BINTANG DUA: Mayjen TNI Daniel Tjen di ruang kerjanya, Pusat Kesehatan Mabes TNI. Foto: Dian Wahyudi/Jawa Pos |
TAK banyak warga keturunan Tionghoa yang memilih mengabdikan diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia. Dari segelintir orang itu, ternyata ada warga keturunan yang sukses menjadi seorang jenderal TNI. Ya, dia adalah Mayjen Daniel Tjen. Hari ini Tjen ikut merayakan hari raya Imlek.
BAGI Tjen, hanya ada dua hal yang dirasakannya dengan menjadi TNI. “Selama menjalankan tugas sebagai anggota TNI, saya tidak pernah merasa dibeda-bedakan. Yang saya alami dan rasakan di militer hanya dua, yakni enak dan enak banget. Hanya itu, tidak ada yang lain," katanya, Rabu (18/2).
Lelaki kelahiran Sungai Liat, Sumatera Selatan, 25 Juni 1957 itu memang seolah ‘menyempal’ dibanding lima saudara kandungnya. Tjen memilih jalan hidup yang menurutnya “out of the box” di saat saudara-saudaranya menekuni profesi sebagai pedagang.
"Masa kecil saya sama dengan anak-anak lain yang lahir di kampung, tidak berpikir untuk menjadi tentara," kenangnya. Daniel kini berkantor di Mabes TNI, Cilangkap. Sehari-hari dia menjabat sebagai Kepala Pusat Kesehatan (Kapuskes) TNI. Nah, sedangkan saudara-saudaranya sudah sukses menjadi pengusaha.
Sebagai warga keturunan, Tjen justru mengaku bangga dengan institusi tempatnya mengabdi. Kata dia, TNI sama sekali tidak membedakan anggotanya, apakah dia pribumi atau pun non-pribumi.
“TNI ini sangat luar biasa. Untuk memberikan pengabdian kepada bangsa dan negara, TNI tidak mengenal warga pribumi dan non-pribumi. Panglima TNI selalu memberikan tugas-tugas kepada Prajurit TNI sesuai dengan kapasitas masing-masing prajurit. Ini boleh saya katakan jarang terjadi di institusi militer negara-negara sahabat yang masih berkutat pada soal pribumi dan non-pribumi," tuturnya.
Daniel pun ikut mendaftar tentara lewat jalur wamil pada 1984. Setahun kemudian, dia lulus sekolah calon perwira (secapa) dan mendapat tugas pertama di Kodam IX/Udayana. Tepatnya di Batalyon 745 yang bermarkas di Lospalos, Timor Timur (sekarang Timor Leste). Dia langsung bertugas dalam operasi militer.
Daniel bertugas selama 2,5 tahun di kota berpenduduk sekitar 28 ribu jiwa itu. Selanjutnya, dia pindah tugas ke ibu kota Timor Leste, Dili. Selama sekitar 3,5 tahun dia bertugas di wilayah yang kemudian lepas dari RI pada 1999 tersebut.
’’Enam tahun penugasan di daerah operasi militer itu banyak menempa saya,’’ ungkapnya.
Keluar masuk hutan dengan hanya berjalan kaki sudah biasa bagi dia waktu itu. Sebagai dokter militer, Daniel tidak berbeda dengan prajurit pada umumnya.
Meski juga menguasai penggunaan senjata, sebagai tenaga medis, Daniel memang lebih banyak memainkan peran soft power saat bertugas. Tidak hanya mengurusi kesehatan prajurit TNI dan keluarganya, dia juga melayani masyarakat umum.
Saking cintanya dengan TNI, Tjen pun rela tidak merayakan Imlek yang jatuh pada hari ini (19/2). Padahal, mobilitas warga Tionghoa saat Imlek cukup tinggi, seperti halnya muslim berbondong-bondong mudik ke kampung halaman demi merayakan Hari Raya Idul Fitri.
Namun, sudah bukan hal baru bagi Tjen saat Imlek justru tak bisa pulang kampung. Baginya, panggilan tugas adalah hal mulia.
"Miliaran perantau Tionghoa di seluruh penjuru dunia pasti mudik. Kalau saya dan keluarga tetap di Jakarta dan kalau akan mudik tentu ke Sungai Liat, sebab di situlah kampung saya. Karena tidak mudik, saya juga akan mengunjungi sanak-saudara yang ada di Jakarta. Tujuannya, silaturrahmi di antara sesama saudara," kata dia.
Meski demikian ia tetap menangkap spirit Imlek. "Perayaan Imlek, adalah momentum penting untuk mengevaluasi dan memperbaiki diri ke depannya. Tapi saya karena tugas dan keluarga akan merayakan dengan cara yang sederhana," ujar anak seorang karyawan di pabrik timah di Pulau Bangka ini.
sumber
BAGI Tjen, hanya ada dua hal yang dirasakannya dengan menjadi TNI. “Selama menjalankan tugas sebagai anggota TNI, saya tidak pernah merasa dibeda-bedakan. Yang saya alami dan rasakan di militer hanya dua, yakni enak dan enak banget. Hanya itu, tidak ada yang lain," katanya, Rabu (18/2).
Lelaki kelahiran Sungai Liat, Sumatera Selatan, 25 Juni 1957 itu memang seolah ‘menyempal’ dibanding lima saudara kandungnya. Tjen memilih jalan hidup yang menurutnya “out of the box” di saat saudara-saudaranya menekuni profesi sebagai pedagang.
"Masa kecil saya sama dengan anak-anak lain yang lahir di kampung, tidak berpikir untuk menjadi tentara," kenangnya. Daniel kini berkantor di Mabes TNI, Cilangkap. Sehari-hari dia menjabat sebagai Kepala Pusat Kesehatan (Kapuskes) TNI. Nah, sedangkan saudara-saudaranya sudah sukses menjadi pengusaha.
Sebagai warga keturunan, Tjen justru mengaku bangga dengan institusi tempatnya mengabdi. Kata dia, TNI sama sekali tidak membedakan anggotanya, apakah dia pribumi atau pun non-pribumi.
“TNI ini sangat luar biasa. Untuk memberikan pengabdian kepada bangsa dan negara, TNI tidak mengenal warga pribumi dan non-pribumi. Panglima TNI selalu memberikan tugas-tugas kepada Prajurit TNI sesuai dengan kapasitas masing-masing prajurit. Ini boleh saya katakan jarang terjadi di institusi militer negara-negara sahabat yang masih berkutat pada soal pribumi dan non-pribumi," tuturnya.
Daniel pun ikut mendaftar tentara lewat jalur wamil pada 1984. Setahun kemudian, dia lulus sekolah calon perwira (secapa) dan mendapat tugas pertama di Kodam IX/Udayana. Tepatnya di Batalyon 745 yang bermarkas di Lospalos, Timor Timur (sekarang Timor Leste). Dia langsung bertugas dalam operasi militer.
Daniel bertugas selama 2,5 tahun di kota berpenduduk sekitar 28 ribu jiwa itu. Selanjutnya, dia pindah tugas ke ibu kota Timor Leste, Dili. Selama sekitar 3,5 tahun dia bertugas di wilayah yang kemudian lepas dari RI pada 1999 tersebut.
’’Enam tahun penugasan di daerah operasi militer itu banyak menempa saya,’’ ungkapnya.
Keluar masuk hutan dengan hanya berjalan kaki sudah biasa bagi dia waktu itu. Sebagai dokter militer, Daniel tidak berbeda dengan prajurit pada umumnya.
Meski juga menguasai penggunaan senjata, sebagai tenaga medis, Daniel memang lebih banyak memainkan peran soft power saat bertugas. Tidak hanya mengurusi kesehatan prajurit TNI dan keluarganya, dia juga melayani masyarakat umum.
Saking cintanya dengan TNI, Tjen pun rela tidak merayakan Imlek yang jatuh pada hari ini (19/2). Padahal, mobilitas warga Tionghoa saat Imlek cukup tinggi, seperti halnya muslim berbondong-bondong mudik ke kampung halaman demi merayakan Hari Raya Idul Fitri.
Namun, sudah bukan hal baru bagi Tjen saat Imlek justru tak bisa pulang kampung. Baginya, panggilan tugas adalah hal mulia.
"Miliaran perantau Tionghoa di seluruh penjuru dunia pasti mudik. Kalau saya dan keluarga tetap di Jakarta dan kalau akan mudik tentu ke Sungai Liat, sebab di situlah kampung saya. Karena tidak mudik, saya juga akan mengunjungi sanak-saudara yang ada di Jakarta. Tujuannya, silaturrahmi di antara sesama saudara," kata dia.
Meski demikian ia tetap menangkap spirit Imlek. "Perayaan Imlek, adalah momentum penting untuk mengevaluasi dan memperbaiki diri ke depannya. Tapi saya karena tugas dan keluarga akan merayakan dengan cara yang sederhana," ujar anak seorang karyawan di pabrik timah di Pulau Bangka ini.
sumber