![]() |
Gubernur DIY Sri Sultan HB X tegaskan tidak ada ruang di Yogyakarta buat Separatis. |
Yang mengatakan tidak boleh ada separatis di Yogyakarta. Menurut Natalius Pigai, pernyataan tersebut merupakan multi tafsir mengingat diucapkan oleh Sultan yang juga merupakan seorang raja.
Pernyataan Sultan Hamengku Buwono X itu dikeluarkan Sultan pada 19 Juli 2016 di Kepatihan menanggapi aksi sejumlah mahasiswa Papua di Yogyakarta yang menggelar dukungan atas United Liberation Movement For West Papua (ULMWP).
Para mahasiswa Papua itu mendorong ULMWP menjadi anggota Melanesian Spearhead Group (MSG).
Natalius Pigai menjelaskan Sultan HB X itu memiliki tiga kedudukan. Kedudukan tersebut ialah sebagai Gubernur, sebagai tokoh nasional, dan sebagai raja Ngayogyakarta Hadiningrat.
![]() |
Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai kecam pernyataan Gubernur DIY, Sri Sultan HB X yang multi tafsir melarang mahasiswa Papua berada di Yogya. (foto: ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/nz/16. |
Dengan adanya pernyataan multitafsir yang sudah tersebar di masyarakat Yogyakarta, maka menimbulkan ancaman pada mahasiswa Papua di Jogja. Hal itu juga mengancam kehidupan keberagamaan di Yogyakarta.
“Itu sangat berbahaya. dalam konteks budaya Jawa, itu pengusiran secara halus, bahwa orang Papua tak boleh di Jogja,” kata Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai saat ditemui di Asrama Papua Kamasan sesaat sebelum bertolak ke Kepatihan Yogyakarta untuk menemui Sultan, Rabu, 20 Juli 2016.
Mengingat kedudukan Sultan tak hanya sebagai kepala pemerintahan, melainkan juga tokoh nasional dan Raja Jawa. Dan sebagai raja, lanjut Pigai, pernyataan Sultan akan diikuti semua rakyatnya. “Itu penyataan chauvinist pimpinan besar negara. Itu tidak boleh,” kata Pigai sembari mengingatkan adanya jaminan hukum dalam berekspresi dan menyatakan pendapat.
Selain ingin menanyakan ihwal maksud pernyataan Sultan, Pigai juga ingin meminta keterangan soal peran pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada para mahasiswa Papua di Yogyakarta.
Juru bicara Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) Roy Karoba pun menyesalkan pernyataan Sultan. “Itu menyulitkan kami di sini. Seolah label separatis itu melekat pada orang Papua,” kata Roy saat ditemui di Asrama Papua “Kamasan”.
Dia pun meminta Sultan menyampaikan secara tegas maksud dari pernyataannya soal tak boleh ada separatis di Yogyakarta itu. “Kalau benar itu pengusiran, kami akan angkat kaki dari Jogja,” kata Roy.
Sultan membantah maksud pernyataannya adalah tidak memperbolehkan mahasiswa Papua tinggal di Yogyakarta. Menurut Sultan, aspirasi untuk menentukan nasib sendiri yang dilakukan mahasiswa Papua boleh dilakukan, asalkan tidak disampaikan kepada publik. “Kalau di asrama, silakan. Kalau disampaikan ke publik, di tempat lain sana, tidak di Jogja,” kata Sultan di Kepatihan, Rabu, 20 Juli 2016.
Alasannya, masyarakat Yogyakarta itu untuk Indonesia, bukan Yogyakarta memberi ruang bagi separatis untuk memisahkan diri dari Indonesia. “Itu prinsip. Beberapa kali sudah terjadi dan sudah saya ingatkan. Saya tidak mau Yogyakarta menjadi tempat untuk aspirasi lain,” kata Sultan.
Menurut Natalius, semestinya gubernur DIY sebagai pemerintahan memastikan perlindungan warganya akan penegakan HAM. Pemerintah tidak bisa melarang pendapat, pikiran dan perasaan seseorang.
“Pemerintah tidak bisa melarang pendapat pikiran dan perasaan seseorang, meskipun pendapat itu bertentangan dengan pendapat umum, misalkan soal PKI, terorisme, dll,” ujarnya.
Untuk itu Natalius Pigai meminta Gubernur DIY mengklarifikasi pernyataannya tersebut. Itu dilakukan untuk menjaga keberagaman kehidupan di Yogyakarta. “Untuk itu semestinya gubernur harus mengklarifikasi ucapannya,” ungkap Natalius Pigai. (marksman/ sumber : tempo.co dan jengpatrol.com)
Ikuti kami di instagram @militerysindonesia
Mengingat kedudukan Sultan tak hanya sebagai kepala pemerintahan, melainkan juga tokoh nasional dan Raja Jawa. Dan sebagai raja, lanjut Pigai, pernyataan Sultan akan diikuti semua rakyatnya. “Itu penyataan chauvinist pimpinan besar negara. Itu tidak boleh,” kata Pigai sembari mengingatkan adanya jaminan hukum dalam berekspresi dan menyatakan pendapat.
![]() |
Beberapa warga Yogya tampak berfoto bersama para mahasiswa papua di acara Bakar Batu sebagai simbol dari hidup rukun berdampingan (foto : KOMPAS.com/ wijaya kusuma) |
Juru bicara Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) Roy Karoba pun menyesalkan pernyataan Sultan. “Itu menyulitkan kami di sini. Seolah label separatis itu melekat pada orang Papua,” kata Roy saat ditemui di Asrama Papua “Kamasan”.
Dia pun meminta Sultan menyampaikan secara tegas maksud dari pernyataannya soal tak boleh ada separatis di Yogyakarta itu. “Kalau benar itu pengusiran, kami akan angkat kaki dari Jogja,” kata Roy.
Sultan membantah maksud pernyataannya adalah tidak memperbolehkan mahasiswa Papua tinggal di Yogyakarta. Menurut Sultan, aspirasi untuk menentukan nasib sendiri yang dilakukan mahasiswa Papua boleh dilakukan, asalkan tidak disampaikan kepada publik. “Kalau di asrama, silakan. Kalau disampaikan ke publik, di tempat lain sana, tidak di Jogja,” kata Sultan di Kepatihan, Rabu, 20 Juli 2016.
![]() |
Aksi Mahasiswa Papua menuntut kemerdekaan seperti ini mendapat sorotan dari Gubernur DIY, Sri Sultan HB X. (foto: Dede Kurniawan/Okezone) |
Menurut Natalius, semestinya gubernur DIY sebagai pemerintahan memastikan perlindungan warganya akan penegakan HAM. Pemerintah tidak bisa melarang pendapat, pikiran dan perasaan seseorang.
“Pemerintah tidak bisa melarang pendapat pikiran dan perasaan seseorang, meskipun pendapat itu bertentangan dengan pendapat umum, misalkan soal PKI, terorisme, dll,” ujarnya.
Untuk itu Natalius Pigai meminta Gubernur DIY mengklarifikasi pernyataannya tersebut. Itu dilakukan untuk menjaga keberagaman kehidupan di Yogyakarta. “Untuk itu semestinya gubernur harus mengklarifikasi ucapannya,” ungkap Natalius Pigai. (marksman/ sumber : tempo.co dan jengpatrol.com)