Kopassus |
Terorisme maupun ideologi teror sejenis lainnya tidak mungkin berhenti bila ideologinya tak diubah dengan ideologi yang benar.
Demikian disampaikan pengamat militer dan intelijen, Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, kepada Kantor Berita Politik RMOL beberapa saat lalu (Selasa, 28/3).
Pernyataan Susaningtyas ini terkait dengan peringatan Hari Ulang Tahun Komando Pasukan Khusus (Kopassus) ke-63. Kini, di bawah kepemimpinan Mayjend Doni Monardo, salah satu konsentrasi Kopassus adalah menangani masalah terorisme.
"Jadi bagi Kopassus bilapun ada gangguan nyata dan ancaman faktual yang dibunuh kemauan atau hasrat perang dan ideologinya yang berbahaya bagi kedaulatan NKRI," ungkap Susaningtyas.
Susaningtyas pun mengingatkan bahwa suatu keniscayaan dan memang penting, dalam menangani terorisme, adalah melibatkan masyarakat sebagai agen informal dalam early warning system atau early detection.
"Kopassus tak punya musuh. Musuhnya adalah musuh negara," tegas Nuning, begitu Susaningtyas disapa.
Susaningtyas menjelaskan bahwa Kopassus termasuk lima pasukan khusus terbaik di dunia yang memiliki ciri khas kemampuan khusus seperti gerak cepat di setiap medan, menembak tepat, pengintaian, perang hutan, buru senyap, survival, para dasar dan anti teror. Misi dan tugas Kopassus bersifat rahasia sehingga mayoritas kegiatan tugasnya tak pernah diketahui secara menyeluruh.
Sementara itu, tugas pokok Kopassus adalah membantu Kasad dalam membina fungsi dan kesiapan operasional pasukan khusus serta menyelenggarakan Operasi Komando, Operasi Sandi Yudha, Operasi Penanggulangan Teror dan Operasi Khusus lainnya terhadap sasaran strategis terpilih baik di dalam maupun di luar wilayah yurisdiksi nasional Indonesia sesuai perintah Panglima TNI dalam rangka mendukung tugas pokok TNI.
Seiring dengan pergeseran ancaman yang dihadapi pasukan khusus militer secara global, di bawah Mayjend Doni Monardo, perlahan tapi pasti, Kopassus bermetamorfosa menjadi pasukan khusus yang meski pun tetap memiliki ketangkasan dan kehebatan militer khusus serta operasi Sandi Yudha tetapi lebih humanis dan strategis . Hal ini dikarenakan adanya kesadaran penuh bahwa era perang tradisional yang mengandalkan otot bisa dikatakan hampir tak ada lagi.
"Hal yang kini harus "diperangi" adalah berbagai ancaman faktual dan gangguan nyata berupa perang cyber, perang proxy, terorisme dan lain-lain," demikian Susaningtyas(RMOL)