TNI AU harus segera memikirkan apa pengganti F-15E/F Tiger II Skadron Udara 14 yang akan segera (baca: harus) pensiun beberapa tahun mendatang. Paling tidak ya tahun 2012 atau dua tahun lagi, menurut hemat saya TNI AU harus sudah mengantongi keputusan final, calon mana yang akan diajukan ke pemerintah (Kemhan). Berdasakan kajian menyeluruh, apakah akan menguntungkan bila kita melanjutkan penggunaan F-16,sebagaimana telah sukses ditunjukkan oleh Skadron Udara 3? Ataukah kita pilih dan gunakan pesawat format baru berteknologi terkini?
KSAU menyebut, tim pengkaji pesawat untuk pengganti F-5 kemungkinan akan menjajaki penempur ringan multirole JAS 39 Gripen b uatan Swedia (wawancara dengan Angkasa, Maret 2010). Soal mana nanti yang akan dipilih, tentu harus merupakan hasil kajian ditinjau dari berbagai aspek menyeluruh tadi. Ia pun mengaku tidak berani langsung main tunjuk dan asal pilih. Dan yang jelas, pemerintah pula yang akhirnya akan memilih dan memutuskan.
Mengenai JAS 39 Gripen, patut kiranya sosok pesawat tempur ringan ini dicermati. Gripen masuk kategori andalan karena, misalnya, pesawat ini mampu membawa beragam persenjataan maut buatan AS maupun buatan Eropa. Pesawat juga punya kemampuan multirole atau swingrole yaitu mampu melakukan peran tugas Air-to-Air (Jakt), Air-to-Ground (Attack), dan Reconnaisance (Spaning) --disingkat JAS. Amat cocok untuk patroli udara, patroli darat, maupun patroli lautan. Tak salah bila pihak pembuat kemudian mengampanyekan penempur ini sebagai: Wings of Your Nation.
Persenjataan yang bisa dibawa Gripen meliputi AIM-9/IRIS-T, AIM-120/MICA, Skyflash/Meteor, Rb.75, KEPD.350, Paveway, Rbs-15 Antiship Missile, Cluster Bomb, Mk.82, dll. Lengkap dan dapat diandalkan.
Soal harga, mungkin harus dikonfirmasi dan dikomparasi ulang. Pada awal terbit, JAS 39 disebut-sebut punya harga lebih murah dari harga F-16. Namun, untuk seri Gripen C/D atau NG (Next Generation yang menggunakan mesin pesawat F/A-18E/F Super Hornet), harganya berkisar di 40-60-an juta dolar. Apakah betul? Artinya setara dengan harga satu unit penempur kelas berat Sukhoi Su-30?
Akan tetapi, tetap ada beda hitungan bila dibandingkan dengan Sukhoi atau F-16 sekalipun. Dalam hal operating cost misalnya, Gripen pasti lebih murah karena hanya menggunakan satu mesin, yang artinya biaya untuk suku cadang, perawatan, dan operasional juga akan setengah dari budjet pesawat dua mesin. Itu sebabnya, satu literatur asing pernah menjelaskan bahwa, dengan kemampuan sekelas F-16, Gripen punya biaya operasional/perawatan setengah dari biaya yang dibutuhkan oleh F-16. Tim pengkaji jelas harus membuktikan secara detail klaim tersebut.
Dari segi populasi maupun jaminan pemeliharaan yang sudah worldwide, F-16 jelas lebih menjanjikan. Untuk masalah perawatan atau suku cadang, pesawat ini tidak perlu melulu ke Amerika. Namun ke negara-negara yang sudah di-approve oleh Amerika dan itu jumlahnya banyak. Tapi pada kenyataannya, toh kita juga tak bisa berbuat apa-apa manakala diembargo oleh Amerika selaku negara penjual. Apakah embargo militer akan kembali terulang untuk negara kita? Tidak tahu. Sementara kalau kita pakai Gripen, artinya kita akan mulai dengan sistem baru. Mulai dari pelatihan mekanik, pelatihan pilot, penyediaan sistem pemeliharaan, dan sebagainya. Mungkin ini tidak akan jadi masalah bila kita mau bertekad untuk itu. Toh punya Sukhoi juga merupakan sistem baru buat kita setelah kurang lebih empat dekade kita tidak mengoperasikan pesawat Rusia lagi.
Penggunaan pesawat lightweight fighter berkemampuan ekstra dalam hal kemampuan bawa senjata dan performa terbang, merupakan salah satu faktor penting yang dibutuhkan oleh negara kepulauan seperti indonesia. Untuk mengejar musuh, Gripen masih bisa diandalkan karena mampu melesat pada Mach 2 dan mencapai ketinggian terbang maksimum 50.000 kaki. Jarak jelajah Gripen juga terbilang besar yakni mencapai 3.200 km (dengan drop tank), lebih-lebih pesawat ini juga punya alat untuk air refueling.
Dibandingkan dengan F-16 dalam beberapa hal kemampuan Gripen memang masih kalah tipis. Masalahnya dibandingkan dengan F-16 varian yang mana? Kalau dengan F-16 yang kita punya sekarang ini, ya jelas Gripen lebih unggul. Bila mengukur kemampuan keuangan negara (seperti yang digembar-gemborkan), kemungkinan besar TNI AU juga tidak akan diberi F-16C/D tercanggih Block 52/60 seperti Singapura atau UEA. Amat jauh lah. Namun bisa jadi paling banter adalah tipe C/D Block 30 bekas pakai. Seberapa lama bekas pakainya? Tentu juga harus dipertimbangkan karena nanti kita akan kena beban perpanjangan usia dsb.
Lebih-lebih, bila misalnya beli F-16 C/D juga tidak lengkap satu paket dengan persenjataannya. Ketika negara lain sudah melengkapi diri dengan senjata-senjata BVR (beyond visual range), kita masih mengandalkan Sidewinder yang masuk kategori rudal udara ke udara jarak pendek. Lebih baik beli pesawat brand new yang ditawarkan lengkap dengan persenjataannya satu paket. Baru setelah itu kita hitung, mampunya kita beli berapa? Yang ideal sih cara hitungnya dibalik saja. Kita butuh berapa banyak, baru setelah itu disediakan anggarannya sesuai kebutuhan itu.
Thailand merupakan negara yang akhirnya memutuskan memilih JAS 39 Gripen sebagai pengganti armada F-5 mereka dengan membeli 12 Gripen. Selain digunakan oleh Thailand, Gripen lebih dulu sudah digunakan oleh Swedia, Rep. Czech, Hungaria, Afrika Selatan, dan juga Inggris beberapa unit untuk pesawat latih. Sebanyak 236 Gripen telah dipesan hingga tahun 2008. Pesawat yang prototipenya terbang pertama kali tahun 1988, lalu diperkenalkan kepada umum tahun 1996, dan mulai dikembangkan untuk varian ekspor sejak tahun 2005 ini memang patut untuk dikaji. Bolehlah TNI AU bermimpi dulu sebelum diputuskan akan diberi atau tidak anggarannya oleh pemerintah.