Pranoto Reksosamodra, nasib tragis jenderal pilihan Soekarno


1 Oktober 1965, seluruh Jakarta dilanda kebingungan. Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani dan sejumlah jenderal diculik dari rumah mereka. 

Di saat genting itu, Presiden Soekarno menunjuk Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra sebagai pelaksana harian Angkatan Darat, pengganti sementara jenderal Yani.

Soekarno menolak usulan tiga jenderal lain. Mayjen Soeharto dianggap keras kepala. Mayjen Moersjid suka berkelahi dan main gebuk. Sementara Mayjen Basuki Rachmat tidak begitu sehat.

Pranoto yang saat itu menjabat Asisten III Men/Pangad bidang personalia dianggap bisa diterima kalangan yang bertikai. Dia jenderal tanpa ambisi dan tak memiliki lawan. Pranoto juga mantan Panglima Divisi Diponegoro Jawa Tengah yang diharapkan dapat mengendalikan anggota divisi yang terlibat G30S.

Soekarno memerintahkan Pranoto menghadap ke Halim hari itu untuk menemui dirinya. Namun Pranoto tak datang. Dia mematuhi perintah Soeharto yang melarangnya pergi ke Halim. 

Saat itu para perwira Angkatan Darat tanpa sepengetahuan Soekarno telah menunjuk Soeharto sebagai pengganti sementara Men/Pangad. Pranoto yang saat itu berada di Mabesad pun menyatakan dukungannya pada Soeharto. Dia merasa Soeharto lebih layak memimpin. Dia manut dilarang Soeharto ke Halim.

"Seandainya saat itu Pranoto bersedia datang ke Halim Perdanakusuma tanggal 1 Oktober 1965, mungkin Soeharto akan dipangkas wewenangnya dan kehilangan kesempatan untuk berkuasa. Tetapi faktanya, sejarah tidak mementingkan kata 'seandainya'," tulis sejarawan Asvi Warman Adam dalam pengantar Buku Catatan Jenderal Pranoto dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya yang diterbitkan Kompas tahun 2014. 

Kenapa Soekarno menunjuk Pranoto? Mungkin karena keduanya cukup dekat. Setelah perang kemerdekaan, Soekarno pernah meminta Pranoto menjadi ajudan presiden. Saat itu Pranoto menolak dengan halus permintaan Soekarno. Alasannya dia ingin berkarir sebagai komandan lapangan lebih dulu.

Secara khusus Soekarno pernah menuliskan memo khusus untuk Pranoto tahun 1961. "Kolonel Pranoto, kerjalah baik-baik untuk negara. Bapak percaya penuh kepadamu."

Soekarno pun pernah mengagumi bagaimana Pranoto menjunjung tinggi falsafah Jawa. Dalam sebuah kesempatan, Soekarno memuji kemampuan Pranoto mendalang.

Sementara Soekarno dan Soeharto tak terlalu cocok. Soekarno menjuluki Soeharto opsir koppig atau perwira keras kepala karena pernah menolak perintahnya.

1 Oktober 1965, sejarah dua manusia sudah diputuskan. Posisi Soeharto makin kuat memimpin Angkatan Darat sementara Pranoto tersingkirkan.

"Pak Pran itu jenderal santun. Dia tidak mau ribut-ribut karena itu dia mematuhi perintah Soeharto dan mendukungnya," kata Imelda Bachtiar, penyunting buku tersebut.

Tanggal 14 Oktober 1965, Soeharto diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Pranoto kehilangan jabatannya dan menjadi perwira tinggi non job. 

Tanggal 16 Februari 1966, Soeharto memberikan perintah penangkapan untuk Pranoto. Soeharto menuding Pranoto terlibat G30S. Bahkan Pranoto masuk salah satu gembong gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pranoto mencoba menyanggah tudingan yang dialamatkan padanya. Namun percuma, tak ada keadilan atau pengadilan bagi tahanan politik yang sudah dicap PKI.

15 Tahun Pranoto ditahan tanpa diadili. Hak-haknya sebagai perwira tinggi dicabut sejak di tahanan. Tahun 1975, Pranoto tak lagi menerima sepeser pun dari pemerintah.

Tanggal 16 Februari 1981, Pranoto dibebaskan dari tahanan. Dia berjalan kaki ke rumah anak-anaknya di Kramatjati, Jakarta Timur. 

Jenderal pilihan Soekarno ini meninggal 9 Juni 1992. Cap tahanan politik belum lepas bahkan saat kematiannya. Nasib Pranoto sama buruknya dengan Soekarno yang meninggal dengan status tahanan rumah. (MERDEKA)

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait