Ahok Mulai Tiru Model China

Presiden Joko Widodo didampingi (kiri ke kanan) Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Jaksa Agung HM Prasetyo, Menteri BUMN Rini Soemarno, dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono saat peletakan batu pertama proyek sistem transportasi kereta ringan (light rail transit/LRT) Jabodetabek di kawasan Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Rabu (9/9/2015). Pembangunan dua koridor awal LRT yakni Cibubur-Cawang-Dukuh Atas sepanjang 24,2 kilometer (km) dan rute Bekasi Timur-Cawang-Dukuh Atas sepanjang 17,9 km anggarannya mencapai Rp 23,8 triliun, ditargetkan selesai dalam tiga tahun.
KOMPAS.com - Infrastruktur kawasan akan lebih cepat berkembang jika dibangun pemerintah. Hal tersebut sudah dibuktikan oleh China yang mengejar Indonesia dalam kemajuan infrastruktur.

Direktur PT Ciputra Property Tbk Artadinata Djangkar mengatakan, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, tengah menerapkan pola serupa dengan China.

"Di Jakarta, Ahok mulai meniru-niru China. Ahok melihat peluang untuk mendapat uang dari pengembang melalui peningkatan Koefisien Luas Bangunan (KLB)," ujar Arta saat diskusi "Percepatan Pembangunan Infrastruktur Indonesia", di Jakarta, Sabtu (23/1/2016).

Hal ini, kata Arta, ditunjukkan ketika pertengahan tahun 2015, Ahok melontarkan ide pembangunan Light Rail Transit (LRT) Kelapa Gading-Kebayoran Lama.

Saat itu, sebanyak delapan pengembang diundang untuk bernegosiasi dengan Pemprov DKI Jakarta. 

Arta menuturkan, Ahok menawarkan untuk meningkatkan KLB jika pengembang mau menyumbang dana pembangunan LRT.

Meski tidak menyebutkan angka, menurut dia, jumlahnya sangat besar. Arta menjelaskan, Ciputra sendiri tidak berkeberatan.

KLB memang ditentukan oleh pemerintah daerah (pemda) dan menjadi acuan dalam membangun properti di sebuah kawasan. 

Sebagai contoh, kawasan di sekitar bandara tidak boleh didirikan bangunan tinggi, karena mengganggu keselamatan operasional penerbangan.

KLB biasanya ditandai dengan angka. Jika pengembang punya lahan seluas 100.000 meter persegi di lokasi dengan KLB 3, maka luas bangunan yang boleh dibangun adalah 100.000 meter persegi x 3 = 300.000 meter persegi.

Semakin tinggi angka KLB, semakin membuka peluang bagi pengembang untuk mengoptimalkan luas bangunan propertinya.

Berbeda dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang ditandai dengan persentase. Jika pengembang ingin membangun di kawasan dengan KDB 40 persen, maka lahan yang bisa dibangun hanya 60 persen. Sisa lahan harus dijadikan ruang terbuka hijau.

Ilustrasi
Kurang tepat

Arta menilai, ide yang dilontarkan Ahok kurang tepat karena bisnis properti sedang melambat, sehingga dirasa sangat memberatkan pengembang.

"Konsepnya sudah betul. Swasta mau (menyumbang), kalau logika bisnisnya ada. Kita tidak apa-apa," cetus Arta.

Meski demikian, ia menambahkan, keberatannya dalam ikut serta menyumbang dana pembangunan LRT karena Jakarta sudah terlampau padat.

Ketika Ahok dan Presiden Joko Widodo merancang titik-titik stasiun LRT, lokasinya berada di tempat yang sudah padat dan kepemilikan tanahnya serabutan.

Menurut Arta, hal ini justru akan menimbulkan masalah baru jika LRT dipaksakan dibangun.

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait