Sumpah pemuda keturunan Arab 1934: Puncak pencarian identitas

Enam tahun setelah deklarasi Sumpah pemuda keturunan Arab pada 1934, pimpinan Partai Arab Indonesia (PAI) menggelar kongres di Cirebon pada 1940.
Lima tahun setelah Sumpah pemuda 1928, sejumlah anak muda keturunan Arab di Hindia-Belanda bersumpah bahwa Tanah air mereka adalah Indonesia. Mengapa ide radikal ini dianggap relevan untuk dimaknai dalam situasi sekarang?

Lorong-lorong di kawasan Pekojan, Jakarta Barat, yang saya datangi pertengahan Oktober silam, masih menyisakan jejak-jejak kehadiran orang-orang Arab -nenek moyang saya.

"Nah, Baswedan tidak melihat itu (warga klas dua) sebagai keistimewaan. Tapi dia mengatakan dengan menjadikan dia pribumi, maka persoalan keturunan Arab di Indonesia itu selesai"
    Hasan Bahanan, pengamat keturunan Arab di Indonesia.

Masjid tua Langgar Tinggi dan masjid Al-Nawier, yang masih bertahan dari gempuran zaman, adalah saksi bisu bahwa kampung di dekat pelabuhan Sunda Kelapa itu pernah didiami orang-orang Arab selama ratusan tahun.

Datang sebagai pedagang, selain berdakwah, orang-orang Arab asal Hadramaut, Yaman, mendiami wilayah itu sejak lebih dari dua ratus tahun silam -dan menikahi para perempuan lokal.

Dan siang itu, saya mengunjungi Pekojan untuk mengetahui sejauhmana warga Indonesia keturunan Arab memaknai pencarian identitas oleh kakek atau buyutnya dulu.

Dimotori pemuda idealis bernama Abdurrahman (AR) Baswedan, sebagian kaum peranakan Arab di Hindia Belanda saat itu telah sampai pada satu titik pencarian identitasnya, yaitu bersumpah bertanah air Indonesia.
Saya beruntung bisa bertemu segelintir orang keturunan Arab yang masih tersisa di kampung itu -yang diperkirakan tinggal sekitar 10% dari jumlah penduduk keseluruhan, jauh menyusut jika dibanding ketika mereka kali pertama mendiami wilayah itu.
 
Mencintai Tanah air

“Ahlan!” Kuucapkan salam akrab dalam bahasa Arab kepada seseorang di ujung jalan. Dia berkulit agak hitam. Rambutnya ikal, hidungnya mancung. Sambil menyebutkan namanya, pria ini mengaku memiliki darah Arab. “Saya adalah generasi keempat atau kelima,” ungkapnya ramah.

Salah-satu rapat PAI dalam rangka gerakan GAPI (Gabungan Politik Indonesia) Indonesia berparlemen, 1941.
Tetapi pria itu tadi menolak diwawancarai. Sambil menawari saya minum kopi (“gahwa,” begitu dia menyebutnya), dia lantas mempersilakan saya untuk menemui seseorang. “Dia pengurus masjid itu,” tangannya menunjuk masjid Al-Nawier.

    "Tidak mau hilang dari catatan sejarah, juga memberikan edukasi dan mengukuhkan rasa nasionalisme kepada generasi muda (keturunan Arab)."
    Abdullah Batati, penggagas acara peringatan Sumpah pemuda keturunan Arab.

Tidak lama kemudian. “Antum (Anda) siapa?” Duduk bersila, pria dengan suara bariton ini memulai pembicaraan. Saya kemudian menyebut nama, asal dan fam keluarga dari garis ayah saya. “Masya Allah,” dia kemudian menimpali.

Dikky Abubakar Bashandid, begitulah dia mengenalkan diri. Dia adalah pengurus masjid Al-Nawir. Usianya belum genap 30 tahun dan moyangnya berasal dari Hadramaut, Yaman.

“Kakeknya saya punya kakek itu datang dari Hadramaut,” ungkapnya mulai bercerita. Artinya, ayah serta kakeknya lahir dan dibesarkan di Indonesia.

