Aksi Mimbar Bebas Mahasiswa Papua di Jogya Berakhir Bentrok

Aksi Mimbar Bebas Mahasiswa Papua di Jogya Berakhir Bentrok
Rangkaian Acara Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Papua Barat yang digelar oleh Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) di Yogyakarta sejak 13 – 16 Juli 2016 mengundang reaksi dan aksi dari sejumlah pihak. Ujungnya, aparat Kepolisian Resort Kota Jogja dan Polda DIY masih berjaga di sekitar Asrama Papua Kamasan I, Jalan Kusumanegara, Umbulharjo, Jogja, Sabtu (16/7).

Meski demikian sebagian besar mahasiswa Papua yang sempat terkepung sudah meninggalkan asrama.Sekitar seratusan mahasiswa Papua sempat terjebak di dalam asrama sejak Kamis (14/7) pagi hingga Jumat dini hari. Mereka yang berencana menggelar aksi damai terkait hak menentukan nasib sendiri di Papua Barat, tidak bisa keluar asrama karena dikepung polisi dan sejumlah ormas.

Bahkan, menurut Juru Bicara Persatuan Rakyat Pembebasan Papua Barat, Roy Karoba, mahasiswa dibiarkan kelaparan di dalam asrama. Pasokan makanan ke dalam asrama sulit masuk. Bahkan mobil PMI yang akan membawa logistik ke dalam asrama tertahan depan asrama hingga akhirnya logistik dibawa kembali ke Markas PMI DIY. “Sampai pukul 21.30 WIB kami tanpa makan,” kata Roy kepada HarianJogya.com.

Tidak hanya itu, delapan mahasiswa Papua juga ditangkap polisi dan dibawa ke Polda DIY. Kedelapan mahasiswa itu baru dibebaskan pada Jumat dini hari (15/7). Sementara satu orang ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan penganiayaan kepada polisi.

Roy heran karena penangkapan itu tanpa alasan yang jelas, karena sebenarnya yang ditangkap itu hendak membawa makanan ke dalam asrama. “Justeru kami dihajar bahkan satu orang yang jadi tersangka kakinya masih pincang,” ujar Roy.

Roy mengaku selama di dalam asrama semua mahasiswa tidak ada yang melakukan perlawanan. Justeru mahasiswa Papua mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Ormas dibiarkan mendekat sampai pintu gerbang asrama spanduk antisparatis, melempar, hingga meneriakan kata-kata cacian kepada Mahasiswa Papua, dan kondisi itu dibiarkan oleh polisi.

Meski sempat ada yang terpancing, kata Roy, namun mahasiswa Papua tetap menahan diri tidak melakukan pembalasan. Meski demikian, Roy merasa polisi seolah-olah ingin mendiskreditkan mahasiswa Papua.

Menurut Roy, para mahasiswa Papua berkumpul di Asrama Kamasan 1 dalam rangka menggelar kegiatan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Papua Barat. Aksi itu sudah berlangsung sejak 13 Juli lalu, dengan rangkaian acara pentas budaya, mimbar bebas, dan rencananya kegiatan akan ditutup dengan longmarch dari Asrama Kamasan 1 sampai Titik Nol Kilometer Jogja pada 15 Juli.
Namun rencana aksi longmarch itu terpaksa dibatalkan karena sejak pagi, Aparat kepolisian dan ormas sudah menghadang upaya aksi damai mahasiswa Papua. “Rencana longmarch batal demi keamanan, karena melihat situasi,” katanya.

Salah seorang peserta mimbar bebas di Asrama Papua, Goo Koteka Che mengatakan acara itu terkait dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Melanesia Spearhead Group (MSG) di Honiara, Kepulauan Solomon pada 14-16 Juli.

“Acara ini juga bertepatan dengan peringatan 47 tahun Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tanggal 14 Juli,” kata Goo.

Untuk mencegah terjadinya aksi bentrokan susulan seperti yang terjadi pada kamis pagi (14/7), polisi memarkir satu unit mobil penyemprot air (water canon) tepat di depan gerbang masuk asrama.

Sementara menurut Kepala Humas Polisi Daerah (Polda) DIY, AKBP Anny Pudjiastuti, delapan mahasiswa Papua yang ditangkap polisi karena diduga akan melakukan aksi telah dibebaskan, Sabtu (16/7) dini hari 00.30 WIB. Dari delapan korban tersebut satu orang dijadikan tersangka.

“Yang ditangkap, semuanya sudah dibebaskan,” ujar AKBP Anny Pudjiastuti, Sabtu (16/7). Anny menjelaskan, satu orang yang dijadikan tersangka tersebut bernama Obi Kogoya. Obi Kogoya dijadikan tersangka karena membawa satu panah.

“Satu orang dijadikan tersangka karena terbukti membawa satu panah. Tersangka tersebut dibebaskan dengan syarat wajib lapor,” ujarnya.

Menurut Anny, mahasiswa Papua yang membawa panah tersebut berisiko melukai anggota polisi. Dua orang anggota polisi diklaim mengalami luka. “Dua anggota polisi terluka dalam kejadian itu,” ujar Anny.

Anny mengungkapkan bahwa kepolisian akan terus berjaga-jaga di sekitaran asrama Papua yang berada di Jalan Kusumanegara 119 Yogyakarta.

Sementara itu ketua asrama Papua di Yogyakarta, Roy Karoba, membenarkan kedelapan rekan mereka yang ditangkap polisi telah dibebaskan pada Sabtu (16/7) dini hari. Namun dia membantah jika Obi Kogoya yang dijadikan tersangka telah melakukan tindakan anarkis terhadap kepolisian.

“Obi Kagoya yang dijadikan tersangka itu dipukulin dan diinjak-injak oleh polisi. Obi Kagoya dengan reflek bertahan balas memukul polisi untuk melindungi diri. Artinya dia tidak sengaja untuk memukul polisi. Dia itu reflek karena diinjak-ijak,” ujar Roy Karoba.

Roy Karoba juga menepis tuduhan kepolisan yang bahwa warga Papua melakukan pelemparan batu terhadap kepolisian. Warga Papua justru yang dilempari batu dari pihak ormas yang menamakan diri FKPPI, Pemuda Pancasila, dan Paksi Kraton.

“Kalau polisi mengatakan bahwa pihak kami (Papua) melemparkan batu, itu salah, kebohongan publik. Yang ada kami dilempari ormas dan polisi malah membiarkan saja,” ujarnya.

Selain itu, Roy juga keberatan jika kepolisan masih terus menjaga asrama Papua sampai hari ini. Penjagaan tersebut dinilai meresahkan warga Papua di Yogyakarta. Warga Papua menjadi tidak bisa beraktivitas seperti biasanya.

“Kalau sampai sekarang asrama Papua masih dikepung polisi, itu apa alasannya. Kami tidak meresahkan masyarakat sekitar. Bahkan justru warga sekitar asrama memberi bantuan dengan pembagian makanan,” tambahnya. (marksman/ sumber : harianjogja.com dan jengpatrol.com)

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait