Presiden Ukraina Ancam Darurat Militer

Tentara Ukraina di atas kendaraan militer di Debaltseve, selatan Ukraina. (Reuters/ Gleb Garanich)
LUHANSK – Pakta gencatan senjata Ukraina hanya berlaku di atas kertas. Sebab, kenyataan di lapangan jauh berbeda. Hingga hari ketiga Selasa (17/2), baku tembak antara pemberontak pro-Rusia dan tentara Kiev terus terjadi. Kedua pihak bahkan tidak mematuhi tenggat waktu untuk menarik persenjataan berat mereka dari garis depan. Tentara Ukraina beralasan bahwa mereka tidak mematuhi kesepakatan karena terus diserang.

’’Begitu militan benar-benar melakukan gencatan senjata, secepatnya pihak Ukraina mulai menarik senjata beratnya dari garis depan,’’ ujar Juru Bicara Militer Ukraina Anatoliy Stelmakh. Tenggat waktu penarikan senjata-senjata berat itu adalah Senin (16/2). Kemarin dini hari seharusnya penarikan senjata berat sudah dilakukan.

Stelmakh menegaskan, pemberontak pro-Rusia terus-menerus menyerang posisi tentara Ukraina di Debaltseve. Sejauh ini, kota tersebut masih dikuasai pemerintah, namun tentara pemberontak sudah menggempur di sekelilingnya. Pemberontak maupun tentara Ukraina sama-sama mengklaim, jika gencatan senjata dilakukan, kota tersebut milik mereka. Karena saling klaim dan tidak ada titik temu, keduanya akhirnya terus saling serang. Lima tentara Ukraina dilaporkan tewas dan belasan lainnya luka-luka dalam baku tembak selama 24 jam kemarin.

’’Tentara Ukraina menginginkan perdamaian, tapi kami tidak akan menyerahkan tanah kami,’’ tegas Stelmakh.

Organisasi Keamanan dan Kerja Sama Eropa (OSCE) yang bertugas memonitor gencatan senjata bahkan sampai tidak bisa memasuki Kota Debaltseve karena tingginya intensitas serangan kedua pihak. Kondisi Debaltseve yang kian mencekam tersebut membuat gencatan senjata untuk kali kesekian itu terancam di ujung tanduk. Presiden Ukraina Petro Poroshenko pernah mengancam akan mendeklarasikan status darurat militer di seluruh wilayah negaranya jika gencatan senjata yang berlangsung sejak Minggu (15/2) tersebut kembali gagal.

Sejatinya, masalah Debaltseve itu sempat menjadi pembahasan ketika Ukraina, Rusia, Jerman, dan Prancis merumuskan pakta gencatan senjata seminggu yang lalu. Namun, hingga pembahasan berakhir, tidak ada kesepakatan yang dicapai. Associated Press melaporkan bahwa serangan dengan menggunakan roket peluncur terjadi selama pagi di Debaltseve, baik yang dilakukan pemerintah maupun pemberontak.

Memanasnya pertempuran di Debaltseve dan beberapa wilayah lain membuat Kanselir Jerman Angela Merkel resah. Senin malam, Merkel, Poroshenko, dan Presiden Rusia Vladimir Putin saling kontak via telepon untuk membahas masalah gencatan senjata tersebut.

’’Kanselir Jerman dan presiden Ukraina meminta presiden Rusia menggunakan pengaruhnya atas para pemberontak untuk melaksanakan gencatan senjata,’’ kata Steffen Seibert, juru bicara pemerintah Jerman.

Sejatinya, selain di Debaltseve, beberapa wilayah lain di Ukraina Timur lebih tenang pasca gencatan senjata. Kantor Berita Donetsk yang merupakan media milik pemberontak melaporkan, sejak Senin pukul 20.00, tidak ada pelanggaran gencatan senjata di wilayah mereka. Artinya, di seluruh wilayah Donetsk tidak ada baku tembak lagi.

Di Luhansk, penarikan senjata berat juga mulai dilakukan. Setidaknya, itulah klaim yang dilontarkan pemimpin Republik Rakyat Luhansk Igor Plotnitsky. Republik Rakyat Luhansk adalah wilayah Luhansk yang dikuasai pemberontak dan diklaim sebagai sebuah negara.

’’Saya berada di garis depan semalam dan tank-tank serta artileri kami telah ditarik mundur. Saya mengharapkan hal yang sama dilakukan pemerintah Ukraina,’’ ujar Plotnitsky sebagaimana dilansir kantor berita milik Rusia, Tass. Pemimpin pemberontak lainnya, Andrei Purgin, menyatakan bahwa mereka akan mendiskusikan penarikan senjata dengan perwakilan dari Ukraina, Rusia, serta kelompok lain yang memonitor gencatan senjata itu.

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait