Pengganti F5 Tiger: Eropa Barat, AS atau Rusia?

Mockup model pesawat tempur Typhoon buatan Eurofighter di hanggar PT Dirgantara Indonesia. 
Rencana pemerintah Indonesia untuk mengganti skuadron pesawat F-5 Tiger yang sudah sangat uzur mendapat respons cepat dari para produsen pertahanan Eropa. Secara diam-diam, kompetisi merebut perhatian pemerintah pun sudah dimulai, lewat berbagai penawaran menarik yang diajukan kepada Kementerian Pertahanan RI.

Industri pertahanan Prancis, Dassault, langsung memboyong dua unit pesawat tempur andalan mereka, Rafale, ke Jakarta langsung dari Langkawi, Malaysia usai mengikuti perhelatan LIMA Airshow 2015 bulan lalu.

Di Halim Perdanakusuma, Rafale dipajang bagi para pilot tempur dan pejabat teras TNI-AU untuk langsung mencoba menerbangkan, bukan hanya menjajal simulator.

Rupanya langkah itu cukup mengejutkan pihak konsorsium industri pertahanan Eropa, Eurofighter, dan produsen pesawat tempur Swedia SAAB Gripen yang telah lebih dulu mengajukan proposal kepada Kementerian Pertahanan.

Dengan demikian, pemerintah memiliki opsi tiga jenis pesawat Eropa yang berbeda, namun sama-sama memiliki canard atau sirip samping: Rafale, Typhoon dan Gripen.

Typhoon yang Hemat BBM


Pekan lalu, Eurofighter juga mengundang awak media untuk mengikuti presentasi dan meninjau model pesawat Typhoon buatan mereka di hanggar PT Dirgantara Indonesia, Bandung.

Paul Smith, mantan pilot sekaligus Eurofighter Capability Manager, mengatakan Typhoon mempunyai kelebihan seperti mampu mempertahankan kecepatan supersonik tanpa kehilangan daya pada saat mencapai kecepatan lebih dari 1,6 mach atau melebihi kecepatan suara.

Hal ini merupakan salah satu kelebihan bagi Typhoon, yang bisa dijelaskan seperti seseorang yang melempar tombak. Kecepatan dan akurasi tombak akan lebih baik bila orang itu mengambil ancang-ancang dan berlari sebelum melempar tombak dibanding bila sebuah tombak dilontarkan dari keadaan diam.

Analogi itulah yang digunakan Typhoon untuk menjelaskan bagaimana Typhoon memanfaatkan daya dorong mesin EJ-200 sebesar 13.500 lbf (pound force) untuk satu mesin. Typhoon menggunakan dua mesin EJ-200. Daya dorong sebesar itu dan kecepatan hingga 2000km/jam atau hampir dua kali kecepatan suara itu dicapai Typhoon tanpa afterburner sehingga mengurangi panas yang ditimbulkan di belakang pesawat dan hemat bahan bakar.

Dassault Rafale


Pada 23 Maret, dua pesawat Rafale diboyong ke Halim, satu dengan kursi tunggal dan satu lagi tandem. Dassault tegas mengatakan tujuan kedatangan mereka adalah untuk presentasi dan demonstrasi kebolehan pesawat yang sudah combat-proven itu ke otoritas di Indonesia. Intinya, pemasaran.

Dalam demonstrasi udara selama 45 menit dari Halim menuju Pelabuhan Ratu, Jawa Barat, Rafale dipiloti oleh Kapten Sebastian Dupont, bersama Marsekal Pertama TNI Fachru Zaini di kursi tandem. Fachru adalah panglima Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional I, yang bermarkas di Halim Perdanakusuma.

Kehadiran Rafale ini juga difasilitasi oleh PT DI.

Pesawat ini bermesin ganda dengan sayap delta, dan termasuk kategori pesawat tempur multi-peran atau multirole fighter. Artinya, pesawat ini dirancang untuk pertempuran di udara atau dog fight dan juga untuk serangan darat atau air-to-ground operation. Diproduksi sejak 1986, Rafale merupakan produk murni Prancis yang pengembangannya tidak melibatkan konsorsium dari negara lain.

