FIR atau disebut Flight Information Region, jika diambil istilah mudah, adalah penguasaan udara oleh suatu negara dengan cara mengatur serta menjaga meskipun bukan wilayahnya sendiri.
Mendengar nama tersebut, saya sebagai salah satu anak bangsa yang pernah besar dengan empat masa yaitu Orde baru, Reformasi, Indonesia bersatu dan saat ini Indonesia Hebat, miris rasanya dan hati serta padangan tertuju pada negara kecil, Singapura .
Keinginan Indonesia untuk merebut kembali wiayah “ruang udara” yang pernah hilang dalam masa 66 tahun lamanya, mulai bangkit. Hal ini terkait dengan dibentuknya Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia, yang baru diresmikan tahun lalu, yang harus segera melakukan konsolidasi organisasi. Organisasi yang kuat akan memungkinkan LPPNPI bisa mengambil alih Flight Information Region (FIR) yang saat ini dikuasai Singapura.
”Wilayah kontrol udara di Indonesia saat ini dikuasai oleh Singapura. Mereka bisa mendapatkan hak untuk mengatur lalu lintas udara karena peralatan mereka lebih modern dan menggunakan satelit. Kini sudah saatnya Indonesia mengambil alih kontrol udara di atas wilayah Indonesia,” kata Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim. Menurut Chappy, Indonesia mempunyai peluang untuk memegang kendali atas lalu lintas udara tidak hanya di atas Indonesia, tetapi juga untuk kawasan Asia Tenggara. ”Namun, hal itu baru bisa dicapai jika kemampuan dan fasilitas navigasi kita memungkinkan,” kata Chappy.
Direktur Keselamatan dan Standar LPPNPI Wisnu Darjono mengakui, saat ini peralatan radar masih menggunakan radar darat yang jangkauannya tak terlalu luas. ”Kami akan mengganti fasilitas yang lebih modern setelah pengambilalihan ini selesai,” kata Wisnu.
Risman Nurjadin, Ketua Persatuan Ahli Navigasi Penerbangan Indonesia, menambahkan, perlu dibuat rencana cadangan yang andal apabila ada gangguan pada sistem navigasi. ”Rencana ini penting untuk keselamatan,” kata Risman.
Indonesia, dengan negeri yang berlimpah ruah sumber daya baik alam maupun manusia, tentunya bisa meng-handle” serta mengkontrol wilayah udaranya sendiri tanpa melibatkan Negara lain. Semboyan Indonesia Bisa, tentu bisa dalam segala hal, tidak ada yang tidak bisa kita lakukan untuk negeri ini bila kita maju serta bekerja sama dalam membangun bangsa ini.
Indonesia memiliki 2 FIR (FIR Jakarta di Soetta dan FIR Ujungpandang di Sultan Hasannudin) dan ke-2 FIR itu juga mencakup beberapa wilayah negara tetangga (Australia di Christmas dan Cocos Island).
Ketika penerbangan ada penerbangan di airport Hang Nadim, Batam, maka harus menunggu approval clearance take-off selain dari ATC Batam, yakni ATC Singapura. Tetapi mungkin peraturan “sedikit” tidak berlaku bagi kru TNI-AU yang ada di Lanud Pekanbaru / Supadio Pontianak ketika akan ke Natuna. Radio akan di-silent ketika pesawat take off, dan baru akan dinyalakan bila sudah berada pada ketinggian.
Hal ini beda lagi dengan LATGAB yang digelar oleh TNI beberapa waktu lalu. Kita tetap melaporkan berapa jumlah pesawat dan berapa koordinat yang akan dipakai. Hal ini penting sebab menyangkut standard keselamatan penerbangan yang berada dalam naungan ICAO (Kantor pusat di Canada).
Namun untuk urusan Keamanan Wilayah Negara Indonesia, hal ini sangat dipertaruhkan karena bisa ditarik kesimpulan bahwa kekuatan wilayah udara Indonesia berapa persen bisa dilemahkan dari salah satu sisi.
Mengapa demikian ?. Contoh, bila kita melaksanakan suatu operasi penyerbuan udara, negara tetanga Singapura bisa mendeteksi awal ancaman tersebut / pre emtive strike karena radar serta fasilitas pendukungnya mampu “meraba” wilayah sedikit Indonesia.
Hal yang sama dilakukan oleh negeri selatan yang disebut Australia. Mereka mempunyai program radar yang bernama JINDALLE, dengan beroperasi X-band serta mampu menembus lapisan Ionosfer yang membuat radar sapuan bisa kurang lebih 4000 Km persegi.
Ketika kita berangkat naik pesawat dari Lanud Juanda, Surabaya, mereka bisa “meraba” arah pesawat tersebut mulai pesawat take-off.
Sementara itu, Direktur Geospasial Deputi Kepala Badan Intelijen Negara Marsekal Pertama TNI J Urip Utomo mengatakan pendelegasian pengaturan lalu lintas udara Batam, Provinsi Kepulauan Riau, kepada Singapura melemahkan aspek pertahanan.
“Secara teritorial, pendelegasian pengaturan lalu lintas udara Batam kepada Singapura memang tidak mengurangi luas NKRI. Namun, pendelegasian itu berdampak pada pelanggaran wilayah udara sehingga melemahkan aspek pertahanan,” kata Urip seusai acara Sosialisasi Batas Maritim dan Udara di Gedung Nasional Tanjung Balai Karimun.
Urip Utomo mengatakan Singapura berwenang penuh mengatur lalu lintas udara atau “air traffic services” (ATS) Batam karena Indonesia dinilai belum mampu untuk mengatur penerbangan internasional yang cukup padat di udara Kepulauan Riau.
“Singapura sudah mengatur ATS Batam sejak 1946 sehingga keselamatan penerbangan yang melintasi Batam sepenuhnya kewenangan Singapura. Namun, kalau terjadi ‘hijacking’ udara tetap kewenangan TNI AU karena memang wilayah kita,” ucapnya.
Pengaturan ATS Batam oleh Singapura, katanya, juga merujuk pada perjanjian pendelegasian “flight information region” (FIR) pada 1995 yang dievaluasi pada 2003 dan selanjutnya dievaluasi kembali pada 2013. Pendelegasian itu diatur melalui Keppres No 7/1996.
Selain melemahkan pertahanan, pengaturan ATS Batam oleh Singapura, menurut dia, juga berdampak secara ekonomis bagi Indonesia. Sebab “fee” penerbangan yang melintasi Batam ditarik Singapura, setelah itu baru diserahkan ke Indonesia.
“Kalau dampak ekonomis bukan kapasitas saya memaparkannya karena berada pada Kementerian Perhubungan, yang jelas ‘fee’ ditentukan Singapura,” ucapnya.
Terkait langkah-langkah untuk mengambil alih ATS Batam dari Singapura, menurut dia, tentunya harus melibatkan semua pihak. Baik itu menyangkut sarana infrastruktur maupun kesiapan peralatan pendukung keselamatan penerbangan.
“Kita harus introspeksi. Tadi sudah saya paparkan bahwa SDM kita sudah mampu, peralatan juga mampu. Ya, kita harus meninjau pada peralatan yang lain sehingga masyarakat Internasional menilai kita sudah mampu untuk mengelola itu,” tuturnya.
Mengenai larangan pembangunan gedung tinggi di Batam, menurut Urip, itu bukan masalah. Sebab, tidak hanya berlaku di Batam, di seluruh daerah yang berada dekat bandara juga hal itu berlaku karena terkait dengan keselamatan penerbangan.
“Larangan bangunan tinggi bukan bentuk intervensi Singapura, karena ketentuan itu juga berlaku di setiap daerah yang dekat dengan bandara, contohnya di Bandara Soekarno-Hatta. Sedangkan udara Batam merupakan jalur penerbangan Bandara Changi, Singapura,” katanya.
Sudah 66 tahun, setara dengan usia kemerdekaan Indonesia, ruang udara Indonesia di wilayah Kepri dikuasai dan dikendalikan Singapura. Pesawat-pesawat Indonesia, termasuk pesawar militer yang ingin berangkat, mendarat, atau hanya sekedar melintas di atas Batam, Tanjungpinang, dan Natuna harus mendapat izin Singapura terlebih dahulu. Upaya merebut kembali kedaulatan itu selalu gagal di meja perundingan.
Dari pengeras suara di langit-langit ruang kantor pengelola Bandar Udara Hang Nadim Batam, pengumuman itu terdengar nyaring. “ …Pesawat Lion Air tujuan Jakarta segera diberangkatkan.” Pada saat yang sama, Kamis siang pertengahan Februari 2012, di ruang tunggu A4, yang berjarak 50 meter dari kantor pengelola Bandara, puluhan calon penumpang merangsek masuk ke tubuh bongsor Boeing 737 ER 900 milik Lion Air.
Sepuluh menit berselang, pesawat berjalan pelan menuju landasan pacu, siap lepas landas. Kendati berangkat dari Batam menuju Jakarta, yang sama-sama berada di wilayah Indonesia, tetapi pesawat Lion Air baru boleh bergerak dari apron ke landasan pacu Hang Nadim dan kemudian mengangkasa, setelah ada restu dari otoritas penerbangan Singapura.
“Di sini, semua pesawat yang ingin take off atau landing harus mendapat izin dari Singapura. Kalau dari sana belum kasih persetujuan belum boleh berangkat,” kata Hendro Harijono, Kepala Kantor Pengelola Hang Nadim.
Sejak 66 tahun lalu, setahun setelah bangsa ini merdeka, ruang udara Indonesia di wilayah Kepulauan Riau (mencakup Batam, Tanjungpinang, dan Natuna) berada di bawah kendali Singapura. ”Luas penguasaan Singapura atas wilayah udara kita mencapai 100 nautical mile,” kata Kepala Keselamatan Penerbangan Bandara Hang Nadim, Irwansyah.
Satu nautical mile setara 1,825 kilometer. ”Artinya, luas kekuasaan Singapura di atas negara kita sekitar 200 kilometer dari garis batas kedua negara. Itu sudah nyaris masuk ke wilayah Pangkal Pinang (Bangka) dan Palembang. Sangat luas,” kata Irwansyah.
Adalah pertemuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional atau ICAO di Dublin, Irlandia, Maret 1946, yang memberi kekuasaan kepada Singapura untuk mengontrol lalu lintas di angkasa Indonesia, khususnya wilayah Kepri. ”Saat itu delegasi kita tidak hadir. Mungkin karena situasinya kita baru merdeka. Sehingga peserta pertemuan menyerahkan kendali kepada negara terdekat, yaitu Singapura,” kata Marsekal (Purn) Chappy Hakim, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara, kepada Batam Pos, Kamis (15/3).
Kewenangan yang dimiliki Singapura itu disebut flight information region (FIR). Berdasarkan mandat dari pertemuan ICAO tahun 1946 itulah, seluruh pesawat-termasuk pesawat militer Indonesia yang ingin mendarat, lepas landas, atau sekadar melintas di atas Batam, Tanjungpinang, dan Natuna, wajib diinformasikan kepada Singapura dan harus mendapat izin Singapura. “Kalau ada yang nekat mereka bisa menembak, meski itu secara de facto adalah wilayah udara Indonesia,” kata Irwansyah.
Mandat ICAO tak hanya memberi Singapura kewenangan mengatur lalu lintas udara di dalam area FIR, lebih daripada itu, Singapura juga berhak memungut fee atau bayaran dari seluruh maskapai yang melintasi FIR, termasuk fee dari maskapai Malaysia yang melintas dari kota-kota Semenanjung Malaysia ke Malaysia Timur di Kalimantan dan sebaliknya. Tarifnya dalam dolar Amerika. ”Besarnya berbeda-beda, tergantung jenis pesawat dan kapasitasnya. Misalnya, tarif Boeing 737-400 dengan Airbus A330 itu berbeda,” kata Irwansyah. Di Hang Nadim saja, rata-rata terdapat 90 penerbangan dalam sehari. ”Kalau kita yang kontrol sendiri, bayangkan berapa besar hasilnya yang diterima,” Irwansyah menambahkan.
Memang, kata dia, fee itu sebagian diserahkan ke Indonesia melalui pemerintah pusat. ”Tapi kita enggak tahu jumlah pastinya. Siapa juga yang bisa memastikan jumlah yang diterima Singapura,” ujarnya.
Kementerian Perhubungan (Ministry of Transport/MOT) Singapura menolak memberi informasi terkait masalah ini. Saat Batam Pos mendatangi kantor MOT di lantai 33 PSA Building, Alexandra Road, Singapura, Rabu (14/3/2013), pihak MOT enggan melayani wawancara. Alasannya, mereka butuh waktu untuk menyiapkan kajian dan data-data yang lebih lengkap terkait masalah ini.
”Sebaiknya Anda membuat janji terlebih dulu,” ujar Mary Chin, salah satu pegawai Divisi Media Relation di MOT Singapura.
Mary menyarankan Batam Pos mengirim pertanyaan dan daftar informasi yang dibutuhkan melalui email. Namun hingga Sabtu (17/3/2013), email dari Batam Pos belum ditanggapi.
Sikap yang sama juga ditunjukkan pengelola Bandara Internasional Changi. Mereka menolak diwawancarai.
