Operasi Sandi Yudha. ©2013 Merdeka.com/repro buku Operasi Sandi Yudha |
Merdeka.com - Setelah Presiden Soekarno lengser, tak ada lagi operasi Dwikora mengganyang Malaysia. Pemerintahan Presiden Soeharto menjalin persahabatan dengan Malaysia dan menumpas gerombolan Pasukan Gerilya Rakyat Serawah (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku).
Padahal di masa Soekarno, PGRS didukung penuh oleh pemerintah dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Gerilyawan PGRS dilatih ABRI dan mereka sama-sama bertempur melawan Malaysia dan Inggris.
Dalam operasi gabungan Indonesia dan Malaysia menumpas PGRS/Paraku, banyak kejadian menarik. Salah satunya saat tentara Indonesia terkagum-kagum melihat fasilitas Tentara Diraja Malaysia.
Hal itu ditulis Hendropriyono dalam buku berjudul Operasi Sandi Yudha, Menumpas Gerakan Klandestin. yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas.
Ceritanya saat itu Letnan Dua AM Hendropriyono bergabung dengan Detasemen Tempur 13 Pasukan Khusus Angkatan Darat. Mereka bersama pasukan Malaysia melakukan pengejaran pada gerilyawan.
Namanya pasukan elite, pergerakan pasukan baret merah ini pun berbeda dengan pasukan reguler. Karena itu mereka sering tak sempat memasak. Bahkan prajurit lebih sering makan beras mentah. Jika sempat memasak, lauknya pun hanya ikan asin.
Sementara itu makanan tentara Malaysia saat itu sudah wah. Kornet daging sapi, ikan sardin dan makanan kaleng lain.
Saat istirahat, pasukan khusus Indonesia hanya membuat bivak dari jas hujan. Untuk alasnya hanya plastik dan berbantalkan ransel.
"Kami merasa heran melihat Askar Melayu Diraja Malaysia yang setiap beristirahat memasang tenda loreng yang indah, dilengkapi dengan kantin dan tenda kesehatan. Mereka juga berbaring di atas tempat tidur lapangan (field beld)," kata Hendro.
Di kesempatan lain, Hendro berbincang soal gaji dengan tentara Malaysia. Untuk pangkat Letnan Dua, gaji tentara Malaysia sekitar 650 ringgit. Di tahun 1972 itu setara dengan Rp 62.400. Sementara letnan dua TNI cuma Rp 3.120.
"Artinya gaji prajurit Malaysia 20 kali lipat gaji prajurit TNI dalam pangkat yang sama," kenang Hendro.
Lalu apa TNI jadi minder?
"Tidak sama sekali! Prajurit TNI sudah kenyang dibina dengan doktrin kejuangan untuk rela hidup seperti generasi terdahulu di zaman revolusi," kata Hendro tegas.
Tapi ada saja sedikit rasa iri pada prajurit TNI. Mereka pun mencoba menghibur diri sendiri.
"Kalau mereka kan diwarisi budaya tentara Inggris yang profesional," kata Pratu Jeje, anggota saya yang rajin mengaji, tanpa ia mengerti apa artinya profesional. Ketika saya tanya apa maksudnya profesional dengan pandir dijawabnya, "Bayaran, Letnan. Sersan Pangat menyambut, entah diarahkan kepada siapa. "Kalau kita kan tentara pejuang yang mengabdi dengan sukarela, ya?" beber Hendro. (Hal 91).
"Begitulah diskusi 'kampungan' kami untuk mengusir rasa iri hati yang tidak pada tempatnya."