Indonesia adalah Sintesis Dunia


Oleh. Mukti Ali Qusyairi, ketua LBM PWNU DKI Jakarta

Dunia sedang tidak baik-baik saja. Perang Rusia dan Ukraina pecah dan semoga tidak berkembang ke arah PD III--meski potensi itu ada sebab NATO membantu sanjata dan alat-alat perang ke Ukraina membikin Rusia meradang. Indonesia bersikap elegan, yaitu: 1. Menyerukan perdamaian, 2. Bantuan senjata NO dan bantuan kemanusiaan OK, 3. Indonesia akan mengundang semua kepala negara G20 di Bali, tak terkecuali kepala negara Rusia Vladimir Putin maupun kepala negara Ukraina Volodymayr Zelenskyy.
Sebagai negara Non-Blok dan politik bebas aktif, Indonesia tidak terbawa arus konflik dan perang blok Barat dan blok Timur. Indonesia mesra dengan negara-negara Barat NATO pimpinan Amerika, dan mesra dengan Blok Timur Rusia dkk. Yang berkonflik harus menghormati prinsip non-blok Indonesia, dengan tidak mengajak dan menyeretnya ke dalam peperangan dan konflik Barat dan Timur. Biarkan sebagai kekuatan sintesa dan penyeimbang (tawazun). 

Dalam obrolan, canda dan kelakar, orang-orang Cirebon kadang kreatif memplesetan Amerika dengan sebutan "MamaRika" (Bapakmu). Waduh, mbatin saya, bukannya Amerika itu bersetatus "Paman" ya, kok naik ke "Bapak"? Paman Sam, maksudnya. Teman-temanku ketawa ketiwi, sambil mikir lagi dengan logika cocokologinya sembari meluruskan bahwa MamaRika itu maksudnya "Bapaknya Rika", Rika dalam arti "nama orang", bukan Rika dalam arti "Kamu". Gergeran pun pecah, meski tanpa kopi, maklum sedang puasa. 

Bahkan saya pun pernah mendapatkan logika cocokologi yang lebih ekstrim lagi. Ada seorang teman yang lumayan bagus lah pengetahuan bahasa Arabnya. Di saat saya ajak ngobrol tentang Amerika lanange jagat, yang mengklaim sebagai polisie wong sak dunya, terus menggelinjang dan tiada henti bergerak ke Irak, Suriyah, Libiya, Afghanistan, dan saat ini bersama sekutunya membantu senjata dan peralatan perang ke Ukraina perang dengan Rusia. Nah, temanku itu dengan cocokologinya yang kelewat ekstrim bilang, "kata 'Amerika' itu kan dari bahasa Arab 'Amiruka' yang artinya 'Pemimpinmu'. Jadi sesuai namanya, Amiruka, pemimpinmu". Ada-ada saja bisa cocokologi begitu, kok endilalahe ada kesesuaian dengan realitas. Nemu aja ente, kataku. Ada benarnya juga sih, kan Amerika pemimpin negara-negara sekutu NATO!

Atau maksudnya temanku itu, Amerika dari Amiruka itu adalah satire bahwa selama ini Amerika dengan kehebatan militer, ekonomi, teknologi, dan politiknya, selalu ingin memimpin, mengatur, dan menata. Tapi tidak suka dipimpin, tidak suka atau tidak mau diatur? Wong amir kok, pemimpin kok diatur-atur! Misalkan bikin aturan HAM, berlaku pada negara-negara lain tapi tidak berlaku untuk dirinya. Karena mau mengatur negara-negara lain dengan aturan yang kadang dilanggar sendiri. Entahlah, itu pun tafsiranku saja atas maksud temanku itu. Namanya juga tafsir kan hasil ijtihad, kadang benar dan kadang salah. Dimaklumi saja. Eh, temanku yang satu nyolot, "wah bener itu, sesuai kenyataan!" Saya jawab, "wong itu juga sy ijtihad cocokologi kok!"

Padahal, nama Amerika diciptakan oleh Martin Waldseemuler yang diambil dari nama seorang penjelajah Italia bernama Amerigo Vespucci (1454-1512). Lantaran dalam surat-surat Amerigo, Waldseemuler dapat menggambar peta negara yang saat ini dikenal dengan nama Amerika. Kalau yang ini beneran, bukan hasil cocokologi.

Begitu juga akhir-akhir ini, ada nalar cocokologi muncul tentang Rusia yang konon sebagai kekuatan Bangsa Rum yang dulu penguasa Bizantum yang pernah berperang dan mengalahkan Persia. Cocokologi ini disampaikan Syekh Imran Husein. Bahkan ada yang menyebut Vladimire Al-Futin. Putin disebut Al-Futin. Waduh segitunya, gumamku.

Apa yang saya paparkan tersebut adalah gambaran dari keterbelahan pendapat di tengah masyarakat. Ada yang cenderung suport ke AS dan sekutu NATO dan ada yang cenderung suport ke Rusia dan sekutunya. Perbedaan sudah biasa dan bagian dari keragaman. Akan tetap ini sama sekali tidak mewakili cara pandang dan posisi Indonesia. Sebab, sekali lagi, Indonesia adalah negara non-blok yang mesra dengan semua blok dan semua negara-negara dan masyarakat dunia.

Dalam perspektif filsafat Dialektika Hegel, Barat (AS dan sekutu NATO) dan Timur (Rusia dan sekutunya) adalah tesa dan anti-tesa yang akan terus berdialektika, gesekan, saingan, bahkan konflik dan perang, dan tak ada ujung. Sebab tesis dan anti-tesis adalah pengiyaan dan pengingkaran, atau kekuatan negasi dan afirmasi, yang senantiasa kontradiksi. Sedangkan Indonesia adalah sintesis yang merangkul tesis dan anti-tesis. Kekuatan sintesis merupakan kekuatan yang dapat mengkompromikan dan mendamaikan kedua kekuatan tesis dan anti-tesis. 

Diharapkan Indonesia--dan negara-negara Non-Blok lain--dapat berperan menjadi juru runding dan juru damai kepada mereka yang sedang berkonflik dan berperang. Sebab tidak terlibat dan bukan bagian dari golongan yang berkonflik. 

Boleh dibilang, adalah mustahil mengharapkan kepada negara-negara yang berkonflik untuk menjadi juru damai. Alih-alih diharapkan mendamaikan, malahan ambil bagian dalam konflik dan memprovokasi agar perang semakin lama dan awet. Hanya bisa menjadi bensin atau minyak yang menambah api perang semakin membara.

Hanya negara-negara non-blok dan tentu saja bersama PBB yang dapat diharapkan sebagai air penyejuk suasana, meredam perang, penengah, dan layak untuk menyuarakan perdamaian. 

Pada saat yang sama, Indonesia sebagai negara non-blok adalah tantangan bagi pemerintah dan para diplomat untuk menyusun sikap-sikap yang elegan, syantik, dan tetap istiqamah berada di tengah.[]

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait