Bersitegang dengan Ukraina, Rusia Cari Alternatif Peluncuran Program Dnepr

Masa depan Dnepr tentu sangat tergantung pada hubungan bilateral Rusia-Ukraina, yang saat ini sedang menghadapi masa sulit.
Krisis Ukraina memunculkan pertanyaan terkait peluang kelanjutan program Dnepr yang merupakan proyek kerja sama antara Rusia dan Ukraina. Dnepr ialah proyek peluncuran perangkat ke luar angkasa secara komersil menggunakan bantuan rudal balistik antarbenua yang dialihfungsikan, RS-20V.

Dalam wawancara bersama kantor berita Interfax-MNA pada Kamis (9/10) lalu, seorang ahli bidang roket-antariksa Rusia menjelaskan bahwa kepentingan ekonomi, politik, dan militer Rusia tidak sejalan dengan kelanjutan program peluncuran Dnepr tersebut.

Dari segi teknis, Dnepr sebenarnya masih dapat digunakan untuk kepentingan lain. Rudal balistik terberat di seluruh dunia ini memiliki kekuatan yang sesuai dengan kebutuhan roket alih fungsi, serta memiliki rasio kesuksesan yang tinggi. Berdasarkan data pada September 2000, dari 159 kali peluncuran rudal ini, hanya empat peluncuran yang mengalami kegagalan. Setelah itu, roket rudal balistik telah diluncurkan untuk tujuan komersial sebanyak 20 kali dan hanya mengalami satu kali kegagalan.

Jika memperhitungkan estimasi biaya minimum untuk menyelesaikan program Dnepr, proyek ini sangat potensial dari segi ekonomi.  Oleh sebab itu, pada 1997, Rusia, Ukraina, dan Kazakhstan membuat lembaga kerja sama Kosmotras untuk penggunaan roket antarbenua secara komersil dari pusat luar angkasa Rusia di Baykonur.

Korban Konflik Rusia-Ukraina

Masa depan Dnepr tentu sangat tergantung pada hubungan bilateral Rusia-Ukraina, yang saat ini sedang menghadapi masa sulit. Hingga beberapa waktu lalu, beberapa perusahaan Ukraina masih memberi layanan teknis untuk kompleks rudal pembawa hasil modifikasi R-36M. Namun, Presiden Ukraina Petro Poroshenko kemudian mengeluarkan peraturan untuk memberhentikan seluruh kerja sama teknologi militer antara Rusia dan Ukraina secara sepihak.

Peraturan baru tersebut tak ayal memunculkan kekhawatiran terkait pertahanan nasional Rusia. Namun, pada kenyataannya dampak peraturan itu tak setragis yang diperkirakan. Para spesialis lokal Rusia telah lama melakukan perawatan rutin untuk rudal balistik antarbenua secara mandiri, dan industri Rusia telah mampu menghadapi kesulitan-kesulitan yang timbul dengan relatif cepat.

Terkait rencana peluncuran rudal balistik alih fungsi, Pusat Roket Negara Biro Konstruksi Makeyev yang merupakan penghasil rudal balistik kapal selam Rusia dinilai layak memimpin perusahaan kerja sama tersebut. “Kami telah mempelajari syarat, kondisi, serta dokumen yang ada. Perusahaan kami juga merupakan penghasil produk serupa. Jika kami ditolak, maka kami akan memutus kontrak dengan Ukraina dan mengalihkan semua pekerjaan ke perusahaan Rusia,” ujar Wakil Kepala Roskosmos Sergey Ponomarev.
Namun melihat sisi komersial dari proyek ini, kecil kemungkinan kepentingan pemerintah Rusia kelak akan dilanggar. Berdasarkan data yang ada, hingga saat ini terdapat tujuh hingga delapan roket yang telah disiapkan untuk peluncuran. Pada akhir Oktober mendatang, Dnepr seharusnya sudah beroperasi membawa satelit mikro Jepang ke orbit. Selanjutya, mereka bertugas membawa dua kompleks perangkat komunikasi generasi baru asal AS Iridium NEXT pada Juni 2015. Sejauh ini, misi lain Dnepr belum diketahui. Dengan biaya peluncuran antara 30-35 juta dolar AS, kerugian maksimum dari pemberhentian proyek Dnepr tak akan lebih dari 240-280 juta dolar AS.

Substitusi Peluncur Ramah Lingkungan

Beberapa pakar ahli cenderung menilai dampak kontaminasi rudal Dnepr sebagai sebuah kekurangan. Komponen beracun dari bahan bakar ini membuat rudal tersebut akan menjadi sasaran empuk bagi serangan para aktivis lingkungan. Terkait hal tersebut, Menteri Pertahanan Rusia beberapa tahun lalu telah menyatakan bahwa Rusia tak berencana untuk memesan roket dengan komponen bahan bakar beracun lagi. Setelah diluncurkannya Dnepr, Kosmos, Tsiklon, dan Rokotov, peluncuran satelit ringan untuk kepentingan pertahanan nasional akan dilakukan menggunakan roket baru yang ramah lingkungan.RBTH

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait