Ada banyak pakar Aero-Astro yang berasal dari Indonesia yang bekerja di luar negeri, terutama yang bekerja di lembaga lembaga terkenal pengembang industri strategis menurut SIPRI FY2015 misalnya:
- Lockheed Martin (35.5 billion)
- Boeing (30,2 billion)
- BAe (26.82 billion)
- Northrop Grumman (20.2 billion)
- General Dynamics (18.6 billion)
- Airbus Group (15.74 billion)
Dari sekian banyak ahli yang berasal dari Indonesia, katakanlah INGIN kembali ke Indonesia untuk berkarya demi bangsa dan negara katakanlah 50-50. Tetapi yang ingin kembali dengan tanpa alasan mungkin tidak lebih dari 10 persen. Lantas kemana yang 40 persen lain??
Masalahnya BUKAN TIDAK MAU, kita memandang hal hal terlalu sempit dan dangkal untuk menyalahkan mereka. Dan terlalu memandang masalah sedemikian sederhana.
Padahal untuk terjadi eksodus para ahli tersebut dibutuhkan beberapa pra-syarat basic yang memungkinkan mereka untuk berkembang dan melayani.
- Wadah, wadah ini berupa industri apa yang akan menjadi fokus untuk dikembangkan?
- Konsentrasi Riset dan Development (RnD). Entah karena cekak budget maka yang kita harapkan hanya TOT terus, tanpa RnD yang cenderung lambat dan makan biaya. Padahal RnD adalah infrastruktur yang jelas bagi institusi pengembangbiakan tehnologi baik dari alih tehnologi maupun dari riset mandiri.
- Kejelasan Hukum, Payung hukum bagi para peneliti ini tidak ada. Artinya kepada lembaga riset mereka dan pengembang mereka, sampai sejauh mana KOMITMEN PEMERINTAH baik dalam hal aturan dan pendanaan yang harus progressive.
- Kompensasi yang memadai, ini penting, jangan diharapkan mereka bekerja maksimal jika benefits yang diberikan berbanding terbalik.
- Kontinuitas dan Terapan karya karya mereka. < ——- INI YANG TERUTAMA.!!
Mohon maaf, sebelum saya bekerja di LM, saya dulu bekerja di salah satu lembaga peneliti dan industri strategis.
Jujur saja dulu jaman babe, biaya riset dan penelitian saja sering di sunat dan di proyekkan :) bagaimana bisa maju?
Lalu, hasil temuan temuan yang cukup berbobot dan bernilai tinggi dari para ahli tersebut, TERNYATA HANYA BERHENTI DI PERPUSTAKAAN. Lantaran keterbatasan dana pengadaan, ketidak cocokan dengan harapan pemimpin, bukan merupakan proyek mercusuar (dalam tanda kutip) de el el…..
Lebih ngenes lagi, para ahli ahli muda dan senior tersebut, harus ABS (you know what it means) agar karyanya masuk. Dan memiliki hak intellectual property. Artinya, jika bosnya agak kurang pandai, mereka sering mengaku ngaku hasil temuan anak buahnya agar dia mendapat promosi.
Sekarang saya tanya….. Bagaimana hal ini dapat dijadikan acuan untuk mengembangkan sistem teknologi terpadu karya anak bangsa yang dibanggakan?
Lucunya, banyak ahli ahli tersebut hengkang, karena diluar ternyata karya mereka lebih dihargai, dipergunakan, dan memberi imbalan benefits bagi siempunya temuan. Apalagi intellectual-property mereka diakui. Tanpa takut karyanya dicontek dan diaku sebagai hak orang lain terutama bosnya sendiri demi keuntungan mereka.
Sebenarnya masih banyak lagi “kecoa di balik karpet” yang harus diperbaiki dan dibina agar para ahli Indonesia ini kembali ke tanah air dan mengembangkan karyanya untuk bangsa ini. Jangan melulu menudingkan jari kepada mereka, Alangkah baiknya jika rakyat dan pemerintah RI memperbaiki infrastruktur dan superioritas hukum dalam mengatur wadah bagi para pakar tersebut agar mereka dapat berkarya demi bangsa dan negaranya.
Mohon maaf jika ada perkataan saya yang menyinggung, hal hal di atas adalah pengalaman saya pribadi. Tetapi setidaknya sebagai indikator agar bangsa dan pemerintah dapat melakukan introspeksi mendalam.
Tabik,
Brotosemedi hanya sebagai tukang tambal ban
di LM-ADP (Skunk Works) Palmdale, California.