsi Heli
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo membeberkan tahapan penyelidikan kasus dugaan korupsi pembelian helikopter Agusta Westland (AW) 101.
"Sama-sama kita mengetahui, pengadaan ini menjadi trendingtopic dan saya dipanggil Presiden. Presiden menanyakan 'Kenapa terjadi seperti ini?' Saya jelaskan di sini bagaimana ceritanya tapi tidak secara panjang lebar," kata Gatot dalam konferensi pers di gedung KPKJakarta, Jumat (26-5).
Saat konferensi pers, Gatot didampingi Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Hadi Tjahjanto, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayor Jenderal Wuryanto, Ketua KPK Agus Rahardjo dan juru bicara KPK Febri Diansyah.
Gatot menjelaskan, pada rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo pada 3 Desember 2015, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyimpulkan isi rapat. Dalam risalah Seskab Nomor 288/seskab.dkk/12/2015 disebutkan bahwa arahan Presiden adalah sebagai berikut: "Kondisi ekonomi saat ini belum benar-benar normal, maka pembelian helikopter Agusta Westland belum dapat dilakukan. Tapi, kalau kondisi ekonomi sudah lebih baik lagi bisa beli. Jadi untuk saat ini jangan beli dulu."
Menurut Gatot, Presiden ingin agar pembelian heli AW 101 dilakukan dengan kerangka kerja sama government to government (G to G). Kemudian Seskab membuat surat ke KSAU Nomor B230/Seskabpolhukam/4/2014 tanggal 12 April 2016 perihal prediksi realisasi pengadaan alutsisia 2015-2016. Salah satu pokoknya adalah rencana pengadaan realisasi alutsisa TNI AU produk luar negeri.
Gatot setuju pengadaan alutsista TNI sebagai bagian peralatan pertahanan keamanan harus memperhatikan ketentuan perundang-undangan yakni Undang-undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
"Pengadaan alat pertahanan keamanan produk luar negeri hanya dapat dilakukan apabila belum dapat diproduksi oleh industri pertahanan dalam negeri sesuai dengan pasal 43 Undang Undang 16/2012," kata Gatot.
Pada rapat terbatas 23 Februari 2016, Presiden Jokowi memberikan arahan, yang intinya seluruh kementerian atau lembaga menggunakan produk dalam negeri. Ternyata muncul perjanjian kontrak Nomor KJP/3000/1192/DA/RM/2016/AUtanggal 29 Juli 2016 antara Mabes TNI AU dengan Diratama Jaya Mandiri tentang pengadaan heli angkut AW 101.
Kemudian Panglima TNI menerbitkan surat kepada TNI AU Nomor B4091/ix/2016 tanggal 14 September 2016 tentang pembatalan pembelian heli AW 101. "Ini yang saya jelaskan ke presiden, tapi yang sekarang saya sampaikan tidak keseluruhan. Setelah itu presiden bertanya ke saya 'Kira-kira kerugian negara berapa Bapak Panglima?'. Saya sampaikan ke Presiden, 'Kira-kira minimal Rp150 miliar'. Presiden menjawab, 'Menurut saya lebih dari Rp 200 miliar'. Bayangkan Panglima menyampaikan (angka) seperti itu tapi Presiden lebih tahu, kan malu saya," tutur Gatot.
Presiden Jokowi lalu memerintahkan untuk mengejar terus pelaku pengadaan helikopter AW-101 tersebut. "Kejar terus Panglima. Kita sedang mengejar tax amnesty, demikian kata Presiden. Maka saya berjanji ke Presiden akan membentuk tim investigasi," kata Gatot.
Ia pun membuat surat perintahNomor Sprin 3000/xii/2016 tanggal 29 Desember 2016 tentang pembentukan Tim Investigasi Pengadaan Pembelian Heli AW 101.
Hasil investigasi awal diserahkan kepada KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto yang dilantik pada Januari 2017. Maka pada 24 Februari 2017, Hadi mengirimkan hasil lanjutan investigasi.
"Dari hasil investigasi KSAU semakin jelas, tetapi ada pelaku-pelaku bukan dari TNI, karena korupsi ini konspirasi. Bermodal investigasi KSAU, saya ucapkan terima kasih Pak KSAU, saya bekerja sama dengan Kepolisian, BPK, khususnya PPATK dan KPK untuk melakukan penyelidikan intensif," tambah Gatot.
Gatot sengaja merahasiakan investigasi yang dilakukan TNI. Tujuannya agar tak terendus para pelakunya.
"Rekan-rekan media sering bertanya kapan? Kapan? Saya diam karena belum ada kepastian," kata Gatot. ***
Sumber : RMOL