Di Bandara Changi itulah seluruh pengawasan dan pengaturan lalu lintas udara di area FIR dipusatkan. Pemandu yang bertugas di Changilah yang berhak mengeluarkan izin take off dan landing di Batam, Tanjungpinang, dan Natuna.
Untuk memperoleh izin keberangkatan dan pendaratan pesawat, pengelola Bandara Hang Nadim Batam mengajukan permohonan melalui approach centre unit (APP) di Tanjungpinang. APP Tanjungpinang kemudian meneruskan permohonan itu kepada area control centre (ACC) di Changi, Singapura. Apapun jawaban Singapura, baik “OK” maupun “tunggu sebentar”, disampaikan lagi melalui Tanjungpinang untuk diteruskan ke Hang Nadim.
“Kita seperti mengemis- ngemis kepada Singapura,” kata Irwansyah.
Serasa mengontrak di rumah sendiri. Itulah yang dirasakan para pilot dan co-pilot maskapai Indonesia yang kerap singgah di Hang Nadim. Sebab, kata Irwansyah, tak jarang jadwal penerbangan mereka harus tertunda beberapa menit karena izin Singapura belum turun. ”Delay itu bagi maskapai artinya biaya. Kan kasihan maskapai-maskapai kita,” ujarnya.
Yang paling menyakitkan, Irwansyah menuturkan, alasan yang sering dikemukakan Singapura untuk menunda pemberian izin landing dan take off kepada maskapai Indonesia di Hang Nadim, adalah angkatan udara mereka sedang melakukan latihan tempur di wilayah Indonesia yang masuk area FIR. ”Tidak mungkin tiap menit ada latihan militer. Itu bohongnya orang Singapura saja,” ucapnya.
Karena alasan sedang ada latihan militer itu pula, penerbangan dari Jakarta menuju Batam harus berbelok ke arah kanan dari rute normal saat berada di atas perairan Anambas, dengan tambahan waktu terbang antara 20-30 menit. ”Dengan tambahan waktu itu, berapa fuel consumption (persediaan bahan bakar) lagi yang harus disiapkan oleh maskapai kita. Lagi-lagi, itu kan biaya yang tak seharusnya mereka keluarkan,” papar Irwansyah.
Marsekal Chappy Hakim menjelaskan, di luar FIR, memang ada perjanjian militer antara Indonesia dengan Singapura yang membolehkan angkatan udara Negeri Singa menggunakan ruang udara Indonesia untuk berlatih. Asisten Atase Perhubungan Kedutaan Indonesia di Singapura, Hendri Ginting, mengatakan tidak semua kawasan di dalam FIR yang masuk dalam perjanjian militer itu. Arena latihan itu dikenal dengan istilah military training area (MTA), yang terbagi dalam dua zona, yaitu MTA 1 yang meliputi sebelah barat daya Singapura hingga wilayah Batam dan Tanjungpinang. Sedangkan MTA 2 membentang dari sisi timur Singapura hingga Kepulauan Natuna.
”Masalahnya, selain latihannya di wilayah kita, otoritas kendalinya juga ada di tangan mereka. Siapa yang bisa memastikan telah terjadi pelanggaran batas wilayah udara, wong yang kontrol mereka semua. Kita sudah terlalu lama mau saja digoblok-goblokin Singapura,” kata Chappy Hakim.
Karena itu, Chappy menegaskan, ruang udara Indonesia yang telah bertahun-tahun dikontrol Singapura, harus diambil alih Indonesia. ”Singapura itu negara kecil, kok malah dia yang ngatur kita,” ujarnya.
Aturan penyelenggaran wilayah udara dalam undang –undang.
PASAL 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009: “Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara NKRI, pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara”.
Kisah tahun 1991 itu diceritakan seorang penerbang TNI AU kepada Batam Pos, awal Maret 2012.
JENDERAL LB Moerdani “terapung-apung” di udara Natuna. Pesawat TNI Angkatan Udara yang mengangkut Menteri Pertahanan dan Keamanan itu belum bisa mendarat di Pangkalan Udara TNI AU di Ranai, Natuna. Di kokpit, sang pilot sedang beradu argumentasi dengan pemandu lalu lintas udara Singapura, yang memegang kendali penerbangan di wilayah udara Natuna.
”Siapa yang berada di dalam pesawat itu?” tanya pemandu udara Singapura.
”Kami membawa tamu VVIP,” jawab pilot TNI AU.
”Izin pendaratan belum bisa diberikan,” ujar pemandu Singapura.
”Kami harus mendarat sekarang,” pilot TNI AU bersikeras.
Setelah berdebat selama 15 menit, Jenderal Moerdani akhirnya bisa menginjakkan kakinya di bumi Natuna.
”Begitu mendarat, ia langsung perintahkan Indonesia harus mengambil alih kembali kontrol atas ruang udara kita yang selama ini dipegang Singapura. Beliau bilang masak kita terbang di wilayah sendiri diatur oleh negara lain,” katanya.
Mantan Kepala Staf TNI AU Marsekal (Purn) Chappy Hakim membenarkan LB Moerdani, yang wafat tanggal 29 Agustus 2004, adalah salah satu tokoh yang ikut mendorong agar Indonesia mengambil kembali ruang udara yang dikuasai Singapura. ”Tahun 1992 Pak Beny Moerdani sudah suruh kita ambil alih,” tutur Chappy.
Upaya merebut kembali kedaulatan udara Indonesia dari tangan Singapura sudah berlangsung sejak tahun 1993 melalui pertemuan Navigasi Udara Regional (Regional Air Navigation/RAN Meeting) yang diselenggarakan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) di Bangkok. Ahli hukum internasional Dr HK Martono mencatat, dalam pertemuan sepenting itu, pemerintah Indonesia hanya mengirim pejabat operasional. ”Sedangkan Singapura mengirim Jaksa Agung, Sekjen Kementerian Perhubungan, serta para penasihat hukum laut internasional,” kata Martono dalam makalahnya tentang UU Penerbangan tahun 2009.
Alhasil, Indonesia tidak memperoleh kemajuan apa-apa dalam pertemuan itu. Forum menyepakati agar Indonesia dan Singapura menyelesaikan masalah FIR ini secara bilateral. Apabila telah dicapai kesepakatan, akan disampaikan kepada RAN Meeting berikutnya. RAN Meeting ini berlangsung tiap sepuluh tahun sekali. Chappy Hakim menduga, keputusan RAN Meeting di Bangkok yang mengembalikan semuanya pada pembicaraan kedua negara, telah dikondisikan Singapura sebelum perundingan dimulai. ”Soal lobi-lobi mereka kan memang lebih licin dari kita,” katanya.
Kenapa Singapura begitu ngotot mempertahankan FIR? ”Duit,” kata Chappy. ”Ruang udara yang begitu luas adalah sumber ekonomi yang luar biasa. Di bawahnya ada Selat Melaka yang menjadi jalur lalu lintas laut tersibuk di dunia. Ini semua ada korelasinya,” paparnya.
Alasan lain, menurut Chappy, Singapura ingin memanfaatkan kawasan yang lebih luas lagi untuk area latihan angkatan udaranya. Sehingga tanpa disadari Indonesia, pesawat militer Singapura bisa leluasa masuk jauh ke dalam kawasan udara Indonesia tanpa dapat diawasi Indonesia. Jika situasi ini terus dibiarkan, kata dia, rawan memicu perang antara Indonesia dan Singapura. ”Karena ini sudah menyangkut batas wilayah. Ini masalah kedaulatan dan harga diri bangsa,” ujarnya. Chappy mengaku sudah menyuarakan pengambilalihan ruang udara ini sejak sepuluh tahun silam.
Kementerian Perhubungan (Ministry of Transport/MOT) Singapura menolak memberi jawaban saat dikonfirmasi Batam Pos, Rabu (14/3) di Singapura. Begitu pula Konsulat Jenderal Singapura di Batam. Mereka meminta Batam Pos mengirim pertanyaan melalui mesin faksimili. Sejak dikirim Selasa (13/3) lalu, belum ada jawaban hingga Sabtu (17/3) petang.
Setelah hasil yang mengecewakan di Bangkok pada Mei 1993, Indonesia terus berupaya melakukan perundingan dengan Singapura. Catatan yang dimiliki Direktorat Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan menunjukkan setidaknya terjadi empat kali pertemuan membahas FIR. Di antaranya pertemuan bilateral di Jakarta tahun 1994 dan tahun 1995 di Singapura. Ada juga pertemuan tahun 2009 di Bali yang dipimpin Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda.
”Terakhir pemerintah Singapura dan Indonesia melalui kementerian terkait dari masing-masing negara telah menggelar pembahasan di Bali pada Januari 2012 lalu,” kata Hendri Ginting, Asisten Atase Perhubungan Kedutaan Indonesia di Singapura, saat ditemui di Singapura, Rabu (14/3).
Menurut Dr Martono, yang pernah menjabat Kepala Bagian Hukum Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, dalam perundingan, Singapura selalu mempermasalahkan batas titik pangkal wilayah terluar Indonesia. Soal titik pangkal wilayah ini seperti jadi kartu as bagi Singapura untuk mempertahankan FIR.
”Sepanjang Indonesia belum menetapkan batas titik pangkal perairan kepulauannya, selama itu pula Indonesia kesulitan mengambilalih ruang udara,” kata Martono.
Namun menurut Hendri Ginting, dalam pertemuan Januari 2012 di Bali, telah dicapai kesepakatan bahwa FIR wilayah Batam dan Kepri yang saat ini dikuasai Singapura akan dikembalikan ke Indonesia. Acuannya Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Sesuai undang undang tersebut, pengembalian otoritas pengelolaan udara itu paling lambat 15 tahun sejak UU 1/2009 diberlakukan.
”Artinya pemerintah kita juga tidak mau wilayah kedaulatan udara Indonesia dikendalikan asing,” kata Hendri.
Kepala Keselamatan Penerbangan Bandara Hang Nadim, Irwansyah, mengatakan secara prinsip Indonesia siap mengatur sendiri ruang udara yang selama ini dipegang Singapura. ”Prosedur dan tata kerjanya mengacu pada standar internasional yang sama. Jadi tidak ada masalah kalau itu dikembalikan. Kita sudah siap,” ujarnya.
Secara fisik, kata dia, Hang Nadim punya status kelas 1 internasional utama yang memiliki landas pacu sepanjang 4.025 meter dengan lebar 45 meter. ”Artinya landas pacu bandara Hang Nadim terpanjang se-Asia Tenggara,” ungkapnya.
Bandara Changi Singapura hanya punya landas pacu sepanjang 3.600 meter, tapi punya dua landas pacu paralel. Terakhir, kata dia, Singapura akan memperpanjang landas pacu hingga 4.000 meter dengan lebar 60 meter.
Dari sisi SDM, menurut Irwansyah, sebanyak 10-11 personel Bandara Hang Nadim sudah mempunyai kualifikasi lisensi berstatus radar control approach. ”Artinya jika pemerintah menyiapkan fasilitas radar, kita mampu mendeteksi arus lalu lintas penerbangan di Kepri sampai jarak 200 nautical mile mengarah ke Natuna,” paparnya. Hanya saja, Hang Nadim belum dilengkapi fasilitas radar. Hang Nadim hanya punya radar untuk pendeteksi cuaca.
Chappy Hakim mengatakan, fee lalu lintas udara yang diterima dari Singapura selama ini bisa ditanamkan kembali untuk pembelian peralatan pengatur lalu lintas dan kendali ruang udara, serta penyiapan kompetensi petugasnya. Yang terpenting, kata dia, pengambilalihan ruang udara dari tangan Singapura ke Indonesia wajib hukumnya.
”Hongkong saja yang 100 tahun dikuasai Inggris dikembalikan kepada pemiliknya sahnya, China. Kenapa kita nggak bisa,” katanya. (bal/par/hda) (79)
Kesimpulan akhir dari paparan tersebut :
Alangkah “cantiknya“ bila program MEF baik 1,2,3 tersebut bisa mendorong untuk Kembali Indonesia bisa menguasai WiLayah udara seutuhnya hal ini ditandai dengan pembelian / penguatan Radar maritime / radai intai maupun radar Militer beserta Infrastruktur pendukungnya mampu menguasai dengan daya jangkau 500<Km , dengan bantuan tersebut ATC merasa terbantukan dan mendapat support dari pemeritah melalui TNI utnuk merebut kembali wilayah udara kita, sehingga “Sang Garuda” bisa mengembang lebih jauh di luar wilayahnya sendiri.
Mari Kita rebut kembali FIR dari Singapura Oleh Indonesia
Bukankah Pakar Radar kita sudah pernah menawarkan Program Radar integrasi, serta ahli anak bangsa indoensia sendiri untuk membangun kekuatan mandiri ?.
Ayo LIPI dengan radar INDRAnya, maupun PT LEN – mari ikut membangun bangsa ini agar terlepas dari “penguasaan” asing untuk wilayah udaranya.
Sudah saatnya idiom Indonesia adalah negeri Agraris (era orde baru) diganti menjadi Indonesia adalah Negara Maritim serta Jutaan persegi wilayah udara. Penguasaan Laut dan Udara perlu diperkuat serta didahulukan (by: bukan funboys).
KOMPAS
Mendengar nama tersebut, saya sebagai salah satu anak bangsa yang pernah besar dengan empat masa yaitu Orde baru, Reformasi, Indonesia bersatu dan saat ini Indonesia Hebat, miris rasanya dan hati serta padangan tertuju pada negara kecil, Singapura .
Keinginan Indonesia untuk merebut kembali wiayah “ruang udara” yang pernah hilang dalam masa 66 tahun lamanya, mulai bangkit. Hal ini terkait dengan dibentuknya Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia, yang baru diresmikan tahun lalu, yang harus segera melakukan konsolidasi organisasi. Organisasi yang kuat akan memungkinkan LPPNPI bisa mengambil alih Flight Information Region (FIR) yang saat ini dikuasai Singapura.
”Wilayah kontrol udara di Indonesia saat ini dikuasai oleh Singapura. Mereka bisa mendapatkan hak untuk mengatur lalu lintas udara karena peralatan mereka lebih modern dan menggunakan satelit. Kini sudah saatnya Indonesia mengambil alih kontrol udara di atas wilayah Indonesia,” kata Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim. Menurut Chappy, Indonesia mempunyai peluang untuk memegang kendali atas lalu lintas udara tidak hanya di atas Indonesia, tetapi juga untuk kawasan Asia Tenggara. ”Namun, hal itu baru bisa dicapai jika kemampuan dan fasilitas navigasi kita memungkinkan,” kata Chappy.
Direktur Keselamatan dan Standar LPPNPI Wisnu Darjono mengakui, saat ini peralatan radar masih menggunakan radar darat yang jangkauannya tak terlalu luas. ”Kami akan mengganti fasilitas yang lebih modern setelah pengambilalihan ini selesai,” kata Wisnu.
Risman Nurjadin, Ketua Persatuan Ahli Navigasi Penerbangan Indonesia, menambahkan, perlu dibuat rencana cadangan yang andal apabila ada gangguan pada sistem navigasi. ”Rencana ini penting untuk keselamatan,” kata Risman.
Indonesia, dengan negeri yang berlimpah ruah sumber daya baik alam maupun manusia, tentunya bisa meng-handle” serta mengkontrol wilayah udaranya sendiri tanpa melibatkan Negara lain. Semboyan Indonesia Bisa, tentu bisa dalam segala hal, tidak ada yang tidak bisa kita lakukan untuk negeri ini bila kita maju serta bekerja sama dalam membangun bangsa ini.
Indonesia memiliki 2 FIR (FIR Jakarta di Soetta dan FIR Ujungpandang di Sultan Hasannudin) dan ke-2 FIR itu juga mencakup beberapa wilayah negara tetangga (Australia di Christmas dan Cocos Island).
Ketika penerbangan ada penerbangan di airport Hang Nadim, Batam, maka harus menunggu approval clearance take-off selain dari ATC Batam, yakni ATC Singapura. Tetapi mungkin peraturan “sedikit” tidak berlaku bagi kru TNI-AU yang ada di Lanud Pekanbaru / Supadio Pontianak ketika akan ke Natuna. Radio akan di-silent ketika pesawat take off, dan baru akan dinyalakan bila sudah berada pada ketinggian.
Hal ini beda lagi dengan LATGAB yang digelar oleh TNI beberapa waktu lalu. Kita tetap melaporkan berapa jumlah pesawat dan berapa koordinat yang akan dipakai. Hal ini penting sebab menyangkut standard keselamatan penerbangan yang berada dalam naungan ICAO (Kantor pusat di Canada).
Namun untuk urusan Keamanan Wilayah Negara Indonesia, hal ini sangat dipertaruhkan karena bisa ditarik kesimpulan bahwa kekuatan wilayah udara Indonesia berapa persen bisa dilemahkan dari salah satu sisi.
Mengapa demikian ?. Contoh, bila kita melaksanakan suatu operasi penyerbuan udara, negara tetanga Singapura bisa mendeteksi awal ancaman tersebut / pre emtive strike karena radar serta fasilitas pendukungnya mampu “meraba” wilayah sedikit Indonesia.
Hal yang sama dilakukan oleh negeri selatan yang disebut Australia. Mereka mempunyai program radar yang bernama JINDALLE, dengan beroperasi X-band serta mampu menembus lapisan Ionosfer yang membuat radar sapuan bisa kurang lebih 4000 Km persegi.
Ketika kita berangkat naik pesawat dari Lanud Juanda, Surabaya, mereka bisa “meraba” arah pesawat tersebut mulai pesawat take-off.
Sementara itu, Direktur Geospasial Deputi Kepala Badan Intelijen Negara Marsekal Pertama TNI J Urip Utomo mengatakan pendelegasian pengaturan lalu lintas udara Batam, Provinsi Kepulauan Riau, kepada Singapura melemahkan aspek pertahanan.
“Secara teritorial, pendelegasian pengaturan lalu lintas udara Batam kepada Singapura memang tidak mengurangi luas NKRI. Namun, pendelegasian itu berdampak pada pelanggaran wilayah udara sehingga melemahkan aspek pertahanan,” kata Urip seusai acara Sosialisasi Batas Maritim dan Udara di Gedung Nasional Tanjung Balai Karimun.
Urip Utomo mengatakan Singapura berwenang penuh mengatur lalu lintas udara atau “air traffic services” (ATS) Batam karena Indonesia dinilai belum mampu untuk mengatur penerbangan internasional yang cukup padat di udara Kepulauan Riau.
“Singapura sudah mengatur ATS Batam sejak 1946 sehingga keselamatan penerbangan yang melintasi Batam sepenuhnya kewenangan Singapura. Namun, kalau terjadi ‘hijacking’ udara tetap kewenangan TNI AU karena memang wilayah kita,” ucapnya.
Pengaturan ATS Batam oleh Singapura, katanya, juga merujuk pada perjanjian pendelegasian “flight information region” (FIR) pada 1995 yang dievaluasi pada 2003 dan selanjutnya dievaluasi kembali pada 2013. Pendelegasian itu diatur melalui Keppres No 7/1996.
Selain melemahkan pertahanan, pengaturan ATS Batam oleh Singapura, menurut dia, juga berdampak secara ekonomis bagi Indonesia. Sebab “fee” penerbangan yang melintasi Batam ditarik Singapura, setelah itu baru diserahkan ke Indonesia.
“Kalau dampak ekonomis bukan kapasitas saya memaparkannya karena berada pada Kementerian Perhubungan, yang jelas ‘fee’ ditentukan Singapura,” ucapnya.
Terkait langkah-langkah untuk mengambil alih ATS Batam dari Singapura, menurut dia, tentunya harus melibatkan semua pihak. Baik itu menyangkut sarana infrastruktur maupun kesiapan peralatan pendukung keselamatan penerbangan.
“Kita harus introspeksi. Tadi sudah saya paparkan bahwa SDM kita sudah mampu, peralatan juga mampu. Ya, kita harus meninjau pada peralatan yang lain sehingga masyarakat Internasional menilai kita sudah mampu untuk mengelola itu,” tuturnya.
Mengenai larangan pembangunan gedung tinggi di Batam, menurut Urip, itu bukan masalah. Sebab, tidak hanya berlaku di Batam, di seluruh daerah yang berada dekat bandara juga hal itu berlaku karena terkait dengan keselamatan penerbangan.
“Larangan bangunan tinggi bukan bentuk intervensi Singapura, karena ketentuan itu juga berlaku di setiap daerah yang dekat dengan bandara, contohnya di Bandara Soekarno-Hatta. Sedangkan udara Batam merupakan jalur penerbangan Bandara Changi, Singapura,” katanya.
Sudah 66 tahun, setara dengan usia kemerdekaan Indonesia, ruang udara Indonesia di wilayah Kepri dikuasai dan dikendalikan Singapura. Pesawat-pesawat Indonesia, termasuk pesawar militer yang ingin berangkat, mendarat, atau hanya sekedar melintas di atas Batam, Tanjungpinang, dan Natuna harus mendapat izin Singapura terlebih dahulu. Upaya merebut kembali kedaulatan itu selalu gagal di meja perundingan.
Dari pengeras suara di langit-langit ruang kantor pengelola Bandar Udara Hang Nadim Batam, pengumuman itu terdengar nyaring. “ …Pesawat Lion Air tujuan Jakarta segera diberangkatkan.” Pada saat yang sama, Kamis siang pertengahan Februari 2012, di ruang tunggu A4, yang berjarak 50 meter dari kantor pengelola Bandara, puluhan calon penumpang merangsek masuk ke tubuh bongsor Boeing 737 ER 900 milik Lion Air.
Sepuluh menit berselang, pesawat berjalan pelan menuju landasan pacu, siap lepas landas. Kendati berangkat dari Batam menuju Jakarta, yang sama-sama berada di wilayah Indonesia, tetapi pesawat Lion Air baru boleh bergerak dari apron ke landasan pacu Hang Nadim dan kemudian mengangkasa, setelah ada restu dari otoritas penerbangan Singapura.
“Di sini, semua pesawat yang ingin take off atau landing harus mendapat izin dari Singapura. Kalau dari sana belum kasih persetujuan belum boleh berangkat,” kata Hendro Harijono, Kepala Kantor Pengelola Hang Nadim.
Sejak 66 tahun lalu, setahun setelah bangsa ini merdeka, ruang udara Indonesia di wilayah Kepulauan Riau (mencakup Batam, Tanjungpinang, dan Natuna) berada di bawah kendali Singapura. ”Luas penguasaan Singapura atas wilayah udara kita mencapai 100 nautical mile,” kata Kepala Keselamatan Penerbangan Bandara Hang Nadim, Irwansyah.
Satu nautical mile setara 1,825 kilometer. ”Artinya, luas kekuasaan Singapura di atas negara kita sekitar 200 kilometer dari garis batas kedua negara. Itu sudah nyaris masuk ke wilayah Pangkal Pinang (Bangka) dan Palembang. Sangat luas,” kata Irwansyah.
Adalah pertemuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional atau ICAO di Dublin, Irlandia, Maret 1946, yang memberi kekuasaan kepada Singapura untuk mengontrol lalu lintas di angkasa Indonesia, khususnya wilayah Kepri. ”Saat itu delegasi kita tidak hadir. Mungkin karena situasinya kita baru merdeka. Sehingga peserta pertemuan menyerahkan kendali kepada negara terdekat, yaitu Singapura,” kata Marsekal (Purn) Chappy Hakim, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara, kepada Batam Pos, Kamis (15/3).
Kewenangan yang dimiliki Singapura itu disebut flight information region (FIR). Berdasarkan mandat dari pertemuan ICAO tahun 1946 itulah, seluruh pesawat-termasuk pesawat militer Indonesia yang ingin mendarat, lepas landas, atau sekadar melintas di atas Batam, Tanjungpinang, dan Natuna, wajib diinformasikan kepada Singapura dan harus mendapat izin Singapura. “Kalau ada yang nekat mereka bisa menembak, meski itu secara de facto adalah wilayah udara Indonesia,” kata Irwansyah.
Mandat ICAO tak hanya memberi Singapura kewenangan mengatur lalu lintas udara di dalam area FIR, lebih daripada itu, Singapura juga berhak memungut fee atau bayaran dari seluruh maskapai yang melintasi FIR, termasuk fee dari maskapai Malaysia yang melintas dari kota-kota Semenanjung Malaysia ke Malaysia Timur di Kalimantan dan sebaliknya. Tarifnya dalam dolar Amerika. ”Besarnya berbeda-beda, tergantung jenis pesawat dan kapasitasnya. Misalnya, tarif Boeing 737-400 dengan Airbus A330 itu berbeda,” kata Irwansyah. Di Hang Nadim saja, rata-rata terdapat 90 penerbangan dalam sehari. ”Kalau kita yang kontrol sendiri, bayangkan berapa besar hasilnya yang diterima,” Irwansyah menambahkan.
Memang, kata dia, fee itu sebagian diserahkan ke Indonesia melalui pemerintah pusat. ”Tapi kita enggak tahu jumlah pastinya. Siapa juga yang bisa memastikan jumlah yang diterima Singapura,” ujarnya.
Kementerian Perhubungan (Ministry of Transport/MOT) Singapura menolak memberi informasi terkait masalah ini. Saat Batam Pos mendatangi kantor MOT di lantai 33 PSA Building, Alexandra Road, Singapura, Rabu (14/3/2013), pihak MOT enggan melayani wawancara. Alasannya, mereka butuh waktu untuk menyiapkan kajian dan data-data yang lebih lengkap terkait masalah ini.
”Sebaiknya Anda membuat janji terlebih dulu,” ujar Mary Chin, salah satu pegawai Divisi Media Relation di MOT Singapura.
Mary menyarankan Batam Pos mengirim pertanyaan dan daftar informasi yang dibutuhkan melalui email. Namun hingga Sabtu (17/3/2013), email dari Batam Pos belum ditanggapi.
Sikap yang sama juga ditunjukkan pengelola Bandara Internasional Changi. Mereka menolak diwawancarai.
Di Bandara Changi itulah seluruh pengawasan dan pengaturan lalu lintas udara di area FIR dipusatkan. Pemandu yang bertugas di Changilah yang berhak mengeluarkan izin take off dan landing di Batam, Tanjungpinang, dan Natuna.
Untuk memperoleh izin keberangkatan dan pendaratan pesawat, pengelola Bandara Hang Nadim Batam mengajukan permohonan melalui approach centre unit (APP) di Tanjungpinang. APP Tanjungpinang kemudian meneruskan permohonan itu kepada area control centre (ACC) di Changi, Singapura. Apapun jawaban Singapura, baik “OK” maupun “tunggu sebentar”, disampaikan lagi melalui Tanjungpinang untuk diteruskan ke Hang Nadim.
“Kita seperti mengemis- ngemis kepada Singapura,” kata Irwansyah.
Serasa mengontrak di rumah sendiri. Itulah yang dirasakan para pilot dan co-pilot maskapai Indonesia yang kerap singgah di Hang Nadim. Sebab, kata Irwansyah, tak jarang jadwal penerbangan mereka harus tertunda beberapa menit karena izin Singapura belum turun. ”Delay itu bagi maskapai artinya biaya. Kan kasihan maskapai-maskapai kita,” ujarnya.
Yang paling menyakitkan, Irwansyah menuturkan, alasan yang sering dikemukakan Singapura untuk menunda pemberian izin landing dan take off kepada maskapai Indonesia di Hang Nadim, adalah angkatan udara mereka sedang melakukan latihan tempur di wilayah Indonesia yang masuk area FIR. ”Tidak mungkin tiap menit ada latihan militer. Itu bohongnya orang Singapura saja,” ucapnya.
Karena alasan sedang ada latihan militer itu pula, penerbangan dari Jakarta menuju Batam harus berbelok ke arah kanan dari rute normal saat berada di atas perairan Anambas, dengan tambahan waktu terbang antara 20-30 menit. ”Dengan tambahan waktu itu, berapa fuel consumption (persediaan bahan bakar) lagi yang harus disiapkan oleh maskapai kita. Lagi-lagi, itu kan biaya yang tak seharusnya mereka keluarkan,” papar Irwansyah.
Marsekal Chappy Hakim menjelaskan, di luar FIR, memang ada perjanjian militer antara Indonesia dengan Singapura yang membolehkan angkatan udara Negeri Singa menggunakan ruang udara Indonesia untuk berlatih. Asisten Atase Perhubungan Kedutaan Indonesia di Singapura, Hendri Ginting, mengatakan tidak semua kawasan di dalam FIR yang masuk dalam perjanjian militer itu. Arena latihan itu dikenal dengan istilah military training area (MTA), yang terbagi dalam dua zona, yaitu MTA 1 yang meliputi sebelah barat daya Singapura hingga wilayah Batam dan Tanjungpinang. Sedangkan MTA 2 membentang dari sisi timur Singapura hingga Kepulauan Natuna.
”Masalahnya, selain latihannya di wilayah kita, otoritas kendalinya juga ada di tangan mereka. Siapa yang bisa memastikan telah terjadi pelanggaran batas wilayah udara, wong yang kontrol mereka semua. Kita sudah terlalu lama mau saja digoblok-goblokin Singapura,” kata Chappy Hakim.
Karena itu, Chappy menegaskan, ruang udara Indonesia yang telah bertahun-tahun dikontrol Singapura, harus diambil alih Indonesia. ”Singapura itu negara kecil, kok malah dia yang ngatur kita,” ujarnya.
Aturan penyelenggaran wilayah udara dalam undang –undang.
PASAL 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009: “Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara NKRI, pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara”.
Kisah tahun 1991 itu diceritakan seorang penerbang TNI AU kepada Batam Pos, awal Maret 2012.
JENDERAL LB Moerdani “terapung-apung” di udara Natuna. Pesawat TNI Angkatan Udara yang mengangkut Menteri Pertahanan dan Keamanan itu belum bisa mendarat di Pangkalan Udara TNI AU di Ranai, Natuna. Di kokpit, sang pilot sedang beradu argumentasi dengan pemandu lalu lintas udara Singapura, yang memegang kendali penerbangan di wilayah udara Natuna.
”Siapa yang berada di dalam pesawat itu?” tanya pemandu udara Singapura.
”Kami membawa tamu VVIP,” jawab pilot TNI AU.
”Izin pendaratan belum bisa diberikan,” ujar pemandu Singapura.
”Kami harus mendarat sekarang,” pilot TNI AU bersikeras.
Setelah berdebat selama 15 menit, Jenderal Moerdani akhirnya bisa menginjakkan kakinya di bumi Natuna.
”Begitu mendarat, ia langsung perintahkan Indonesia harus mengambil alih kembali kontrol atas ruang udara kita yang selama ini dipegang Singapura. Beliau bilang masak kita terbang di wilayah sendiri diatur oleh negara lain,” katanya.
Mantan Kepala Staf TNI AU Marsekal (Purn) Chappy Hakim membenarkan LB Moerdani, yang wafat tanggal 29 Agustus 2004, adalah salah satu tokoh yang ikut mendorong agar Indonesia mengambil kembali ruang udara yang dikuasai Singapura. ”Tahun 1992 Pak Beny Moerdani sudah suruh kita ambil alih,” tutur Chappy.
Upaya merebut kembali kedaulatan udara Indonesia dari tangan Singapura sudah berlangsung sejak tahun 1993 melalui pertemuan Navigasi Udara Regional (Regional Air Navigation/RAN Meeting) yang diselenggarakan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) di Bangkok. Ahli hukum internasional Dr HK Martono mencatat, dalam pertemuan sepenting itu, pemerintah Indonesia hanya mengirim pejabat operasional. ”Sedangkan Singapura mengirim Jaksa Agung, Sekjen Kementerian Perhubungan, serta para penasihat hukum laut internasional,” kata Martono dalam makalahnya tentang UU Penerbangan tahun 2009.
Alhasil, Indonesia tidak memperoleh kemajuan apa-apa dalam pertemuan itu. Forum menyepakati agar Indonesia dan Singapura menyelesaikan masalah FIR ini secara bilateral. Apabila telah dicapai kesepakatan, akan disampaikan kepada RAN Meeting berikutnya. RAN Meeting ini berlangsung tiap sepuluh tahun sekali. Chappy Hakim menduga, keputusan RAN Meeting di Bangkok yang mengembalikan semuanya pada pembicaraan kedua negara, telah dikondisikan Singapura sebelum perundingan dimulai. ”Soal lobi-lobi mereka kan memang lebih licin dari kita,” katanya.
Kenapa Singapura begitu ngotot mempertahankan FIR? ”Duit,” kata Chappy. ”Ruang udara yang begitu luas adalah sumber ekonomi yang luar biasa. Di bawahnya ada Selat Melaka yang menjadi jalur lalu lintas laut tersibuk di dunia. Ini semua ada korelasinya,” paparnya.
Alasan lain, menurut Chappy, Singapura ingin memanfaatkan kawasan yang lebih luas lagi untuk area latihan angkatan udaranya. Sehingga tanpa disadari Indonesia, pesawat militer Singapura bisa leluasa masuk jauh ke dalam kawasan udara Indonesia tanpa dapat diawasi Indonesia. Jika situasi ini terus dibiarkan, kata dia, rawan memicu perang antara Indonesia dan Singapura. ”Karena ini sudah menyangkut batas wilayah. Ini masalah kedaulatan dan harga diri bangsa,” ujarnya. Chappy mengaku sudah menyuarakan pengambilalihan ruang udara ini sejak sepuluh tahun silam.
Kementerian Perhubungan (Ministry of Transport/MOT) Singapura menolak memberi jawaban saat dikonfirmasi Batam Pos, Rabu (14/3) di Singapura. Begitu pula Konsulat Jenderal Singapura di Batam. Mereka meminta Batam Pos mengirim pertanyaan melalui mesin faksimili. Sejak dikirim Selasa (13/3) lalu, belum ada jawaban hingga Sabtu (17/3) petang.
Setelah hasil yang mengecewakan di Bangkok pada Mei 1993, Indonesia terus berupaya melakukan perundingan dengan Singapura. Catatan yang dimiliki Direktorat Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan menunjukkan setidaknya terjadi empat kali pertemuan membahas FIR. Di antaranya pertemuan bilateral di Jakarta tahun 1994 dan tahun 1995 di Singapura. Ada juga pertemuan tahun 2009 di Bali yang dipimpin Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda.
”Terakhir pemerintah Singapura dan Indonesia melalui kementerian terkait dari masing-masing negara telah menggelar pembahasan di Bali pada Januari 2012 lalu,” kata Hendri Ginting, Asisten Atase Perhubungan Kedutaan Indonesia di Singapura, saat ditemui di Singapura, Rabu (14/3).
Menurut Dr Martono, yang pernah menjabat Kepala Bagian Hukum Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, dalam perundingan, Singapura selalu mempermasalahkan batas titik pangkal wilayah terluar Indonesia. Soal titik pangkal wilayah ini seperti jadi kartu as bagi Singapura untuk mempertahankan FIR.
”Sepanjang Indonesia belum menetapkan batas titik pangkal perairan kepulauannya, selama itu pula Indonesia kesulitan mengambilalih ruang udara,” kata Martono.
Namun menurut Hendri Ginting, dalam pertemuan Januari 2012 di Bali, telah dicapai kesepakatan bahwa FIR wilayah Batam dan Kepri yang saat ini dikuasai Singapura akan dikembalikan ke Indonesia. Acuannya Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Sesuai undang undang tersebut, pengembalian otoritas pengelolaan udara itu paling lambat 15 tahun sejak UU 1/2009 diberlakukan.
”Artinya pemerintah kita juga tidak mau wilayah kedaulatan udara Indonesia dikendalikan asing,” kata Hendri.
Kepala Keselamatan Penerbangan Bandara Hang Nadim, Irwansyah, mengatakan secara prinsip Indonesia siap mengatur sendiri ruang udara yang selama ini dipegang Singapura. ”Prosedur dan tata kerjanya mengacu pada standar internasional yang sama. Jadi tidak ada masalah kalau itu dikembalikan. Kita sudah siap,” ujarnya.
Secara fisik, kata dia, Hang Nadim punya status kelas 1 internasional utama yang memiliki landas pacu sepanjang 4.025 meter dengan lebar 45 meter. ”Artinya landas pacu bandara Hang Nadim terpanjang se-Asia Tenggara,” ungkapnya.
Bandara Changi Singapura hanya punya landas pacu sepanjang 3.600 meter, tapi punya dua landas pacu paralel. Terakhir, kata dia, Singapura akan memperpanjang landas pacu hingga 4.000 meter dengan lebar 60 meter.
Dari sisi SDM, menurut Irwansyah, sebanyak 10-11 personel Bandara Hang Nadim sudah mempunyai kualifikasi lisensi berstatus radar control approach. ”Artinya jika pemerintah menyiapkan fasilitas radar, kita mampu mendeteksi arus lalu lintas penerbangan di Kepri sampai jarak 200 nautical mile mengarah ke Natuna,” paparnya. Hanya saja, Hang Nadim belum dilengkapi fasilitas radar. Hang Nadim hanya punya radar untuk pendeteksi cuaca.
Chappy Hakim mengatakan, fee lalu lintas udara yang diterima dari Singapura selama ini bisa ditanamkan kembali untuk pembelian peralatan pengatur lalu lintas dan kendali ruang udara, serta penyiapan kompetensi petugasnya. Yang terpenting, kata dia, pengambilalihan ruang udara dari tangan Singapura ke Indonesia wajib hukumnya.
”Hongkong saja yang 100 tahun dikuasai Inggris dikembalikan kepada pemiliknya sahnya, China. Kenapa kita nggak bisa,” katanya. (bal/par/hda) (79)
Kesimpulan akhir dari paparan tersebut :
Alangkah “cantiknya“ bila program MEF baik 1,2,3 tersebut bisa mendorong untuk Kembali Indonesia bisa menguasai WiLayah udara seutuhnya hal ini ditandai dengan pembelian / penguatan Radar maritime / radai intai maupun radar Militer beserta Infrastruktur pendukungnya mampu menguasai dengan daya jangkau 500<Km , dengan bantuan tersebut ATC merasa terbantukan dan mendapat support dari pemeritah melalui TNI utnuk merebut kembali wilayah udara kita, sehingga “Sang Garuda” bisa mengembang lebih jauh di luar wilayahnya sendiri.
Mari Kita rebut kembali FIR dari Singapura Oleh Indonesia
Bukankah Pakar Radar kita sudah pernah menawarkan Program Radar integrasi, serta ahli anak bangsa indoensia sendiri untuk membangun kekuatan mandiri ?.
Ayo LIPI dengan radar INDRAnya, maupun PT LEN – mari ikut membangun bangsa ini agar terlepas dari “penguasaan” asing untuk wilayah udaranya.
Sudah saatnya idiom Indonesia adalah negeri Agraris (era orde baru) diganti menjadi Indonesia adalah Negara Maritim serta Jutaan persegi wilayah udara. Penguasaan Laut dan Udara perlu diperkuat serta didahulukan (by: bukan funboys).
KOMPAS