Varian Rafale ada yang bisa dioperasikan dari kapal induk atau oleh Angkatan Laut. Pesawat ini pernah dipakai berperang di Afghanistan, Libya, Mali dan Irak.

Saat ini operator Rafale selain Prancis adalah India dan Mesir.

Saab Tawarkan Alih Teknologi


Sementara itu Saab memberi paket penawaran yang cukup menarik, yaitu alih teknologi 100% dalam memasok pesawat JAS 39 Gripen pada TNI AU, menurut laporan dari majalah militer global IHS Jane's.

Seperti dikutip media tersebut pada 15 September 2014, kepala marketing dan penjualan Saab Asia Pasifik Kaj Rosander mengatakan perusahaan telah melakukan sejumlah negosiasi dengan TNI Au dan pemerintah Indonesia.

Dalam perundingan tersebut, Saab menawarkan Gripen E, pesawat kursi tunggal yang merupakan turunan pesawat tandem JAS 39 Gripen NG.

Seperti Rafale, pesawat Swedia ini juga bersayap delta dengan dua canard di depan.

Gripen model terbaru menggunakan mesin turbofan Volvo RM12 yang merupakan produk turunan lisensi dari mesin General Electric F404. Filosofi mesin Volvo ini adalah biaya perawatan rendah dan tahan lama. Mesin ini pernah melewati 143.000 jam terbang tanpa ada satu pun insiden kerusakan mesin.

Prestasi ini termasuk luar biasa untuk pesawat tempur mesin tunggal.

Sistem persenjataan Gripen termasuk kanon Mauser BK-27 kaliber 27 mm dan kompatibel dengan rudal udara-ke-udara AIM-9 Sidewinder, udara-ke-darat AGM-65 Maverick, dan rudal anti kapal RBS-15.

Pilihan Lain

Mengganti pesawat F-5E Tiger buatan Northrop memang sudah menjadi keharusan, karena tipe pesawat ini lebih pantas dipajang di museum. Namun apakah pemerintah akan memilih satu dari tiga jagoan Eropa Barat di atas, itu adalah masalah lain lagi.

TNI AU punya pilihan lain yang di atas kertas malah lebih hebat, namun dipastikan juga lebih mahal, yaitu Boeing F/A-18 Super Hornet. Pesawat ini bukan hanya combat-proven, tapi juga movie star.

Hampir seluruh film-film perang modern Hollywood melibatkan pesawat ini. Faktanya, Hornet juga terlibat dalam berbagai aksi militer yang dilakukan Amerika selepas dekade 1970an.

Hornet lebih menjadi andalan Angkatan Laut daripada Angkatan Udara, karena kemampuannya untuk dioperasikan dari kapal induk. Namun meskipun Indonesia belum memiliki kapal induk, memilih Hornet untuk menggantikan Tiger adalah lompatan yang sangat besar, karena kemampuan tempurnya yang tak perlu diragukan lagi.

Dan ada satu lagi pemain yang mengintip dari kejauhan, namun bisa jadi malah akan menjadi pilihan, yaitu Sukhoi Su-35. Hanya saja, dalam pengalaman TNI mengoperasikan Sukhoi sejauh ini, paket sistem persenjataan tak pernah jelas. TNI malah pernah dibelikan Sukhoi tanpa senjata, yang penting bisa terbang dulu. Kalau begini, namanya bukan pesawat tempur, tapi pesawat penumpang dua kursi.

Yang jelas, pemerintah harus merencanakan sangat matang sebelum mengambil keputusan dalam proyek regenerasi pesawat tempur senilai lebih dari US$ 1 miliar (Rp 13 triliun) ini.

Boleh mahal asal seusai kebutuhan dan benar-benar meningkatkan readiness pertahanan kita, dan bebas korupsi. Dan tak pelru mengincar yang murah kalau tak dilengkapi paket sistem senjata.(Beritasatu)

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait