Suasana sidang adat Dayak atas kasus pemukulan warga oleh seorang perwira TNI Angkatan Udara di Pangkalan Bun |
KOTAWARINGIN BARAT - Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah menjatuhkan sanksi denda adat dua buah pantis (guci antik), dan 15 belanga senilai Rp 30 juta kepada perwiran TNI Angkatan Udara, Mayor Kal Fatkur Arifin.
Denda tersebut sebagai sanksi atas pemukulan warga kampung Dayak, Desa Pasir Panjang, Pangkalan Bun, pada Rabu (31/5/2017) lalu.
Dalam sidang kedua yang digelar di Rumah Betang Dayak Pasir Panjang, Pangkalan Bun, Sabtu (17/6/2017) itu, Fatkur tampak hadir. Sebelumnya pada sidang pertama, dia tidak menghadirinya.
Berpakaian kasual, kaos merah berkerah, Fatkur didampingi Mayor POM Pintoko Agung, yang menjadi salah satu saksi insiden pemukulan, dan Lettu POM Hendra Kinantaka, Komandan Satuan POM PangkalanTNI AU (Lanud) Iskandar Pangkalan Bun.
Keputusan nilai denda itu berdasarkan pertimbangan, Fatkur telah melakukan dua kali pemukulan, yang nilai dendanya dua pantis (Rp 10 juta), dan satu pantis karena telah membuat gaduh kampung, yang disebut kemaparan laman.
Vonis berasal dari tuntutan tujuh orang let (jaksa) adat Dayak. Sementara denda 15 belanga dari DAD Kotawaringin Barat sebagai denda kemaparan laman juga.
"Dengan senang hati kami mohon saudara Faktur menerima keputusan adat ini. Jangan salah persepsi. Ini bukan pemerasan. Ini sanksi adat, yang diuangkan senilai uang negara untuk memudahkan," jelas Sukarna ketua sidang dalam penyampaian keputusannya.
Akui pemukulan
Sebelum keputusan diambil, Fatkur mengakui melakukan pemukulan dua kali. Pemukulan pertama terhadap Giancarlo Fiesta (18), dan yang kedua kepada Freddy (53), orangtua Giancarlo.
Fatkur mengaku khilaf dan emosi karena sebelumnya mobil yang dikemudikannya sempat dipotong jalannya oleh Freddy, di kawasan Bundaran Pancasila. Ia mengaku memukul Giancarlo karena merasa direkam saat terjadi adu argumen antara dirinya dan Pintoko Agung dengan Freddy.
"Pemukulan kedua saya lakukan saat Freddy berkomunikasi dengan komandan, Pintoko juga, di depan mobil," kata dia.
Sementara di tempat yang sama Giancarlo mengaku dipukul tiga kali pada wajahnya. Ia pun berani bersumpah atas pengakuannya itu. Namun, saksi yang melihat kejadian itu hanya melihat persis pemukulan satu kali.
"Yang saya lihat cuma satu kali. Saya langsung lari takut kena pukul juga," kata Gatot warga setempat yang jadi saksi insiden itu.
Dalam sidang itu juga dikonfrontir tuduhan bahwa Fatkur melakukan pengancaman dan menantang keluarga korban yang mayoritas meruakan orang Dayak Pasir Panjang, saat melaporkan kasus ini ke Satuan POM Lanud Iskandar Pangkalan Bun, Rabu (31/5/2017) malam.
Fatkur menyanggah dirinya menantang dan menghina orang Pasir Panjang, hingga pimpinan daerah dengan pernyataan 'tidak takutnya'.
"Saya tidak takut sama siapapun. Dilaporkan bupati dan gubernur saya tidak takut karena saya benar (dalam insiden lalu lintas). Posisi saya sedang emosi dan khilaf saat kejadian," kata Fatkur.
Dalam sidang itu, Kepala Dinas Logistik Lanud Iskandar itu menyampaikan penyesalan dan permohonan maafnya pada Freddy sekeluarga, dan warga Pasir Panjang.
Ia mengaku datang karena menghargai sidang adat ini. Saat sidang pertama, ia tengah berada di Makassar.
Terkait denda yang diberikan, Fatkur menyatakan akan memikirkan dulu apakah menerimanya atau tidak. Ia mengatakan denda yang dikenakan padanya sangat berat, apalagi, kata dia, ia bakal menerima sanksi secara militer.
"Mungkin kami meminta kebijakan," kata dia.
Fatkur diberi waktu tiga hari untuk membayar denda itu. Sukarna menegaskan, putusan denda itu tak bisa ditawar lagi.
"Kalau hukum adat bisa ditawar, keenakan. Kalau tidak selesai di kabupaten, kita serahkan ke DAD Provinsi," tegasnya.
Sidang ini dihadiri puluhan orang. Selain warga, juga tampak puluhan orang dari Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak (Batamad) yang mengenakan pita merah di bahunya.
Sumber : Tribunnews