Peristiwa pembunuhan terhadap para pekerja proyek pembangunan jembatan di Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Papua Barat pada 2 Desember lalu menjadi sorotan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Komisi Tinggi Hak Asasi PBB (OHCHR) melalui juru bicara Ravina Shamdasani mengatakan kekerasan yang terjadi pekan lalu itu tidak dapat diterima.
Namun dia menuturkan akar masalah di Papua selama ini tidak dipahami dan ditangani dengan baik oleh pemerintah Indonesia.
"Ada banyak keluhan, dan ini juga banyak terjadi di belahan dunia lain, ketika keluhan tidak ditanggapi atau ada tekanan turun temurun maka orang main hakim sendiri sebab suara mereka tidak didengar," kata dia.
Sebelum kabar peristiwa pembunuhan itu muncul Polrestabes Surabaya sempat mengamankan setidaknya 233 orang pendemo mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Aksi yang menuntut kemerdekaan Papua ini sempat mendapat adangan dari sejumlah organisasi massa (Ormas).
Sementara itu, satu orang warga negara Australia juga turut diamankan.
Namun tidak diketahui secara pasti, apakah pada saat demonstrasi berlangsung Sabtu kemarin, warga Australia yang diketahui bernama Harman Ronda Amy (35) ini, ikut dalam aksi di lapangan. Polisi menangkap Harman dari dalam Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan No 10, Surabaya.
Kepentingan Australia
Sudah bukan rahasia lagi nama Australia selalu terseret ketika isu Papua mengemuka.
Ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1949, mereka tetap mempertahankan kekuasaan di Papua Barat. Namun Presiden Soekarno kemudian meminta Papua, Irian sebutannya ketika itu, menjadi bagian Indonesia.
Dilansir dari laman Greenleft, awalnya Selandia Baru dan Australia mendukung Belanda untuk tetap bercokol di Papua. Selandia Baru dan Australia melihat Papua sebagai kepentingan strategis untuk mempertahankan kolonialisme sebagai daerah penyangga potensi serangan dari arah Utara. Dengan kata lain mereka ingin Papua tetap menjadi sekutu Barat.
Australia dan Isu Papua
Januari tahun lalu Kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Melbourne, Australia diterobos masuk oleh pria tak dikenal. Lelaki itu memanjat tembok dan naik ke atap lalu memajang bendera Bintang Kejora khas Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Aksi tersebut terekam dalam video berdurasi 2 menit 36 detik, yang diunggah akun Izzy Brown, Jumat (6/1). Dalam akun Facebook pribadinya, Izzy memang kerap mengunggah status berisi dukungan terhadap OPM.
Atas kejadian itu, Kementerian Luar Negeri mengecam aksi kriminal pendukung OPM tersebut di KJRI Melbourne, Australia.
Salah satu perusahaan media terbesar di Australia, Fairfax Media, dua tahun lalu mendapatkan dokumen badan Intelijen Negara (BIN) yang berisi daftar nama sejumlah tokoh gerakan Papua Merdeka yang paling berbahaya.
Surat kabar the Sydney Morning Herald melaporkan, Kamis (4/2), dalam daftar itu terdapat nama-nama tokoh agama Papua, aktivis politik, dan bahkan mahasiswa Papua yang tinggal di luar Papua. Kekuatan dan kelemahan tokoh-tokoh itu juga diungkap dalam dokumen BIN tersebut. Dokumen yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris ini, kata Sydney Morning Herald, menunjukkan ketakutan pemerintah Indonesia terhadap gerakan Papua Merdeka sekaligus pelanggaran hak asasi di Papua.
Dokumen BIN berbentuk presentasi yang diperoleh Fairfax itu tertanggal Maret 2014, lengkap dengan logo BIN di sebelah kanan atas.
Setelah diminta konfirmasi oleh Fairfax Media, BIN menyatakan akan mengadakan penyelidikan internal terhadap kasus ini.
"BIN tidak pernah mengeluarkan dokumen semacam itu," kata Direktur Informasi BIN Sundawan Salya. "Kami melakukan operasi intelijen dan tidak akan menggunakan dokumen terbuka seperti itu."
Selain berisi nama-nama tokoh gerakan Papua Merdeka, terdapat juga nama tokoh-tokoh Papua yang pro NKRI.