Di sinilah, Dikky kemudian menekankan bahwa dirinya adalah bagian dari Bangsa Indonesia. “Kami selalu ditanamkan untuk mencintai Tanah air Indonesia,” katanya.

Cinta kepada tanah air Indonesia, seperti yang diucapkan Dikky, seorang pria peranakan Arab itu tadi, tidaklah datang dengan tiba-tiba.

Sumpah pemuda keturunan Arab

Sebelum Indonesia merdeka, persisnya pada 4 Oktober 1934 di Semarang, lima tahun setelah Sumpah Pemuda 1928, sejumlah kaum muda keturunan Arab mendukung gagasan tanah air Indonesia -dan tidak lagi mengaitkan dengan asal-usulnya yaitu Hadramaut, Yaman.

Suasana Kongres PAI di Cirebon 1938. AR Baswedan mengumpulkan para peranakan Arab dan mendirikan Persatuan Arab Indonesia (PAI) yang mendukung kemerdekaan Indonesia.
Dimotori pemuda idealis bernama Abdurrahman (AR) Baswedan, sebagian kaum peranakan Arab di Hindia Belanda saat itu telah sampai pada satu titik pencarian identitasnya, yaitu bersumpah bertanah air Indonesia.

Di saat itu pula, AR Baswedan mengumpulkan para peranakan Arab dan mendirikan Persatuan Arab Indonesia (PAI) yang mendukung kemerdekaan Indonesia.

    "Sumpah Pemuda 1928 yang melintasi batas-batas etnik dan agama berpengaruh pada orientasi kebernegaraan komunitas Arab Hadrami di Hindia Belanda."
    Hasan Bahanan, pengamat masalah keturunan Arab di Indonesia

Menurut pengamat masalah keturunan Arab di Indonesia, Hasan Bahanan, apa yang dilakukan AR Baswedan (yang saat itu berusia 27 tahun) dan kawan-kawan itu terinspirasi Sumpah Pemuda 1928.

“Sumpah Pemuda 1928 yang melintasi batas-batas etnik dan agama berpengaruh pada orientasi kebernegaraan komunitas Arab Hadrami di Hindia Belanda,” kata Hasan kepada BBC Indonesia.

Dalam buku AR Baswedan, Membangun Bangsa, merajut Keindonesiaan (2014), “Sumpah Pemuda keturunan Arab” itu memiliki tiga butir pernyataan:

Pertama, Tanah air peranakan Arab adalah Indonesia; Kedua, peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri); Ketiga, Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.

Langkah revolusioner
Pilihan AR Baswedan untuk “meleburkan” diri dalam cita-cita bersama bangsa Indonesia merupakan pilihan “revolusioner”, kata Hasan.

Maklumlah, saat itu pemerintah kolonial Belanda menempatkan peranakan Arab, Cina, Jepang sebagai orang asing klas dua, di atas kaum pribumi.

Pertemuan eksponen PAI cabang Palembang dan Bandung pada tahun 1939.
“Dan, peranakan Arab saat itu -melalui isi sumpah pemuda 1934- “menurunkan” dirinya. Ini agak aneh untuk ukuran saat itu. Nah, Baswedan tidak melihat itu (warga klas dua) sebagai keistimewaan. Tapi dia mengatakan dengan menjadikan dia pribumi, maka persoalan keturunan Arab di Indonesia itu selesai,” papar Hasan, yang juga staf pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

    "Agar tidak termakan isu dan lebih menumbuhkan nasionalisme yang bisa menjaga dari hal-hal seperti itu."
    Nabiel Karim Hayaze’, penulis buku AR Baswedan, revolusi batin sang perintis.

Dengan kata lain, lanjutnya, “Baswedan dan gerakannya sekaligus menafikan privilege perlakuan hukum (klas Timur Asing) yang diberikan oleh penguasa penjajah Belanda kepada etnik Arab.”

Patut diketahui, status kelas Timur Asing yang dinikmati keturunan Arab itu, mengakibatkan mereka terpisah dari kaum pribumi.

“Mereka juga sebelumnya tidak pernah terlibat dalam gerakan kebangsaan, walaupun mereka terlibat dalam berbagai aktivitas pendidikan dan keagamaan,” kata Hasan Bahanan dalam pengantar buku AR Baswedan, Revolusi batin sang perintis(2015).

Itulah sebabnya, menurutnya, pilihan kaum muda peranakan Arab idealis yang menyatakan Indonesia sebagai Tanah airnya, “menempatkan mereka sebagai bagian dari komunitas pejuang kebangsaan.”
 
Di tengah gerakan radikal trans-nasional

Kini, 81 tahun kemudian, ketika keterpukauan atas nasionalisme sepertinya tidak lagi membara, peristiwa tekad penyatuan masyarakat keturunan Arab dalam bingkai Indonesia, sepertinya terlupakan.

Peringatan Sumpah pemuda keturunan Arab Indonesia akan digelar pada awal November 2015 di Surabaya.
Di sinilah, sejumlah warga peranakan Arab di Surabaya kemudian memilih untuk mengingat kembali apa yang dilakukan pemuda AR Baswedan dan kawan-kawannya.

“Tidak mau hilang dari catatan sejarah, juga memberikan edukasi dan mengukuhkan rasa nasionalisme kepada generasi muda (keturunan Arab),” kata Abdullah Batati, penggagas acara peringatan Sumpah pemuda keturunan Arab, yang rencananya akan digelar Minggu, 1 November 2015 ini.

Pengamat masalah keturunan Arab Indonesia, Hasan Bahanan, mendukung acara ini karena sangat relevan dengan persoalan citra kearaban yang berubah akibat dinamika politik di Timur tengah.

Di sinilah, melalui acara ini, mereka mengingatkan bahwa “ideologi atau gerakan semacam itu bagian dari kehidupan internasional, akan tetapi tempat mereka (peranakan Arab Indonesia) ada di sini, berbeda.”
 
Salah-satu pintu masuk menuju Masjid Ampel, Surabaya. Di kawasan Ampel ini, sebagian warga keturunan Arab tinggal selama lebih dari 200 tahun.
Tumbuhkan nasionalisme
“Seharusnya mereka ingat kembali bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia,” tandas Hasan.

Bagaimanapun, lanjutnya, kalau ada dukungan warga keturunan Arab terhadap gerakan radikal di Timur Tengah, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

“Tapi mereka (keturunan Arab) yang berkarya dengan baik, berprestasi, itu juga banyak,” tambahnya.

Nabiel Abdul Karim Hayaze, penulis buku AR Baswedan, Revolusi batin sang perintis, juga sependapat bahwa peringatan sumpah keturunan Arab 1934 menjadi relevan di tengah kemunculan gerakan trans-nasional atas nama agama.

“Agar tidak termakan isu dan lebih menumbuhkan nasionalisme yang bisa menjaga dari hal-hal seperti itu,” kata Nabiel, yang akan menjadi salah-satu pembicara dalam diskusi peringatan sumpah pemuda keturunan Arab.

Apa komentar kaum muda Arab? 

Shafira Umm, presenter stasiun televisi Net, mengatakan dirinya mendukung acara peringatan Sumpah pemuda keturunan Arab 1934.
Shafira Umm, presenter stasiun televisi Net, mengatakan dirinya mendukung acara peringatan Sumpah pemuda keturunan Arab 1934, karena untuk mengingatkan semua orang bahwa “warga keturunan Arab di Indonesia sudah memiliki kesadaran kebangsaan sejak 1934”.

“Berarti orang zaman dulu sudah sadar banget bahwa yang namanya latar belakang etnis, hanya ada di darah dan tradisi di lingkungan kecil, bukan lingkungan yang gedeseperti bangsa,” kata Shafira Bawazir, 30 tahun, yang kedua orang tuanya merupakan keturunan Arab, kepada BBC Indonesia.

Adapun Tsamara Amany Alatas, relawan Komunitas pendukung Ahok (Kompak), menganggap acara ini menjadi penting digelar di tengah kemunculan “fanatisme golongan”.

Tsamara Amany Alatas, relawan Komunitas pendukung Ahok (Kompak), menganggap acara ini menjadi penting digelar di tengah kemunculan “fanatisme golongan”.
Mahasiswa Fakultas Falsafah dan Peradaban, Universitas Paramadina ini mengatakan, fanatisme golongan itu ditandai semangat untuk mengorbankan kecintaan terhadap Tanah Air.

“Kita bukan orang Arab dari luar yang menumpang di Indonesia. Kita beda dengan pendatang. Kita lahir di sini, kita memiliki identitas Indonesia,” kata perempuan berusia 19 tahun ini. 

Menegaskan keindonesiaan

Secara terpisah, mantan wartawan dan aktivis Jaringan Islam Liberal, JIL, Hamid Basyaib mengatakan, dirinya mendukung acara peringatan Sumpah pemuda keturunan Arab asal ujungnya akan “menegaskan Keindonesiaan dan bukan eksklusifitas keturunan Arab”.

Mantan wartawan dan aktivis Jaringan Islam Liberal, JIL, Hamid Basyaib mengatakan, dirinya mendukung acara peringatan Sumpah pemuda keturunan Arab asal ujungnya akan “menegaskan Keindonesiaan dan bukan eksklusifitas keturunan Arab”
“Momentumnya dalam konteks itu, bukan dalam konteks mengeksklusifkan diri sebagai warga keturunan Arab yang berbeda dari bangsa Indonesia. Di luar konteks itu, tidak ada gunanya sama sekali,” tandas Hamid.

Sementara, mantan aktivis mahasiswa 1998, yang kini tinggal dan bekerja di London, Inggris, Annas Alamudi, mengharapkan acara tersebut dapat “menggarisbawahi bahwa kita adalah warga Indonesia seperti yang disepakati oleh para kakek kita dulu.”

Annas juga menganggap peristiwa Sumpah pemuda keturunan Arab itu relevan dengan kondisi sekarang.

“Sekarang ini ada yang menyoroti soal budaya Arab yang diimpor ke Indonesia. Kita sebagai keturunan Arab, seharusnya menyatakan kita adalah orang Indonesia dulu, baru orang Arab,” kata Annas.

Dia juga mengharapkan acara ini dapat membuat orang lain memahami bahwa tidak semua peranakan Arab identik dengan gerakan fundamentalis. 

Muatan politis

Sakdiyah Ma’ruf, 33 tahun, komedian dan peraih penghargaan Vaclav Havel International for Creative Dissent 2015 di Oslo, Norwegia, menganggap acara itu sebagai “keinginan warga keturunan Arab untuk kembali pulang”.

Sakdiyah Ma’ruf, 33 tahun, komedian dan peraih penghargaan Vaclav Havel International for Creative Dissent 2015 di Oslo, Norwegia, menganggap acara itu sebagai “keinginan warga keturunan Arab untuk kembali pulang”.
“Apapun sentimennya, saya kira semua orang perlu kembali pulang, dan semoga pulang itu berarti menjadi Arab yang Indonesia. Semoga demikian,” katanya.

“Semoga pula ini adalah sikap untuk menjunjung tinggi keberagaman, toleransi, sekaligus ini acara memperkenalkan diri ulang,” ujar Sakdiyah, perempuan keturunan Arab asal Pekalongan, Jawa Tengah ini.

Hal ini dia tekankan, karena menurutnya, saat ini “Stereotype keturunan Arab sedikit bergeser. Kalau dulu eksklusif, sekarang hampir sama dengan Stereotype orang barat terhadap Islam, karena perilaku beberapa tokoh di lingkungan orang Arab yang terlibat ini dan itu.”

Suara berbeda ditunjukkan Agus Rahmat Sarjono, penyair, cerpenis dan esais kelahiran 1962. Pria keturunan Arab ini menganggap peringatan acara itu “tidak perlu digelar”.

“Saya kira lebih banyak muatan politisnya daripada muatan nasionalisnya,” kata Agus.

Menurutnya, masalah identitas kearaban “sudah selesai” semenjak digelar Sumpah pemuda keturunan Arab di Semarang pada 1934.

Politik identitas yang dihidupkan lagi, lanjutnya, sama-sekali tidak menarik. “Yang lebih penting apa yang bisa dilakukan untuk Indonesia. Enggak penting kamu dari mana, tapi yang penting apa yang dilakukan untuk Indonesia.”

Oleh: Heyder AffanWartawan (BBC Indonesia)

Sumber : BBC

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait