Cina, Korut dan apa yang terjadi pasca tes nuklir

Pemimpin Cina, Xi Jinping, belum pernah mengunjungi Korea Utara sejak menjadi presiden pada tahun 2013.
Sejak tes nuklir pertama pada tahun 2007, terdapat dua kelompok pemikiran diantara akademisi dan komentator Cina tentang masalah program nuklir Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK).

Yang pertama memandang ini adalah suatu pertunjukan sampingan yang berguna untuk mengalihkan perhatian masyarakat dunia, menyebabkan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya sakit kepala dan mengubah arah perhatian diplomatik bermusuhan yang kemungkinan diarahkan ke Cina.

Ini adalah sesuatu yang didukung oleh Cina dan direkayasa untuk kepentingan mereka.

Kelompok kedua melihat aksi tetangga sesama penganut Marxist-Leninis sebagai perusak nama baik Cina, beban sangat besar, negara yang dijalankan kepemimpinan narsisistik, dan terjebak dalam waktu, setengah abad di belakang bagian lain dunia.

Kelompok pertama beranggapan Cina benar-benar berpengaruh dan menguasai Korea Utara. Beijing mengontrol keadaan disana, sampai tingkat tertentu. Yang kedua mengisyaratkan Cina tidak begitu berpengaruh.

Dengan munculnya dugaan tes bom hidrogen DPRK pada tanggal 5 Januari, apakah kita bisa melihat pandangan mana yang lebih tepat menggambarkan pemikiran para pemimpin Cina?

Pimpinan Korea Utara, Kim Jong Un, memberikan arahan di Peternakan Ikan Sinchang.
Ada beberapa hal yang harus kita ingat ketika berusaha menjawab pertanyaan ini. Pemimpin Cina Xi Jinping telah mengunjungi 37 negara sejak menjadi presiden pada tahun 2013, tetapi DPRK tidak termasuk di dalamnya.

Korea Utara membalas tindakan Beijing ini. Pemimpin muda usia Kim Jong-un tidak pernah sekalipun melakukan perjalanan ke Beijing yang bisa ditempuh hanya dalam waktu satu jam dengan menggunakan pesawat sejak ia diangkat jadi pemimpin pada tahun 2011.

Kita juga mengetahui dalam sepuluh tahun terakhir, bahwa kecaman Cina terhadap tiga tes nuklir yang dilakukan sebelumnya oleh Korut semakin terarah dan langsung.

Kementerian Luar Negeri Beijing saat ini secara tegas "menolak keras" dugaan pengujian bom hidrogen DPRK. Pada tahun 2012, Cina dilaporkan menghentikan pasokan energi selama tiga hari setelah tes nuklir terakhir DPRK.

Kelompok musik Korea Utara, Moranbong, tiba-tiba meninggalkan Beijing sebelum pentas.
Bahkan sesuatu yang sepertinya tidak penting seperti pembatalan tiba-tiba pertunjukan rombongan tari dan musik DPRK ke Cina akhir tahun lalu, karena mereka berencana menyanyikan lagu yang memuji terciptanya bom kuat baru Pyongyang, mengisyaratkan pandangan Beijing yang tidak terlalu positif.

'Kata-kata bersahabat'

Meskipun demikian, para pemimpin Cina bekerja berdasarkan rambu-rambu yang jelas. Perkataan yang mereka pakai terhadap DPRK tetap penuh dengan kata-kata hangat, menguatkan persekutuan berdasarkan ikatan sejarah dan pertemanan yang kuat.

Ini karena alasan sederhana. Meskipun mereka memandang rezim Pyongyang saat ini buruk, pilihan lainnya (persatuan semenanjung di bawah Korea Selatan, yang berarti dominasi Amerika, atau bahkan negara anarkis yang gagal tanpa kepemerintahan sama sekali) adalah lebih buruk.

Sungai Tumen memisahkan Cina dan Korea Utara.
Sepertinya meskipun sebagian pihak di Beijing kemungkinan (terutama masyarakat lembaga pemikir atau media yang kritis) menggambarkan pemimpin mereka lebih menerapkan pendekatan Machiavelli terkait Pyongyang dan kontrol jalur belakang tingkat tinggi, yang mereka pelajari dalam beberapa hari ini cenderung mendukung pemikiran bahwa para pemimpin meyakini pengaruh mereka terbatas dan menunjukkan tingginya tingkat frustrasi mereka.

Terdapat konteks yang lebih luas terkait hal ini. Saat ini banyak hal yang harus ditangani para pemimpin Cina.
Kecenderungan ekonomi yang memburuk dan gejolak di pasar saham Shanghai, disamping kekhawatiran mendalam tentang bentuk peran yang perlu dimainkan terkait krisis Timur Tengah (sumber setengah pasokan bahan bakar mereka) dan masalah geopolitik lainnya sudah lebih dari cukup membuat mereka sibuk.

Saham anjlok pada hari Kamis (7 Januari) memicu penghentian sementara kegiatan pasar.
Satu lagi masalah di kawasan yang menuntut waktu dan perhatian mereka sangatlah tidak bisa diterima. Mereka dapat hidup dengan lebih tenang tanpa drama tes nuklir ini.

'Jagonya pemerasan'

Korea Utara juga digerakkan ketidakpercayaan dan kekhawatiran yang sama. Bagi mereka, memiliki kekuatan nuklir memberikan pengaruh kekuasaan atas Cina disamping Amerika Serikat, yang seharusnya menjadi musuh utama mereka.

Filsuf besar Cina dari masa lalu, Han Fei, mengatakan dua setengah ribu tahun lalu, bahwa sementara orang selalu bersiap-siap menghadapi musuhnya, masalah nyata berasal dari pihak-pihak yang dipandang sebagai teman.

Polisi Cina menjaga di luar Kedutaan Besar Korea Utara di Beijing.
Bagi para pemimpin Cina, "persekutuan" Korea Utara adalah beban yang nyata dan berlanjut, sesuatu yang tidak bisa mereka tinggalkan, tetapi tidak terdapat rencana penanganan yang jelas.

Sampai sejauh ini, anehnya, mereka menerapkan taktik yang sama dengan AS di bawah Obama, lebih memilih berusaha tidak memperhatikan DPRK dan mengesampingkannya. Minggu ini kita mungkin menyaksikan taktik tersebut dihentikan secara tiba-tiba bagi Cina dan Amerika.

Suka atau tidak, sekarang Beijing harus bertindak.

Kemungkinan diperlukan bentuk pengaturan yang lebih halus bagi kunjungan kepresidenan Xi, atau hal yang lebih sulit lagi menekan AS untuk memulai kembali Perundingan Enam Pihak yang terhenti sejak tahun 2009.

Jika hal ini terjadi, maka Pyongyang akan kembali menunjukkan mereka tetap ahlinya dalam pemerasan dan merekayasa tetangga mereka di barat yang lebih besar dan sepertinya lebih berkuasa. Dan mereka kembali menunjukkan keterbatasan pengaruh diplomasi Beijing. BBC

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait