Perang Asimetris: Antara Soekarno Dan Soeharto (2)


Sifat perang ini adalah antikekerasan (non violence). Namun kredo ini bukanlah harga mati, sebab bisa saja terjadi kekerasan dalam prosesnya sebagaimana pernah dilakukan pengunjuk rasa di awal-awal konflik Syria dulu, dimana massa sudah menggunakan senjata bahkan telah berani menyerang instalasi militer.  Kendati akhirnya konflik Syria berubah menjadi hybrid war bukan lagi asymmetric warfare, perlu dipahami dibersama, bahwa kredo awal antikekerasan dalam perang nirmiliter maksudnya tanpa ada bunyi peluru, atau tidak ada asap mesiu pada proses pergerakannya. Ia lebih mengandalkan taktik dan strategi (smart power) dalam hal ini adalah pengerahan massa, “dukungan publik,” terutama penciptaan (rekayasa) opini melalui media-media baik media cetak, eletronik, online maupun media sosial, dan lain-lain.

Ada dua bentuk atau model dalam peperangan asimetris. Pertama, melalui aksi massa di jalanan dalam rangka menekan target sasaran; kedua, melalui meja para elit politik dan pengambil kebijakan negara agar setiap kebijakan yang diterbitkan sejalan, selaras, dan senantiasa pro asing. Arab Spring misalnya, adalah contoh riil perang asimetris yang digelar oleh Barat (Amerika dan sekutu) bermodel ‘gerakan massa’ dalam rangka menurunkan rezim dan elit penguasa di Jalur Sutera. Hasilnya? Ben Ali di Tunisia pun jatuh, Ali Abdullah Saleh di Yaman terbirit-birit, Hosni Mubarak di Mesir tumbang, dan lain-lain. Kendati aksi massa dimaksud merupakan langkah kedua, setelah —langkah pertama— ditabur terlebih dulu stigma tentang kemiskinan, korupsi, pemimpin tirani, dsb sebagai isue gerakan.

Termasuk dalam hal ini adalah “Gerakan Mei 1998”  merupakan ujud peperangan nirmiliter di Indonesia via aksi massa. Ia bukanlah murni gerakan moral mahasiswa turun di jalanan, kenapa? Betapa aksi tersebut sudah ditumpangi oleh berbagai kepentingan baik internal dan eksternal, terutama kepentingan (kolonialisme) asing guna menjatuhkan rezim Orde Baru. Bahkan Karen Brooks, penulis Amerika mengisyaratkan, sesungguhnya Arab Spring itu meniru aksi massa pada Mei 1998 di Jakarta yang bertajuk gerakan reformasi. Itulah jenis dan contoh pertama peperangan asimetris bermodus: “Aksi Massa Jalanan”.


11 September 1973, melalui kudeta militer dengan kode “Operasi Jakarta”, Jendral Augusto Pinochet Ugarte menyingkirkan presiden sosialis Salvador Allende hasil pemilu 1970. Sejak saat itu juga boleh dibilang tidak ada tempat sama sekali bagi kekuatan-kekuatan oposisi dan institusi-institusi demokrasi di Cile. Sebaliknya, khususnya kekuatan-kekuatan “Kiri”, baik dari partai politik, organisasi masyakarat maupun masyarakat pada umumnya yang dianggap musuh negara tidak lepas dari sasaran “pembersihan” rejim militer. Kudeta ini merupakan skenario yang diterapkan ulang oleh CIA saat menggulingkan Soekarno. (bersambung)

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait