Amerika Serikat waswas dengan keberadaan senjata-senjata berat Iran yang dipergunakan dalam perang merebut Tikrit, Irak tengah, dari milisi Negara Islam di Irak dan Suriah. AS khawatir penggunaan senjata-senjata berat itu bisa mengakibatkan jatuh korban besar di kalangan warga sipil yang bisa memantik sentimen sektarian.
Kekhawatiran tersebut diungkapkan seorang pejabat AS, Selasa (17/3) waktu AS atau Rabu dini hari WIB. Sebelumnya, kantor berita Reuters melaporkan dugaan adanya roket-roket Iran di Irak. Koran AS New York Times menyebutkan, persenjataan berat Iran itu mencakup roket artileri Fajr-5 dan rudal Fateh-110.
Pejabat AS enggan berkomentar secara khusus soal persenjataan Iran dalam perang merebut Tikrit. Meski demikian, ia mengatakan, potensi penggunaan persenjataan berat Iran bakal mencuatkan pertanyaan soal risiko korban warga sipil. Pejabat yang enggan disebut namanya itu mencatat upaya AS untuk memastikan presisi serangan dengan senjata-senjata itu.
"Perhatian utama kami, bagaimana senjata-senjata-artileri, roket, atau sistem-sistem lain-digunakan dan kemungkinan jatuhnya korban warga sipil atau kerusakan tak disengaja," kata pejabat AS lain yang juga menolak berkomentar secara khusus tentang senjata-senjata Iran.
AS mengingatkan, jatuhnya korban warga sipil atau pelanggaran-pelanggaran lain oleh pasukan Irak dan milisi Syiah terhadap warga Irak Sunni bisa memicu ketegangan sektarian. Problem akut sektarianisme di Irak kerap disebut sebagai situasi yang melempengkan jalan bagi kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) untuk merebut dan menguasai sebagian wilayah Irak, musim panas tahun lalu.
Dalam perang Tikrit, pasukan AS dan negara-negara koalisi hanya menonton pertempuran dengan memendam keprihatinan seperti itu. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Jen Psaki, menyatakan, AS sebelumnya mengakui peran Iran dalam memasok senjata, amunisi, dan pesawat di Irak.
"Kami terus menekankan agar tindakan-tindakan itu tidak menimbulkan ketegangan sektarian," ujar Psaki tanpa mengurai secara khusus masalah persenjataan Iran.
NIIS sebar bom
Sementara itu, dari medan pertempuran dilaporkan, sejak Selasa, pasukan Irak dan milisi Syiah pendukungnya plus sebagian kecil pasukan suku Sunni menghentikan gerak laju mereka ke pusat kota Tikrit. Gerak mereka terhenti karena milisi NIIS menyebar bom dan ranjau di seluruh area pusat kota.
"Perang mengambil alih Tikrit bakal sulit karena persiapan yang dilakukan (NIIS)," kata Jawwad al-Etlebawi, juru bicara kelompok Asaib Ahl al-Haq, milisi Syiah yang berperan penting dalam serangan ke Tikrit.
Kekhawatiran tersebut diungkapkan seorang pejabat AS, Selasa (17/3) waktu AS atau Rabu dini hari WIB. Sebelumnya, kantor berita Reuters melaporkan dugaan adanya roket-roket Iran di Irak. Koran AS New York Times menyebutkan, persenjataan berat Iran itu mencakup roket artileri Fajr-5 dan rudal Fateh-110.
Pejabat AS enggan berkomentar secara khusus soal persenjataan Iran dalam perang merebut Tikrit. Meski demikian, ia mengatakan, potensi penggunaan persenjataan berat Iran bakal mencuatkan pertanyaan soal risiko korban warga sipil. Pejabat yang enggan disebut namanya itu mencatat upaya AS untuk memastikan presisi serangan dengan senjata-senjata itu.
"Perhatian utama kami, bagaimana senjata-senjata-artileri, roket, atau sistem-sistem lain-digunakan dan kemungkinan jatuhnya korban warga sipil atau kerusakan tak disengaja," kata pejabat AS lain yang juga menolak berkomentar secara khusus tentang senjata-senjata Iran.
AS mengingatkan, jatuhnya korban warga sipil atau pelanggaran-pelanggaran lain oleh pasukan Irak dan milisi Syiah terhadap warga Irak Sunni bisa memicu ketegangan sektarian. Problem akut sektarianisme di Irak kerap disebut sebagai situasi yang melempengkan jalan bagi kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) untuk merebut dan menguasai sebagian wilayah Irak, musim panas tahun lalu.
Dalam perang Tikrit, pasukan AS dan negara-negara koalisi hanya menonton pertempuran dengan memendam keprihatinan seperti itu. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Jen Psaki, menyatakan, AS sebelumnya mengakui peran Iran dalam memasok senjata, amunisi, dan pesawat di Irak.
"Kami terus menekankan agar tindakan-tindakan itu tidak menimbulkan ketegangan sektarian," ujar Psaki tanpa mengurai secara khusus masalah persenjataan Iran.
NIIS sebar bom
Sementara itu, dari medan pertempuran dilaporkan, sejak Selasa, pasukan Irak dan milisi Syiah pendukungnya plus sebagian kecil pasukan suku Sunni menghentikan gerak laju mereka ke pusat kota Tikrit. Gerak mereka terhenti karena milisi NIIS menyebar bom dan ranjau di seluruh area pusat kota.
"Perang mengambil alih Tikrit bakal sulit karena persiapan yang dilakukan (NIIS)," kata Jawwad al-Etlebawi, juru bicara kelompok Asaib Ahl al-Haq, milisi Syiah yang berperan penting dalam serangan ke Tikrit.
"Mereka (NIIS) menanam bom-bom di jalan, bangunan, jembatan, semuanya. Pasukan kami terhenti oleh persiapan pertahanan ini. Kami butuh pasukan yang terlatih dalam perang kota untuk menembusnya," ungkapnya.
Serangan ke Tikrit, ibu kota Provinsi Salahuddin yang juga kota kelahiran mantan Presiden Saddam Hussein, dimulai pada 2 Maret lalu. Sebelumnya, pasukan loyalis Pemerintah Irak tiga kali gagal merebut kota itu dari milisi NIIS.
Senin lalu, Menteri Dalam Negeri Irak Mohammed Ghabban mengatakan, operasi serangan dihentikan untuk menghindari jatuhnya korban dan melindungi infrastruktur. Sehari sebelumnya, komandan pasukan di Salahuddin, Letnan Jenderal Abdulwahab al-Saadi, juga menyebutkan, pasukannya butuh bantuan serangan udara pasukan koalisi pimpinan AS.
Ia menambahkan, dia sudah meminta Kementerian Pertahanan Irak meminta bantuan serangan udara itu. Namun, belum ada tanda-tanda bantuan datang. Yang pasti, semakin lama operasi serangan berjalan, semakin lama pula warga sipil di Tikrit terperangkap di tengah pertempuran.
Adnan Yunis, juru bicara Palang Merah di Salahuddin, mengatakan, maksimal tinggal 20 persen warga Tikrit sebelum konflik yang saat ini masih bertahan di kota Tikrit. Jumlah mereka tak lebih dari 30.000 orang.
"Mereka warga yang bertahan karena tidak mempunyai cukup uang untuk mengungsi, mereka yang tidak memiliki kendaraan, warga yang memiliki disabilitas, serta mereka yang memilih bekerja sama dengan NIIS," ujar Yunis.
Kemarin, NIIS merilis foto-foto pemenggalan kepala empat orang yang mereka sebut para perekrut dari unit Mobilisasi Umum, milisi yang sebagian besar beranggotakan warga Syiah ditambah beberapa warga Sunni Arab. Praktik eksekusi seperti itu dikerap dilakukan NIIS untuk menebar teror dan ketakutan baik di kalangan warga sipil maupun pasukan lawan. (KOMPAS)
Serangan ke Tikrit, ibu kota Provinsi Salahuddin yang juga kota kelahiran mantan Presiden Saddam Hussein, dimulai pada 2 Maret lalu. Sebelumnya, pasukan loyalis Pemerintah Irak tiga kali gagal merebut kota itu dari milisi NIIS.
Senin lalu, Menteri Dalam Negeri Irak Mohammed Ghabban mengatakan, operasi serangan dihentikan untuk menghindari jatuhnya korban dan melindungi infrastruktur. Sehari sebelumnya, komandan pasukan di Salahuddin, Letnan Jenderal Abdulwahab al-Saadi, juga menyebutkan, pasukannya butuh bantuan serangan udara pasukan koalisi pimpinan AS.
Ia menambahkan, dia sudah meminta Kementerian Pertahanan Irak meminta bantuan serangan udara itu. Namun, belum ada tanda-tanda bantuan datang. Yang pasti, semakin lama operasi serangan berjalan, semakin lama pula warga sipil di Tikrit terperangkap di tengah pertempuran.
Adnan Yunis, juru bicara Palang Merah di Salahuddin, mengatakan, maksimal tinggal 20 persen warga Tikrit sebelum konflik yang saat ini masih bertahan di kota Tikrit. Jumlah mereka tak lebih dari 30.000 orang.
"Mereka warga yang bertahan karena tidak mempunyai cukup uang untuk mengungsi, mereka yang tidak memiliki kendaraan, warga yang memiliki disabilitas, serta mereka yang memilih bekerja sama dengan NIIS," ujar Yunis.
Kemarin, NIIS merilis foto-foto pemenggalan kepala empat orang yang mereka sebut para perekrut dari unit Mobilisasi Umum, milisi yang sebagian besar beranggotakan warga Syiah ditambah beberapa warga Sunni Arab. Praktik eksekusi seperti itu dikerap dilakukan NIIS untuk menebar teror dan ketakutan baik di kalangan warga sipil maupun pasukan lawan. (KOMPAS)