Quo Vadis Anggaran Pertahanan Amerika Serikat

F-22 Raptor (USAF)

Jakarta – Sebagai adidaya dunia, Amerika Serikat dikenal selain memiliki pengaruh politik dan ekonomi yang kuat, juga menjadi negara dengan kekuatan militer yang besar.

Melalui doktrin tempur yang menekankan kualitas, negara-negara Barat, termasuk Amerika, menitikberatkan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang berdaya gempur tinggi meski hanya dilakukan dalam penerjunan jumlah kecil.

Doktrin ini berbeda dengan negara-negara Timur, seperti Uni Soviet (sekarang Rusia), yang menekankan pada kuantitas atau jumlah besar dalam operasi di lapangan.

Meskipun demikian, baik doktrin militer Barat maupun Timur, tetap memerlukan anggaran yang tidak sedikit dalam pembuatan, pembelian, atau perawatan alutsista.

Untuk ketiga aspek yang disebutkan tersebut, Amerika Serikat sudah mumpuni melalui segudang pengalaman tempur minimal pada 100 tahun terakhir.

Mulai dari Perang Dunia I pada awal 1900-an yang digadang sebagai awal era “Modern War” hingga yang terkini kiprahnya di kawasan Timur Tengah, belum ditambah dengan peran Amerika dalam sejumlah konflik-konflik berskala kecil lainnya.

Segudang pengalaman tersebut mematangkan kemampuan Amerika dalam melakukan rekayasa teknologi alutsista, menjadikannya negara rumah bagi sejumlah perusahaan persenjataan terbesar di dunia, seperti Lockheed Martin, General Dynamic, Boeing, dan Pratt and Whitney.

Selain itu, kebutuhan AS untuk mengamankan kepentingannya, baik di dalam dan luar negeri melalui kekuatan militer juga membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit.

Berdasarkan data yang dikeluarkan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), pengeluaran pertahanan AS meningkat pesat pasca peristiwa 9/11 2001, yang kala itu dipimpin Presiden George Bush Jr.

Sebelumnya, pada pemerintahan Presiden Bill yang menjabat pada tahun 1993 s.d. 2001 pengeluaran pertahanan AS hanya berkisar 400 miliar dolar amerika per tahun, sedangkan pada Presiden Bush meningkat dari 500 miliar dolar pada tahun 2001 hingga melebihi 600 miliar dolar di akhir masa jabatannya, 2008.

Akan tetapi, pengganti Bush, yaitu Barack Obama (2009 s.d. 2016) justru menurunkan kembali anggaran belanja militer AS yang hampir menyentuh 700 miliar dolar menjadi 619 miliar dolar pada tahun 2013.

Peristiwa naik-turunnya anggaran militer AS tersebut juga tidak lepas dari peran partai yang tengah berkuasa di AS.

Dua partai di AS, yaitu Demokrat dan Republik, memiliki kebiasaan yang berbeda dalam menyusun anggaran pengeluaran militer mereka.

Saat Demokrat memenangi pemilihan presiden, yang kerap terjadi ialah turunnya anggaran pertahanan, sementara hal sebaliknya terjadi apabila Republik menjadi partai berkuasa.

Hal itu dapat dilihat dari pemaparan di atas, Bill Clinton dan Barack Obama merupakan presiden dari Demokrat, sedangkan George W. Bush ialah seorang Republikan.

Selanjutnya, bagaimana dengan Donald Trump? Presiden AS dari Partai Republik yang baru dilantik pada bulan Januari 2017.

Faktor Ekonomi Trump, presiden terpilih AS tersebut selama masa kampanyenya dinilai kontroversial karena pesan-pesan yang disampaikan dalam pidato kampanyenya cenderung keras dan arogan.

Meskipun demikian, sikap “tangan besi” Trump dinilai tidak akan sekeras seperti isi pidatonya dalam menjalankan pemerintahan.

Pakar hubungan internasional Universitas Gadjah Mada Nur Rachmat Yuliantoro berpendapat bahwa anggaran pertahanan AS dalam masa pemerintahan Trump tidak akan mengalami penaikan.

Sehubungan dengan majunya wakil dari Republik dalam tampuk kepemimpinan, Rachmat pun mengiyakan bahwa ada dua mitos jika partai tersebut menang.

Pertama, AS akan menaikkan anggaran pertahanan dan Kedua, AS akan menjadi negara yang gemar berperang.

“Akan tetapi, dengan tegas dia mengatakan bahwa untuk sekarang mitos naiknya anggaran kemungkinan besar tidak akan terjadi,” kata Rachmat saat ditemui di Yogyakarta.

Menurut dia, kemungkinan tersebut dapat dilihat dari janji Trump yang akan fokus bekerja untuk memperbaiki kondisi di dalam negeri.

Dengan rencana “inward” tersebut, katanya melanjutkan, Trump akan mengalokasikan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk memperbaiki ekonomi dan keamanan di Amerika.

Dari analisis tersebut, Trump diyakini akan menyalurkan anggaran yang lebih besar untuk memperbaiki situasi dalam negeri, papar Rachmat.

Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa anggaran pertahanan kemungkinannya tidak akan dinaikkan karena fokus Trump lebih menyasar pada aspek sosial ekonomi domestik.

Trump, yang berlatar belakang seorang pengusaha, selama masa kampanye berjanji untuk memperbaiki kondisi ekonomi di Amerika, termasuk dengan cara membuka lapangan kerja bagi pribumi, menekan impor serta menaikkan pajak bagi industri otomotif dari Eropa.

Untuk urusan pertahanan dan keamanan, Trump juga mengeluarkan wacana untuk menarik insentif dari negara-negara yang mendapat perlindungan keamanan dari AS, seperti Jepang dan Korea Selatan, serta meminta mekanisme berbagi beban anggaran kepada anggota NATO.

Dilema Amerika dan Tiongkok Sebagai negara besar di dunia, lazim jika muncul kegelisahan akan munculnya negara pesaing. Dalam kasus ini, Tiongkok menjadi perhatian khusus bagi AS karena perkembangan ekonomi dan militernya yang membesar dalam beberapa dasawarsa terakhir.

Terlebih ekspansi militer Tiongkok melalui “Blue Water Navy” yang berimbas pada diakuisisinya sejumlah pulau-pulau di perairan Laut Cina Selatan yang di dalamnya turut dibangun pangkalan laut dan landasan udara, turut memunculkan protes dari negara-negara sekitar.

Dalam menanggapi hal tersebut, sikap Trump terhadap Tiongkok secara militer belum bisa dipastikan, bahkan bisa dibilang membingungkan meskipun bulan beberapa waktu lalu pemimpin kedua negara sempat bertemu di Cina.

Sikap AS yang masih “abu-abu” terhadap Cina tercermin dari pernyataan Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson yang pernah mengatakan bahwa tidak boleh ada satu negara pun yang mendominasi kawasan Laut Cina Selatan.

Secara tidak langsung pernyataan tersebut tertuju ke Tiongkok, yang tentu disadari oleh Cina yang kemudian melontarkan protes atas pernyataan itu.

Akan tetapi, Rachmat yakin walaupun kedua negara berselisih paham soal isu teritorial maritim, kedua belah pihak akan berada dalam posisi dilematis.

Dilematis, karena jika Tiongkok tetap bersikap agresif di Laut Cina Selatan, akan memaksa AS untuk turun tangan. Namun, untuk terjun ke teater tersebut, tentu memerlukan biaya operasional yang sangat besar dan akan meningkatkan potensi konflik di kawasan.

Padahal, Laut Cina Selatan merupakan jalur transportasi dagang lintas laut di Asia Pasifik yang perkembangannya paling signifikan saat ini.

Dilema yang kedua ialah sikap Trump yang membatalkan keikutsertaan AS dari Pakta Perjanjian Trans-Pasifik (TPP).

Dengan batalnya AS dari pakta yang diinisiasi pada masa pemerintahan Presiden Obama tersebut justru akan memberi peluang bagi Cina untuk lebih aktif di kawasan.

Tanpa kehadiran AS maka TPP ibarat “macan ompong”, pungkas Rachmat menganalogikan kondisi tersebut.

Meski dinilai masih membingungkan dalam menganalisis hubungan AS dan Tiongkok, yang pasti ialah setiap kebijakan Trump dirancang untuk memberikan angin segar bagi perekonomian dalam negeri, seperti yang dijanjikan dalam kampanyenya.

Namun, perlu diperhatikan, saat ini Trump tidak menaikkan anggaran pertahanan hingga beberapa tahun ke depan dengan dalih memperbaiki perekonomian nasional, tetapi dalam praktiknya perbaikan dan kemajuan ekonomi yang telah dicapai juga akan menyeret peran militer demi mengukuhkan pijakan kepentingan AS di kawasan mana pun di dunia.

ANTARA

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait