Bertaruh Nyawa untuk Militer Inggris, Lalu Dicampakkan

Pria Afghanistan dan putranya diserang Taliban.
Seorang pria Inggris, yang mempertaruhkan nyawanya di garis depan, dengan menjadi penerjemah untuk pasukan Inggris, ditembak bersama dengan putranya yang berusia dua tahun oleh militan Taliban.

Dilansir dari laman Daily Mail, Senin 13 April 2015, pria berusia 26 tahun yang dikenal dengan julukan 'Chris' oleh para tentara Inggris itu ditembak di rumahnya di Khost, Afghanistan.

Serangan yang juga melukai putranya, Muhammad, merupakan insiden terbaru dalam serangkaian upaya untuk menculik dan membunuhnya, karena dianggap telah membantu pemerintah Inggris.

Dia dicampakkan oleh pemerintah Inggris, setelah dimanfaatkan jasanya. Chris bekerja dengan unit elit Inggris, termasuk SAS, marinir dan resimen parasut, selama lebih dari tiga tahun.

Ayah dua anak itu sempat mengatakan bahwa telah 10 kali memberikan bukti-bukti ancaman pembunuhan, tetapi permohonannya untuk memperoleh suaka selalu ditolak pemerintah Inggris.

"Saya dan keluarga telah mendapat ancaman serius, sebagai konsekuensi untuk bekerja bagi Inggris, mengakibatkan saya ditembak pada 26 Desember 2015, saat Taliban mencari saya di rumah," kata Chris.

Dia menyesalkan bagaimana pemerintah Inggris telah mencampakkan, orang-orang yang mereka manfaatkan untuk melindungi tentara Inggris, selama masa-masa terburuk di Afghanistan.

Berkali-kali dia menyelamatkan nyawa tentara Inggris, mempertaruhkan keselamatan hidupnya sendiri. "Saya dicampakkan," ujar Chris, yang bekerja sebagai penerjemah antara Oktober 2008-April 2011.

Militer Inggris memberhentikannya, setelah ancaman yang dibuat Taliban terhadap keluarganya. Namun, Pemerintah Inggris menolak memberikannya suaka, karena dianggap tidak memenuhi kualifikasi.

Aturan untuk memberikan kehidupan baru bagi seorang penerjemah, baru diberlakukan Inggris, setelah Desember 2011, tetapi tidak bagi mereka yang bekerja sebelum itu.

Walau begitu, Chris dibuat terperangah, karena seorang milisi Taliban yang menjadi tersangka pembunuhan di Afghanistan memperoleh hak tinggal di Inggris, Minggu 12 April 2015, karena alasan hak asasi manusia.

Rafi, yang memimpin gerakan untuk membela mereka yang pernah bekerja sebagai penerjemah, menyebut betapa menjijikkan, bagaimana pemerintah Inggris memperlakukan orang-orang yang mereka manfaatkan.

"Apakah hanya kriminal dan mereka yang telah membunuh tentara Inggris, yang bisa memiliki HAM? Pintu terbuka baru untuk mereka, tetapi tertutup bagi kami," kata Rafi.

Dia menggambarkan, bagaimana rekan-rekannya yang pernah bekerja sebagai penerjemah harus hidup di bawah ancaman dengan keluarga mereka. Sedangkan  Taliban, justru dibolehkan tinggal dan hidupnya dibiayai pembayar pajak Inggris.

"Itu seperti kami (penerjemah) adalah teroris dan mereka pahlawannya," ujar Rafi. (Viva)

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait