Senjata masa depan yang mematikan telah tiba, tidak memerlukan peluru atau senapan. Senjata generasi terbaru ini adalah senjata laser berteknologi tinggi. Angkatan Laut (AL) Amerika Serikat (AS) mengumumkan senjata laser yang mampu menghancurkan drone (pesawat tanpa awak) dan kapal kecil.
Pengumuman AS itu memicu persaingan dengan negara lain untuk memproduksi senjata laser serupa atau yang lebih canggih. Senjata laser dengan kekuatan 30 kilowatt ditempatkan pada kapal USS Ponce, sebuah kapal induk yang ber-operasi di Teluk Arab.
Senjata terbaru militer AS itu akan digunakan mengamankan aset dan aliansi Negeri Paman Sam itu dari musuh-musuhnya, seperti Iran dan gerilyawan Al-Qaeda atau pun Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). “Prajurit belum menggunakan senjata laser baru untuk menghancurkan target musuh sesungguhnya. AL hanya menyiapkan saja. (Senjata laser) digunakan jika diperlukan,” kata Laksamana Muda Matthew Klunder, Kepala Penelitian AL AS, dikutip Live Science.
“Ditempatkan di USS Ponce, senjata laser itu telah diuji coba dan dikembangkan sejak Agustus 2014 di Teluk. Pengoperasian senjata laser itu harus menunggu kesempatan khusus,” imbuh Klunder pada beberapa waktu lalu. Sesuai Konvensi Jenewa, militer tidak diperbolehkan menggunakan senjata laser secara langsung kepada manusia. Tentara yang mengoperasikan senjata laser juga menggunakan alat pengontrol, seperti pada video game.
Dengan alat itu, para teknisi dapat melakukan beragam operasi, baik target dalam jarak dekat atau jarak jauh. Tidak hanya digunakan untuk menyerang dan menghancurkan target, senjata modern itu juga dilengkapi sensor dan sistem kontrol yang mampu mendeteksi drone dan kapal laut musuh. Laser itu juga mampu menghancurkan dua target sekaligus dalam waktu bersamaan.
Dalam uji coba senjata laser di USS Ponce, mereka menargetkan sebuah kapal kecil dan drone dalam waktu bersamaan. Militer AS pun akan mengembangkan dan memproduksi senjata laser karena alasan ekonomi. Senjata laser lebih mudah dibuat, dipasang, ditembakkan dan lebih murah biayanya, dibandingkan misil yang bernilai jutaan dolar. “Hanya kurang dari 1 dolar per tembakan, “ ungkap Klunder.
Selain menghemat anggaran pertahanan, Klunder mengungkapkan, senjata itu juga lebih aman dan meminimalkan korban karena Marinir dan pelaut tidak bertempur secara langsung. Senjata laser yang berada di USS Ponce itu dikembangkan Kratos Defense & Security Solutions. Pada 2010 mereka mendapatkan kontrak senilai USD11 juta atau Rp138,81 miliar untuk mengembangkan senjata laser.
Adapun, AL AS menghabiskan USD40 juta atau Rp504,73 miliar selama enam tahun penelitian dalam pengembangan senjata laser. Dana akan terus mengucur kepada Dinas Penelitian AL untuk memperbanyak jumlah senjata laser itu. Bukan hanya AS yang mengembangkan senjata laser. Rusia juga telah mengembangkan senjata modern itu sejak lama.
Awal Rusia mengembangkan senjata laser setelah mereka membeli kapal tanker buatan AS bernama Dickson, dari Pemerintah Ukraina. Di dalam kapal itu ternyata ditemukan generator dengan kekuatan 35 megawatt yang mampu menjadi senjata laser. Para perancang meriam tersebut mengklaim senjata itu dapat menyerang berbagai sasaran di pesisir, bahkan rudal bersayap.
Saat menyentuh sasaran, laser akan menghancurkan benda tersebut berkeping-keping. Keberhasilan itu membuat jajaran Angkatan Laut Uni Soviet saat itu memerintahkan agar meriam ditempatkan pada kapal pengangkut pesawat tipe Kiev 1143. Namun, euforia tersebut segera berubah menjadi kekecewaan saat meriam diuji coba dalam skala penuh. Senjata canggih tersebut ternyata sangat boros dan hanya bekerja selama lima menit.
Baru dua tembakan saja kapal sudah kehabisan energi dan harus berhenti bergerak. Sebelumnya, Uni Soviet juga pernah menciptakan Scythe untuk menopang dan memasok energi bagi meriam laser Dickson. Alat tersebut seharusnya diluncurkan pada 1987. Namun sebelum peluncuran, Mikhail Gorbachev tiba di Baikonur, dan mengumumkan penghentian perlombaan senjata dengan AS.
Dengan demikian, pemerintah Uni Soviet segera memerintahkan untuk menutup semua pengembangan senjata laser. Bagaimana dengan pengembangan senjata laser di Rusia? Informasi mengenai program sinar laser sangat terbatas. “Yang jelas, perkembangan teknologi militer dan penciptaan sampel modern persenjataan yang potensial dan efektif sebenarnya telah berkembang pada tingkat yang sama di semua negara yang berkesempatan mengembangkannya,” tutur mantan Kepala Staf Umum Rusia Yuri Baluyevsky, dikutip RBTH.
Profesor Ilmu Militer Vadim Kozyulin menilai masalah utama dalam penggunaan senjata laser masih belum terpecahkan. “Senjata laser membutuhkan sejumlah energi yang sangat besar. Para perancang harus bisa menciptakan baterai yang mampu memasok daya untuk meriam laser sehingga ia dapat melontarkan tidak hanya satu, tetapi ratusan tembakan,” kata Kozyulin.
Selain itu, menurut Kozyulin, laser hanya dapat digunakan dalam kondisi cuaca tertentu. Laser tak bisa digunakan dalam kondisi berawan dan lembab. Selain AS dan Rusia, Turki juga mengklaim telah menguji coba sistem laser berkekuatan tinggi yang sama dengan senjata laser yang dimiliki AS.
Pengumuman AS itu memicu persaingan dengan negara lain untuk memproduksi senjata laser serupa atau yang lebih canggih. Senjata laser dengan kekuatan 30 kilowatt ditempatkan pada kapal USS Ponce, sebuah kapal induk yang ber-operasi di Teluk Arab.
Senjata terbaru militer AS itu akan digunakan mengamankan aset dan aliansi Negeri Paman Sam itu dari musuh-musuhnya, seperti Iran dan gerilyawan Al-Qaeda atau pun Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). “Prajurit belum menggunakan senjata laser baru untuk menghancurkan target musuh sesungguhnya. AL hanya menyiapkan saja. (Senjata laser) digunakan jika diperlukan,” kata Laksamana Muda Matthew Klunder, Kepala Penelitian AL AS, dikutip Live Science.
“Ditempatkan di USS Ponce, senjata laser itu telah diuji coba dan dikembangkan sejak Agustus 2014 di Teluk. Pengoperasian senjata laser itu harus menunggu kesempatan khusus,” imbuh Klunder pada beberapa waktu lalu. Sesuai Konvensi Jenewa, militer tidak diperbolehkan menggunakan senjata laser secara langsung kepada manusia. Tentara yang mengoperasikan senjata laser juga menggunakan alat pengontrol, seperti pada video game.
Dengan alat itu, para teknisi dapat melakukan beragam operasi, baik target dalam jarak dekat atau jarak jauh. Tidak hanya digunakan untuk menyerang dan menghancurkan target, senjata modern itu juga dilengkapi sensor dan sistem kontrol yang mampu mendeteksi drone dan kapal laut musuh. Laser itu juga mampu menghancurkan dua target sekaligus dalam waktu bersamaan.
Dalam uji coba senjata laser di USS Ponce, mereka menargetkan sebuah kapal kecil dan drone dalam waktu bersamaan. Militer AS pun akan mengembangkan dan memproduksi senjata laser karena alasan ekonomi. Senjata laser lebih mudah dibuat, dipasang, ditembakkan dan lebih murah biayanya, dibandingkan misil yang bernilai jutaan dolar. “Hanya kurang dari 1 dolar per tembakan, “ ungkap Klunder.
Selain menghemat anggaran pertahanan, Klunder mengungkapkan, senjata itu juga lebih aman dan meminimalkan korban karena Marinir dan pelaut tidak bertempur secara langsung. Senjata laser yang berada di USS Ponce itu dikembangkan Kratos Defense & Security Solutions. Pada 2010 mereka mendapatkan kontrak senilai USD11 juta atau Rp138,81 miliar untuk mengembangkan senjata laser.
Adapun, AL AS menghabiskan USD40 juta atau Rp504,73 miliar selama enam tahun penelitian dalam pengembangan senjata laser. Dana akan terus mengucur kepada Dinas Penelitian AL untuk memperbanyak jumlah senjata laser itu. Bukan hanya AS yang mengembangkan senjata laser. Rusia juga telah mengembangkan senjata modern itu sejak lama.
Awal Rusia mengembangkan senjata laser setelah mereka membeli kapal tanker buatan AS bernama Dickson, dari Pemerintah Ukraina. Di dalam kapal itu ternyata ditemukan generator dengan kekuatan 35 megawatt yang mampu menjadi senjata laser. Para perancang meriam tersebut mengklaim senjata itu dapat menyerang berbagai sasaran di pesisir, bahkan rudal bersayap.
Saat menyentuh sasaran, laser akan menghancurkan benda tersebut berkeping-keping. Keberhasilan itu membuat jajaran Angkatan Laut Uni Soviet saat itu memerintahkan agar meriam ditempatkan pada kapal pengangkut pesawat tipe Kiev 1143. Namun, euforia tersebut segera berubah menjadi kekecewaan saat meriam diuji coba dalam skala penuh. Senjata canggih tersebut ternyata sangat boros dan hanya bekerja selama lima menit.
Baru dua tembakan saja kapal sudah kehabisan energi dan harus berhenti bergerak. Sebelumnya, Uni Soviet juga pernah menciptakan Scythe untuk menopang dan memasok energi bagi meriam laser Dickson. Alat tersebut seharusnya diluncurkan pada 1987. Namun sebelum peluncuran, Mikhail Gorbachev tiba di Baikonur, dan mengumumkan penghentian perlombaan senjata dengan AS.
Dengan demikian, pemerintah Uni Soviet segera memerintahkan untuk menutup semua pengembangan senjata laser. Bagaimana dengan pengembangan senjata laser di Rusia? Informasi mengenai program sinar laser sangat terbatas. “Yang jelas, perkembangan teknologi militer dan penciptaan sampel modern persenjataan yang potensial dan efektif sebenarnya telah berkembang pada tingkat yang sama di semua negara yang berkesempatan mengembangkannya,” tutur mantan Kepala Staf Umum Rusia Yuri Baluyevsky, dikutip RBTH.
Profesor Ilmu Militer Vadim Kozyulin menilai masalah utama dalam penggunaan senjata laser masih belum terpecahkan. “Senjata laser membutuhkan sejumlah energi yang sangat besar. Para perancang harus bisa menciptakan baterai yang mampu memasok daya untuk meriam laser sehingga ia dapat melontarkan tidak hanya satu, tetapi ratusan tembakan,” kata Kozyulin.
Selain itu, menurut Kozyulin, laser hanya dapat digunakan dalam kondisi cuaca tertentu. Laser tak bisa digunakan dalam kondisi berawan dan lembab. Selain AS dan Rusia, Turki juga mengklaim telah menguji coba sistem laser berkekuatan tinggi yang sama dengan senjata laser yang dimiliki AS.