Film Under the Guns mengungkap sejumlah fakta penting tentang budaya senjata di Amerika Serikat. |
Festival film dokumenter Sundance yang menayangkan film Under the Gun memusatkan perhatian pada debat tentang senjata di Amerika Serikat dan dengan penjelasan seperti itu membuat orang mungkin jadi tak tertarik menontonnya.
Penembakan massal, pemeriksaan tentang catatan kriminal seseorang, pameran senjata, Asosiasi Senapan Nasional (NRA); apakah kata-kata tersebut pernah menghilang dari pemberitaan? Hal-hal tersebut sekarang bisa jadi sangat melelahkan.
Perdebatan yang senantiasa terjadi membuatnya tampak kita sudah pernah mendengar seluruh argumentasi yang timbul, dan bahwa tidak ada hal baru sebenarnya yang bisa dipetik.
Meski demikian, film Under the Gun membuka mata kita dan bukan hanya karena mendekatkan kita dengan keluarga-keluarga sebagian korban dari pembunuhan massal di Newtown dan Aurora, Amerika Serikat. Namun pencapaian lain film ini adalah pemahaman mendalam tentang orang-orang yang mendewakan senapan.
Under the Gun memaparkan dua fakta mengejutkan. Pertama, jumlah toko senjata api di Amerika Serikat lebih banyak dibandingkan jumlah gabungan restoran McDonald’s dan Starbucks.
Bila statistiknya benar, ini adalah skenario yang menakutkan. Pesan yang ada adalah tidak hanya toko senjata ada di mana-mana seperti restoran cepat saji, tetapi juga karena toko senjata menawarkan sesuatu yang cepat saji dan murah.
Tetapi itulah yang benar-benar membuat kejutan dalam film.
Pada 1986, ketika NRA pertama kali merasa punya kekuatan sebagai organisasi pelobi, NRA menekan Kongres Amerika Serikat untuk mengesahkan rancangan undang-undang yang melarang Biro Alkohol, Tembakau, Senjata Api dan Peledak (ATF) -badan pemerintah yang mengatur senjata api- untuk menyimpan informasi NRA di dalam komputer badan tersebut.
Tiga puluh tahun kemudian, undang-undang tersebut masih berlaku.
Dalam Under the Gun, kita bisa melihat pemandangan biasa tentang penampakan kantor ATF: ada tumpukan kertas di kardus-kardus.
Sebagian besar pemeriksaan catatan atas seseorang rutin dilakukan, tetapi jika calon pembeli senapan perlu pemeriksaan lebih lanjut di luar prosedur standar, maka langkah itu melibatkan pengecekan birokratis lewat tumpukan dokumen-dokumen. Padahal proses tersebut hanya memerlukan beberapa menit saja seandainya dilakukan di komputer.
Dengan sistem yang ada, pengecekan memakan tempo berhari-hari. Dan bila pemeriksaan tidak rampung dalam waktu 72 jam, maka calon pembeli tersebut dapat membeli senapan begitu saja tanpa menunggu hasil pengecekan.
Poin-poin penting
Under the Gun mengungkap bahwa sistem dirancang untuk bekerja secara lamban, agar tidak berjalan efektif. Stephanie Soechtig, sutradara Under the Gun, membawa kita ke dalam lingkaran NRA, dan mungkin untuk pertama kalinya dalam suatu film kita mendapatkan gambaran penuh tentang psikologi mereka —kerentanan rahasia yang mendorong mereka bersikap ngotot memiliki senjata api atau lebih baik mati.
Soechtig menampilkan sesi terapi bersama anggota-anggota NRA, dan yang mereka ungkap adalah kecemasan di balik absolutisme: ketakutan jika mereka sampai kalah dan membiarkan adanya satu aturan yang membatasi senapan sehingga pemerintah akan mendobrak pintu rumah mereka dan menyita senjata mereka.
Mereka membela hak-hak Amandemen Kedua pada Konstitusi AS, tetapi apa yang diungkap oleh Under the Gun, berdasarkan pemahaman NRA, adalah bahwa senapan bukan hanya hak. Senjata adalah kunci identitas. Kita melihat warga di supermarket dengan senapan mesin, dan pesannya adalah, “Saya membawa senjata, sehingga inilah saya.”
Seorang warga Negara Bagian Texas, Amerika Serikat, memegang spanduk yang berisi dukungan terhadap undang-undang kepemilikan senjata. |
Dengan menonton Under the Gun, kita mungkin berpikir tak ada satupun masyarakat yang waras akan membiarkannya terjadi.
Tetapi paradoks besar dari NRA adalah mereka punya kekuatan luar biasa besar. Mereka dapat membujuk para anggota Kongres untuk menyetujui permintaan mereka, bukan karena sebagian besar penduduk Amerika Serikat berpandangan sama dengan NRA, tetapi karena aktivis pengetatan senjata tidak memberikan suara secara massal. Mereka tak melihat ada hal-hal yang tidak jelas.
Jadi ada ‘orang-orang buruk dengan senjata’ dan juga ‘orang-orang baik’ yang tak bisa menghentikan mereka.
Mereka menjadikan kehidupan layaknya dalam film Dirty Harry, dan mengubah politik menjadi kultus senjata api.
Soechtig mewawancarai para orang tua keluarga korban penembakan massal, dan itu adalah subjek yang adil, bagaimana film menggambarkan patah hati yang mereka alami, kemarahan yang tak bisa membantu tetapi tampak ada sebuah sentuhan eksploitatif.
Mengubah tragedi menjadi argumentasi bisa terasa benar dan salah pula. Namun dalam bagian akhir film, ketika kita menonton pembunuhan massal di gedung bioskop Aurora sebagaimana direkam saat kejadian —di luar bioskop itu sendiri,di kamera pengawas gedung bioskop yang terdiri dari sejumlah layar- kita merasa sedikit seperti keluarga korban: tak berdaya, tercabik oleh teror dan kemudian berpikir, “Bagaimana hal ini bisa terjadi?”
Under the Gun mengakui bahwa pengetatan senjata tak akan menyelesaikan segala masalah, tetapi menjadikan panggilan senjata yang tampak lebih menjunjung hak-hak mereka dibanding nyawa itu sendiri.