Napas Islam Bung Karno Teguhkan Keindonesiaan


Jakarta - Dua isu mutakhir yang mencuat belakangan ini bahwa ideologi Pancasila terlalu sekuler hingga harus diganti dengan sistem kekhilafahan, dan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila versi komunis seperti disampaikan Alfian Tanjung dalam ceramahnya terbantahkan melalui buku Bung Karno Menerjemahkan Al-Quran karya Muchamad Nur Arifin.

Pria yang sangat mengagumi Bung Karno itu memastikan Pancasila sama sekali tak bertentangan dengan Islam. Negara Indonesia lahir dari sintesis antara kebangsaan dan keislaman. Indonesia lahir dari perjuangan para nasionalis dan tokoh Islam. Keduanya bahu-membahu membawa Indonesia lepas dari jerat penjajahan.

Di sisi lain, Sukarno atau Bung Karno pun sejatinya seorang islamis yang nasionalis, sehingga sangat tak masuk akal menudingnya sebagai seorang komunis. Dalam buku setebal 292 halaman yang diterbitkan Mizan bertepatan dengan peringatan Hari Lahir Pancasila ini, Mochamad Nur Arifin secara khusus memotret tiga bagian dari diri Bung Karno: karakter religiusnya, pemikiran keislamannya, dan aksi 'jalan' Islamnya.

Potret religiositas Bung Karno, tulis Wakil Bupati Trenggalek itu, merupakan sisi yang tidak sering diperhatikan dalam bingkai sejarah Indonesia. Bung Karno lebih dikesankan sangat nasionalis ketimbang sangat islamis. Padahal, dari berbagai 'adegan' sejarah hidupnya, jelas terlihat betapa islamisnya Bung Karno. Ada banyak peristiwa maupun tindakan Bung Karno yang menunjukkan bahwa ia sosok yang sangat menekankan aspek religiositas. Dalam diri Bung Karno, antara nasionalisme dan religiositas menyatu tanpa sekat. Ia sosok yang melampaui (beyond) dikotomi keduanya. Bung Karno figur yang nasionalis sekaligus religius.

Pemikiran Bung Karno tentang keislaman dan keindonesiaan merupakan hasil 'pembacaan'-nya terhadap ayat-ayat Al-Quran. Di antaranya 'tafsir' Bung Karno atas Surat Al-Hujurat. Dia sangat menekankan soal ijtihad yang disebutnya apinya Islam. Bara Islam bisa terus terjaga selama spirit energi ijtihad tetap dijaga. Matinya ijtihad berarti matinya progresivitas dan kedinamisan Islam.

Bagi Bung Karno, Islam bisa mengejar kemajuan saintifik dan teknologi jika tafsir atas ayat-ayat Al-Quran dihidupkan dengan spirit ijtihad. Al-Quran mencakup semua disiplin ilmu. Sangat disayangkan jika 'harta karun' keilmuan di dalamnya tak bisa ditemukan oleh para penafsirnya. Bagi Bung Karno, peta jalan untuk sampai ke sana dengan menggunakan spirit ijtihad.

Sementara itu, tentang 'Jalan Islam' Bung Karno, Mochamad Nur Arifin, yang pernah berkuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, mengajak pembaca melakukan napak tilas penjelajahan Bung Karno dalam mencari, menemukan, dan memformulasikan Islam yang sesuai dengan keindonesiaan. Dipaparkan secara gamblang kekaguman Bung Karno akan sosok Nabi Muhammad SAW yang dinilainya sebagai simbol revolusi. Kekagumannya itu mencapai puncak hingga melihat 'revolusi Indonesia sebagai revolusi Muhammad SAW'.

Bagi Bung Karno, bertuhan itu sekaligus berindonesia, dan berindonesia itu sekaligus berislam. Jadi tak ada pengkotak-kotakan atas semua itu. Semuanya bersinergi membentuk sebuah filosofi, visi, dan nilai-nilai bersama. Semua nilai itu tercakup dalam Pancasila.

Prof Mahfud MD dalam testimoninya menyatakan buku ini penting untuk menjelaskan kepada publik tentang keislaman gagasan-gagasan Bung Karno. "Sebab, masih banyak yang salah paham seakan-akan Bung Karno adalah tokoh yang sangat sekuler yang tak peduli pada agama. Padahal pandangan dan langkah-langkahnya sangat agamis," tuturnya.

Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj dalam testimoninya menyatakan, "Buku ini lahir pada waktu yang tepat untuk menjelaskan kepada rakyat Indonesia bahwa asas-asas bangsa ini, terutama Pancasila, selaras dan koheren dengan pesan-pesan Al-Quran dan nilai-nilai Islam."

Sumber : Detik.com

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait