Warga Militerys, lupakan jika kita mengira ancaman perang masa depan adalah perang nuklir. Lupakan juga jika mengira konfik Laut Cina Selatan atau pun kesiapan alutsista kita adalah yang terpenting. Saat ini, silent war sudah berjalan dan berlangsung. Di Indonesia, Timor Leste, Rusia dan bahkan dibanyak negara. Inilah perang dashyat yang tengah terjadi, perang asimetris.
Kepopuleran serta kefavoritan perang konvensional yang mengerahkan militer secara terbuka, pasca berakhirnya Perang Dunia II (1939-1945) akhirnya meredup, terutama semenjak Perang Dingin (Cold War) usai ditandai dengan jatuhnya Uni Soviet. Muncul beberapa model perang baru sebagai reaksi atas dinamika politik sebelumnya, antara lain proxy war (perang boneka, atau perang perwalian) misalnya (seperti yang saat ini terjadi di Yaman dan Suriah), atau hybrid war (perang kombinasi), asymmetric warfare (perang asimetris), currency wars (perang mata uang) (seperti yang saat ini dilakukan Eropa dan Amerika terhadap Rusia, atau kelompok kapitalis internasional saat memaksa Soeharto meneraapkan demokrasi pada tahun 1998) dan lain-lain.
Asymmetric warfare dimana arti dalam bahasa Indonesianya ialah peperangan asimetris, atau juga disebut perang non militer, atau smart power,ataupun kerap dinamai perang nirmiliter. Perang asimetris adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, dan di luar aturan peperangan yang berlaku, dengan spektrum perang yang sangat luas dan mencakup aspek-aspek astagatra (perpaduan antara trigatra: geografi, demografi, dan sumber daya alam/SDA; dan pancagatra: ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Perang asimetri selalu melibatkan peperangan antara dua aktor atau lebih, dengan ciri menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang.
Kepopuleran serta kefavoritan perang konvensional yang mengerahkan militer secara terbuka, pasca berakhirnya Perang Dunia II (1939-1945) akhirnya meredup, terutama semenjak Perang Dingin (Cold War) usai ditandai dengan jatuhnya Uni Soviet. Muncul beberapa model perang baru sebagai reaksi atas dinamika politik sebelumnya, antara lain proxy war (perang boneka, atau perang perwalian) misalnya (seperti yang saat ini terjadi di Yaman dan Suriah), atau hybrid war (perang kombinasi), asymmetric warfare (perang asimetris), currency wars (perang mata uang) (seperti yang saat ini dilakukan Eropa dan Amerika terhadap Rusia, atau kelompok kapitalis internasional saat memaksa Soeharto meneraapkan demokrasi pada tahun 1998) dan lain-lain.
Asymmetric warfare dimana arti dalam bahasa Indonesianya ialah peperangan asimetris, atau juga disebut perang non militer, atau smart power,ataupun kerap dinamai perang nirmiliter. Perang asimetris adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, dan di luar aturan peperangan yang berlaku, dengan spektrum perang yang sangat luas dan mencakup aspek-aspek astagatra (perpaduan antara trigatra: geografi, demografi, dan sumber daya alam/SDA; dan pancagatra: ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Perang asimetri selalu melibatkan peperangan antara dua aktor atau lebih, dengan ciri menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang.
![]() |
Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryaccudu |
Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryaccudu memaknai asymmetric warfare sebagai perang non militer atau dalam bahasa populernya dinamai smart power, atau perang non konvensional merupakan perang murah meriah, tetapi memiliki daya hancur lebih dahsyat daripada bom atom. “Asymmetric warfare merupakan perang murah meriah tapi kehancurannya lebih dahsyat dari bom atom. Jika Jakarta di bom atom, daerah-daerah lain tidak terkena tetapi bila dihancurkan menggunakan asymmetric warfare maka seperti penghancuran sistem di negara ini, hancur berpuluh-puluh tahun dan menyeluruh,” ujar Ryamizard (29/1/2015).
Efek Perang Asimetris
Perang asimetris merupakan metode peperangan gaya baru secara nirmiliter (non militer) namun daya hancurnya tidak kalah bahkan dampaknya lebih dahsyat daripada perang militer. Ia memiliki medan atau lapangan tempur luas meliputi segala aspek kehidupan (astagatra). Sasaran perang non militer tak hanya satu aspek tetapi juga beragam aspek, dapat dilakukan bersamaan, atau secara simultan dengan intensitas berbeda. Kelaziman sasaran pada perang asimetris ini ada tiga: (1) belokkan sistem sebuah negara sesuai kepentingan kolonialisme, (2) lemahkan ideologi serta ubah pola pikir rakyatnya, dan (3) hancurkan ketahanan pangan dan energy security [jaminan pasokan energinya], selanjutnya ciptakan ketergantungan negara target atas kedua hal tersebut [food and energy security].
Efek Perang Asimetris
Perang asimetris merupakan metode peperangan gaya baru secara nirmiliter (non militer) namun daya hancurnya tidak kalah bahkan dampaknya lebih dahsyat daripada perang militer. Ia memiliki medan atau lapangan tempur luas meliputi segala aspek kehidupan (astagatra). Sasaran perang non militer tak hanya satu aspek tetapi juga beragam aspek, dapat dilakukan bersamaan, atau secara simultan dengan intensitas berbeda. Kelaziman sasaran pada perang asimetris ini ada tiga: (1) belokkan sistem sebuah negara sesuai kepentingan kolonialisme, (2) lemahkan ideologi serta ubah pola pikir rakyatnya, dan (3) hancurkan ketahanan pangan dan energy security [jaminan pasokan energinya], selanjutnya ciptakan ketergantungan negara target atas kedua hal tersebut [food and energy security].
![]() |
Henry Kissinger |
Sedangkan muara ketiga sasaran tadi senantiasa berujung pada kontrol terhadap ekonomi dan penguasaan SDA sebuah negara, sebagaimana doktrin yang ditebar oleh Henry Kissinger di panggung politik global: “Control oil and you control nations, control food and you control the people.” (Kontrol minyak maka anda mengendalikan negara, kendalikan pangan maka anda menguasai rakyat).
Betapa efek perang ini sungguh dahsyat karena berdampak selain kelumpuhan menyeluruh bagi negara bangsa, juga membutuhkan biaya tinggi dan perlu waktu yang relatif lama untuk proses recovery (pemulihan kembali)-nya kelak. (bersambung)
Betapa efek perang ini sungguh dahsyat karena berdampak selain kelumpuhan menyeluruh bagi negara bangsa, juga membutuhkan biaya tinggi dan perlu waktu yang relatif lama untuk proses recovery (pemulihan kembali)-nya kelak. (bersambung)