Kisah Mayor TNI diplonco komandan, bawa ransel 25 kg & lari 15 km

SBY di Timor Timur. ©istimewa
Medan pertempuran yang berat membuat Mabes TNI menerjunkan ribuan prajuritnya untuk menumpas gerakan Fretilin di Timor Leste. Setiap perwira maupun prajurit wajib melaksanakan tugas pengamanan di bekas Provinsi ke-27 Indonesia tersebut.

Setiap prajurit yang dikirim ke sana, menjalani serangkaian 'ospek' untuk membuktikan mereka memang mampu bertempur. Tak cuma prajurit berpangkat rendah, sekelas komandan batalyon berpangkat mayor pun kena plonco.

Tahun 1986, Mayor TNI Susilo Bambang Yudhoyono dikirim ke Timor Timur untuk menjalankan tugas sebagai komandan batalyon 744 di Dili. Namun jangan dikira prosesnya mudah.

Setelah berkemas, SBY dan keluarga berangkat menuju Timor Timur pada Desember 1986. Sebelum terjun ke medan tugas itu, SBY diminta untuk menghadap Kepala Staf Kodam Udayana, Brigjen Wismoyo Arismunandar.

Saay bertemu, Wismoyo malah meragukan SBY yang ketika itu sudah diangkat menjadi komandan Batalyon. Keraguan itu timbul setelah melihat sosok SBY yang berbeda dengan komandan-komandan lainnya.

"Komandan Batalyon kok kulitnya bersih begini?" ujar Wismoyo sembari menatap SBY.

Guna mengetahui kemampuan kepemimpinannya, Wismoyo menunda keberangkatan SBY dan memintanya untuk melatih para Bintara di Kodam Udayana. Tugas ini sangat mendadak, apalagi dia dan keluarganya sudah diperintahkan ke Dili. Untuk sementara SBY pun terpaksa mengontrak kamar sederhana buat ditinggali. Dia bertanya-tanya kapan dia akan diberi lampu hijau untuk berangkat dan memimpin pasukan.

Akhirnya setelah dua minggu, Wismoyo menilai SBY pantas memimpin batalyon di medan tempur. SBY segera diperintahkan untuk terbang ke Dili. Namun, tes rupanya belum berakhir.

Setelah mendarat di Bandara Komoro, SBY dijemput salah seorang komandan peleton, Letnan Dua Inf Wiyarto. Keduanya terlibat pembicaraan singkat sebelum akhirnya SBY mengangkat sebuah tas ransel seberat 25 kg. Dia berpamitan pada Ani serta kedua putranya, Agus serta Ibas di Bandara Komoro.

Ternyata SBY diperintahkan untuk berlari sejauh 15 kilometer dari bandara menuju markas Batalyon di Taibesi, Dili sekaligus menghadap Komandan Korem, Kolonel Muhammad Yunus Yosfiah. Tak cuma ransel 25 kg, komandan batalyon juga wajib mengenakan helm baja dan senjata layaknya hendak bertempur. Rupanya inilah ospek bagi komandan yang baru datang. Jika tak siap mental dan fisik, jangan harap bisa lulus dan dapat respek anak buah.

"Dengan kondisi itu, tidak ada yang menjamin Komandan Batalyon akan mencapai lokasi dengan kondisi yang cukup fit ditambah membawa beban yang sangat berat. Tak hanya itu, SBY juga diyakini bisa terjatuh setiap saat, jika terjadi maka akan menjatuhkan wibawanya sebagai komandan di depan anak buah," kisah Bu Ani.

Seharian Ani menunggu dengan cemas di mess tempat dirinya dan kedua putranya menginap. Saat malam SBY baru pulang dengan tubuh dipenuhi cucuran keringat dan wajah yang lusuh. Namun, dia tetap meyakinkan Ani agar tidak cemas melihat kondisinya. SBY telah berhasil lolos 'ospek' tersebut.

"Aku tidak apa-apa, jangan cemas. Memang begitulah tradisi penyambutan di sini," ujar SBY.

Kelak SBY menjalankan tugasnya dengan baik di tengah pertempuran. Batalyon 744 yang dipimpinnya adalah satu-satunya batalyon yang merawat tawanan perang di Timor Timur.

Sumber

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait