Ternyata Ini Penyebab Sipadan dan Ligitan Lepas dari Indonesia

Andi Ahmad Yani PhD, Dosen Fisipol Unhas/Ketua Masika ICMI Sulsel 2011-2014, Melaporkan dari Den Haag 

Sangat beruntung saya bisa masuk dalam Gedung ICJ di Den Haag, Belanda (Jumat, 13/2 pagi wita atau Kamis, 11/2 waktu Belanda).

ICJ adalah International Court of Justice atau Mahkamah Internasional. Di gedung inilah, Pulau Sipadan dan Ligitan diputuskan menjadi milik Malaysia.

Untuk masuk gedung ini harus mengajukan surat permohonan. Kami mengurusnya sejak dua bulan lalu.

Setiap calon pengunjuk diseleksi. Harus kirim pasport, CV, dan membuat motivation letter (alasan mengapa tertarik masuk ke peace palace).

ICJ adalah satu-satunya lembaga PBB, dari enam komponennya, yang berkantor di luar New York, Amerika Serikat.

Saat ini ada 15 hakim yang dipilih menurut wilayah (Western, Asia, Afrika, Amerika Tengah, dan Eropa Timur).

Masa tugas hakim sembilan tahun dan bisa dipilih lagi.

Sayangnya, belum pernah ada hakim dari Indonesia yang bertuigas di ICJ. Selama ini Asia diwakili hakim dari Jepang dan China.

Tak Bertuan

Dari ICJ, saya ke mengikuti diskusi di KBRI bersama Plt Dubes Indonesia untuk Kerajaan Belanda. Lepasnya Pulau Sepadan dan Ligitan dari Indonesia menjadi materi diskusi.
Pak Dubes adalah anggota tim saat kasus tersebut diajukan di Mahkamah Internasional, 2002 silam.

Saya baru paham permasalahan sebenarnya yang menyebabkan dua pulau itu dinyatakan milik Malaysia. Selama ini, saya hanya tahu dari media dengan informasi yang sangat terbatas.

Dalam diskusi terungkap, dua pulau mulai dipersoalkan tahun 1989, zaman Presiden Soeharto. Tapi pembahasannya vakum dan baru mengemuka lagi tahun2000-an.

Dalam dokumen pemetaan, Indonesia dan Malaysia sama-sama tidak menyebut pulau ini masuk dalam wilayah masing-masing. Jadi kedua pulau itu tak bertuan.

Awalnya dibahas secara bilateral dan di ASEAN. Tapi Malaysia tidak mau membahas di tingkat Asean karena juga sedang memiliki kasus perbatasan dengan dua negara anggota Asean sehingga Malaysia sudah menduga akan kalah jika kasus dua pulau itu dibahas di Asean.

Akhirnya Indonesia dan Malaysia sepakat menyelesaikan kasus dua pulau itu secara hukum, bukan politik (Asean) setelah sebelumnya dilakukan lobi antarkedua negara.
Pemerintah Indonesia bahkan membentuk tim khusus mulai dari pakar sejarah, hukum internasional, dan intansi lain yang terkait (kemenlu, TNI, Kementerian kelauitan dan perikanan, serta ESDM)

Kasus yang diajukan ke ICJ biasanya sifatnya voluntary dan kedua pihak harus sepakat menerima apapun hasilnya. Keputusan ICJ bersifat final tanpa banding, seperi MK di Indonesia.

Diajukanlah kasus dua pulau itu ke ICJ dengan kesadaran dua pihak (Indonesia dan Malaysia) untuk menyelesaikannya karena berpotensi menganggu hubungan bilateral antarbangsa.

Prosesnya cukup lama, sekitar dua tahun. Indonesia menyewa pengacara khusus untuk kasus itu karena di Indonesia belum ada pengacara dan pakar hukum internasional yang berpengalaman berperkara di ICJ.

Indonesia didampingi pengacara dari Belanda, Perancis, dan Amerika Serikat untuk menghadapi pengacara dari Inggris yang mendampingi Malaysia dalam sidang ICJ.
Indonesia mengajukan bukti bahwa pulau ini bagian dari NKRI berdasrkan perjanjian Juanda demham menarik garis dari lintang tanpa batasan.

Indonesia juga memperlihtkan bukti kapal induk Belanda pernah berpatroli ke sekitar dua pulau itu, dengan asumsi kalau Belanda pernah ke daerah ini, maka berarti milik Indonesia.

Malaysia mengajukan bukti bahwa kedua pulau ini bagian dari Malaysia dengan dasar perjanjian Sultan Sulu dengan Inggris yang selanjutnya menjadi wilayah Malaysia setelah merdeka dari Inggris.

Malaysia juga memperlihaykan bukti bahwa Inggris pernah melakukan penarikan pajak ke peternak penyu di pulah itu pada tahun 1930.Ada juga mercusuar dengan tulisan "dibangun oleh Inggris".

Hakim ICJ menolak bukti Indonesia karena perjanjian Juanda hanya mengatur pembagian darat, bukan.laut.

Hakim juga menolak bukti Malaysia soal perjanjian Sultan Sulu dengan Inggris.

Tapi hakim ICJ menyatakan kedua pulau ini menjadi milik Malaysia dengan dasar efektifity dimana ada asas kedaulatan yamg pernah dilakukan di pulau ini sebelum perjanjian Juanda, khususnya penarikan pajak oleh Inggris sejak 1930-an.

Dari 17 hakim ICJ, 16 mendukung putusan dan hanya satu dissenting opinion.

Dengan kata lain, pulau ini adalah milik Malaysia karena dulu Inggris pernah melakukan kegiatan secara hukum (penarikan pajak) di pulau ini.

Penarikan pajak itulah penyebab Pulau Sipadan dan Ligitan keluar dari Indonesia dan resmi menjadi milik Malaysia.

Meski demikian, efek dari keputusan ini bukan berarti jumlah pulau di Indonesia berkurang karena memang sebelmnya pulau itu tidak pernah diidentifikasi sebagai bagian Indonesia. Bahkan nanti ketahuan bahwa ada dua pulau seperti pada tahun 1989 ketika saat Indonesia dan Malaysia membuat pendataan perbatasan.

Kedua, kasus kedua pulau itu unik dan setelah didata, tidak ada lagi pulau yang menjadi sengketa dengan negara tetangga.

Peserta diskusi memastikan bahwa kasus dua pulau itu kasus pertama dan terakhir.

Ada pulau di dekat Filipina, setengah hari dari Filipina dan sehari semalam perjalanan laut dari Indonesia.

Ada juga pulau di dekat Australia, Pulau Pasir, yang pernah diminta oleh LSM di NTT supaya masuk wilayah Indonesia karena mayoritas penduduknya dari NTT.

Kemenlu menegaskan bahwa itu tidak bisa dijadikan dasar pulau itu menjadi milik Indonesia. Pulau itu hak Australia dan sudah menjadi kesepakatan antarwilayah.(*)

Sumber : TRIBUNEWS

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait