Gara-gara sering disebut pelit untuk urusan ToT (transfer of technology), membuat pemerintah Rusia harus mengambil strategi lain agar pemasaran produk alutsista yang ditawarkan ke Indonesia bisa terus mulus, tak tergerus oleh kompetisi keras dari pemasok asal Korea Selatan, Eropa Barat dan AS yang rajin menawarkan skema ToT k ke Indonesia. ToT menjadi isu yang krusial, mengingat pemerintah Indonesia telah mensyaratkan harus adanya ToT dalam tiap produk alutsista yang di impor.
Tawaran produk Rusia yang menjadi fokus perhatian utama adalah Sukhoi Su-35 BM, sebagai calon pengganti jet tempur F-5 E/F Tiger II TNI AU, pembelian gelombang kedua tank amfibi BMP-3F dan kapal selam diesel listrik Kilo Class. Terkait hal tersebut, otoritas Rusia dan pemerintah Indonesia akhirnya berikrar untuk menandatangani perjanjian kerjasama produksi alutsista. Dikutip dari Janes.com (15/1/2014), rencana kerja sama ini sudah disusun dalam draft perencanaan untuk ditindak lanjuti dengan negosiasi industri pertahanan Indonesia.
Pembicaraan antara Indonesia dan Rusia dibuka 2014 lalu saat Presiden Joko Widodo bertemu dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin disela-sela pertemuan APEC tahun 2014 lalu. Dilanjutkan dengan Delegasi JSC Rosoboronexport dari Rusia yang dipimpin oleh Director General of JSC Rosoboronexport Anatoly P. Isaykin mengunjungi Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Republik Indonesia Letjen TNI Ediwan Prabowo di kantor Kementerian Pertahanan RI, Jakarta.
Kementerian Pertahanan Indonesia mengatakan rencana ini berpusat pada pengembangan skema offset pertahanan yang mencakup transfer teknologi, produksi bersama di Indonesia untuk komponen dan struktur, serta pembentukan pemeliharaan, perbaikan, dan pusat layanan perbaikan alutsista di dalam negeri.
Apa itu offset? Dalam setiap pengadaan alutsista di hampir setiap negara dipersyaratkan adanya defence offset yang dibagi menjadi direct offset dan indirect offset. Direct offset yaitu kompensasi yang langsung berhubungan dengan traksaksi pembelian. Indirect offset sering juga disebut offset komersial bentuknya biasanya buyback, bantuan pemasaran/pembelian alutsista yang sudah diproduksi oleh negara berkembang tersebut, produksi lisensi, transfer teknologi, sampai pertukaran offset bahkan imbal beli.
Perjanjian Rusia-RI dalam kasus ini termasuk dalam kategori yang terakhir. Karena Rusia juga menyatakan kesiapannya pelaksanaan ToT untuk setiap alutsista TNI yang dibeli dari Rusia, mengadakan joint production untuk berbagai suku cadang alutsista TNI yang dibeli dari mereka serta mendirikan service center di Indonesia. Semua dengan catatan Indonesia membeli produksi alutsista dari Rusia.
Sesuai dengan kebijakan Presiden Joko Widodo dalam memperkuat Poros Maritim, pihak Kementerian Pertahanan dan TNI AU pun mengincar Be-200, pesawat yang mampu mendarat di laut. Enath kebetulan atau tidak, Beriev Be-200 juga turut diikutkan Rusia dalam misi evakuasi pesawat AirAsia QZ8501 yang jatuh di Selat Karimata. Keberadaannya berguna untuk patroli di laut terhadap pencurian ikan di laut dan bisa digunakan untuk membantu pencarian kecelakaan jatuhnya pesawat di laut.
Kembali ke soal offset, Indonesia sudah cukup familiar dalam hal kerjasama offset alutsista. Kilas balik ke tahun 1988 – 1989, Indonesia memilih membeli F-16 A/B Fighiting Falcon salah satunya karena faktor offset. AS menawarkan 35% offset, sementara Perancis dengan Mirage 2000 hanya menawarkan 25% offset kepada Indonesia. Wujudnya PT Dirgantara Indonesia (d/h PT IPTN) mendapat pesanan untuk memproduksi suku cadang pesawat F-16. Hasil produksi suku cadang tersebut kemudian di ekspor PT IPTN ke pihak AS. Ada sekitar lima jenis komponen suku cadang F-16 yang diproduksi PT IPTN kala itu. Total pesanan offset di atas merupakan bagian dari kontrak pembelian 12 unit F-16 A/B Fighting Falcon untuk Skadron Udara 3 senilai US$337 juta.