Letjen Marinis Hartono. [Foto/Dok. Pribadi/arsipindonesia.com] |
Ada banyak kematian yang tak bisa diungkap dengan benar di Indonesia. Salah satunya ketika ada transisi kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Ketika itu, banyak daerah yang tumpah, termasuk kematian tujuh perwira Angkatan Darat (AD) di Lubang Buaya yang selalu dikenang. Sayangnya, ratusan ribu orang lainnya yang terbantai setelah 1965 seakan terlupakan.
Mereka yang tewas akibat pembantaian pada masa itu, jumlahnya memang sangat simpang siur. Menurut Ben Anderson pada tahun 1985, jauh setelah kejadian, jumlah korban dalam kisaran antara 500 ribu hingga 1 juta. Versi militer sendiri menyebut 450 ribu hingga 500 ribu korban. Semula angka yang diumumkan pihak militer hanya 78,5 ribu orang saja. Menurut Komisi Peneliti Korban Gestapu, yang di dalamnya ada Mayor Jenderal Sumarno dan Menteri Negara Oei Tjoe Tat, lebih dari 1 juta orang tewas. Temuan komisi ini dilaporkan ke Soekarno.
Nyawa ratusan ribu orang korban pembantaian 1965, ratusan nyawa dalam Petrus 1982-1983, puluhan nyawa dalam korban Tanjung Priok pada 1984, belum termasuk di daerah konflik lain seperti Aceh, Papua, Timor Leste, sudah dilupakan. Selain korban massal itu, ada banyak kematian yang tidak pernah tuntas.
Rene Louis Conrad, Mahasiswa ITB
Dalam bukunya Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (2004), Rum Aly menyinggung Rene Louis Conrad. Mahasiswa ITB di Bandung yang tewas ditembak. Namun, orang yang dijadikan tersangka bukan yang menembak, tapi orang lain. Sebelum penembakan, ada ketegangan antara mahasiswa dengan aparat polisi yang merazia orang-orang berambut gondrong. Untuk meredakan ketegangan itu, diadakan pertandingan persahabatan sepakbola antara mahasiswa Bandung dengan taruna polisi dari Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) cabang Kepolisian Sukabumi. Selama pertandingan, ada mahasiswa-mahasiswa ITB dan Universitas Padjadjaran yang membawa gunting mengolok-olok polisi.
Rombongan taruna baru saja dikalahkan 2:0 dalam pertandingan persahabatan dengan mahasiswa ITB. Taruna-taruna calon polisi itu rupanya tidak terima dengan kekalahan. Dalam perjalanan, melintaslah pemuda gondrong dengan mengendarai motor Harley Davidson bernama Rene Louis Conrad. Pemuda ini hanya melintas dan tak tahu ada pertandingan sepakbola tersebut. Rene yang melintas di dekat bus, tiba-tiba diludahi seorang taruna. Rene marah dan menantang para taruna itu. Yang terjadi kemudian adalah Rene dibawa ke dalam truk lalu ditemukan tewas di sebuah gedung.
Mahasiswa pun marah. Terjadi unjuk rasa atas kematian Rene. Markas polisi di Jalan Dago pun kosong dari para polisi, yang menyembunyikan diri. Cerita yang sampai ke para mahasiswa, pembunuh Rene adalah taruna polisi anak seorang jenderal. Namun, dalam persidangan, yang jadi tersangka adalah seorang seorang brigadir polisi bernama Djani Maman Surjaman. Ketidakadilan itu dilihat mahasiswa yang kasihan pada tersangka. Djani memang mendapat pembelaan dari Adnan Buyung Nasution, tetapi hukuman tetap dijatuhkan padanya. Setelahnya, Rene Conrad dilupakan, kecuali oleh segelintir orang.
Djajadi Djamain, Musisi
“Alkisah, seorang di antara perwira pengendali kekuasaan ini – yang dalam banyak hal perilakunya masih tergolong jauh kurang buruknya dari yang lain – memiliki isteri muda yang jatuh hati kepada seorang pria muda penyanyi band terkenal di daerah ini yang rekaman piringan hitamnya di Perusahaan Rekaman Lokananta menembus pasar nasional,”tulis Rum Aly dalam Titik Silang (2006). Dalam catatan kakinya, Rum Aly menyebut si penyanyi muda itu adalah Djajadi Djamain, yang juga anggota militer. Pada tahun 1960an ikut mempopulerkan pop daerah Sulawesi Selatan, dengan band yang dipimpinnya, Dasa Rama. Saudari-saudarinya pun terjun di dunia tarik suara sepertinya.
Menurut Rum Aly, Djajadi kemudian lenyap. Hanya tersiar kabar dia dieksekusi dengan cara-cara yang menyengsarakan tanpa belas kasihan. Di masa-masa terbunuhnya Djajadi, tradisi warlord atau elit daerah sudah berlaku seperti Tuhan, yang punya "kehendak" atas nyawa orang lain, masih merajalela. Termasuk juga di Sulawesi Selatan.
Rum Aly menulis, apa yang dialami Djajadi bisa menjadi hal biasa. “Dengan mudah seorang pria yang sudah beristri, ditembak begitu saja pada suatu Magrib di atas becak yang ditumpanginya. Yang memerintahkan eksekusi, menjadi rahasia umum, adalah seorang pria lainnya yang juga sudah beristri, seorang tokoh yang terkenal di masyarakat dan pernah punya partai politik peserta pemilihan umum 1955. Darah mengalir, hanya karena persaingan kedua pria itu memperebutkan cinta seorang wanita idaman lain,” tulisnya tanpa menyebut jelas siapa tokoh dan kejadian perisnya pembunuhan yang dimaksudnya. Tahun kejadiannya pun tak tercatat Rum Aly, apalagi detail lain ceritanya. Hanya bisa diperkirakan terjadi sekitar akhir 1960an atau awal 1970an.
Setelahnya, Djajadi hanya hidup di rekaman-rekaman lagu-lagunya. Namun, di dunia nyata dia dilupakan dan kisah tragisnya tak ingat orang-orang di sekitar kota Makassar. Djajadi Djamain bukan satu-satunya orang malang di Indonesia yang disinggung Rum Aly.
Anak Agung Sutedja, Gubernur Bali
Selain Bom Bali, kengerian di Bali juga terjadi sekitar pergantian tahun 1965-1966. Puluhan ribu orang jadi korban pembantaian massal. Menurut Geofrey Robinson, dalam Sisi Gelap Pulau Dewata (2006), sekitar 80 ribu orang di Bali terbunuh. Jumlah penduduk Bali kala itu 2 juta orang, artinya Bali kehilangan 5 persen warganya. Tak hanya 5 persen warganya, Bali juga kehilangan Gubernur mereka juga.
Bali adalah basis pendukung Partai Nasional Indonesia (PNI). Anak Agung Bagus Sutedja, juga PNI Soekarnois yang setia pada Presiden Soekarno. Malangnya, tanggal 29 Juli 1966, Sutedja "dijemput" oleh beberapa orang berseragam militer dari markas Staf Komando Garnisun (SKOGAR). Sutedja diharapkan kedatangannya ke markas SKOGAR. Namun, kepulangan Sutedja dari sana tidaklah jelas. Tidak jelas juga siapa penculiknya, juga nyawanya. Nasib Sutedja itu ditulis dalam buku karya Aju berjudul Nasib Para Soekarnois: Kisah penculikan Gubernur Bali Sutedja, 1966
Menurut putranya, Sutedja korban penculikan politik lantaran dia orang kepercayaan Soekarno di Bali. Berdasarkan Surat keputusan Kepala Pelaksana Perang Daerah (Peperalda) Tingkat I Bali, Kol (Purn) I Gusti Putu Raka, Nomor 351/1372/DPRD, tanggal 1 September 1989, menyebut tak ada fakta hukum yang membuktikan jika Sutedja adalah PKI.
Hartono, Mantan Panglima Marinir
Kematian misterius juga menimpa seorang Soekarnois, Hartono. Setelah G30S, Hartono diangkat menjadi Duta Besar Indonesia Untuk Korea Utara. Di akhir 1970, Hartono dipanggil ke Jakarta. Seminggu setelah tahun baru 1971, suatu subuh, orang tak dikenal mendatangi rumah Hartono. Saat itu, Ibu Hartono yang kebetulan di rumah itu sedang salat subuh. Terdengarlah suara tembakan. Hartono lalu ditemukan tak bernyawa.
Sebelum Hartono meninggal, pihak intelijen (Orde Baru) menyatakan Hartono terlibat G30S. Kebetulan nama Hartono masuk dalam daftar Dewan Revolusi. Ketika pihak intelijen sedang menyusun laporan, Hartono sempat juga bertemu Sumitro, sang Panglima Kopkamtib. Menurut Soemitro dalam Mantan Pangkopkamtib: Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib (1994) yang disusun Ramadhan KH dikatakan bahwa Hartono merasakan apa yang akan terjadi pada dirinya dengan pemanggilan itu.
Menurut Laksamana Sudomo, Hartono bunuh diri karena KKO diperkecil. Sesepuh KKO sekaligus mantan Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, justru mengatakan, “…bukti yang ditemukan tidak mendukung motif untuk melakukan bunuh diri.” Sementara, menurut Menteri Luar Negeri Adam Malik, setelah disesak wartawan, hanya menyebut kematiannya karena ada pendarahan di otak. Secara lisan, pihak RSPAD Gatot Subroto, juga menyebut karena pendarahan di otak. Kematian simpang siur ini tentu menyisakan misteri bagi keluarga Hartono. Nasibnya kemudian sama dengan mereka-mereka yang terlupakan setelah kematiannya.