Terbunuhnya Raja Faisal, Sang Reformis dari Saudi

Raja Faisal

Raja Faisal, penguasa ketiga Arab Saudi, adalah seorang reformis, modernis, pro-Palestina garis keras, dan pendukung pan-Islamisme. Akhir hidupnya tragis: dibunuh keponakannya sendiri.

Jadwal kegiatan Raja Arab Saudi Faisal bin Abdulaziz Al Saud pada 25 Maret 1975 adalah menyambut delegasi dari Kuwait. Dalam acara kenegaraan resmi di Riyadh ini, Sang Raja direncanakan akan menjamu tetangganya di bagian majlis Dewan Kementerian, tempat ia biasa menerima kunjungan dari rakyatnya. Hari itu keponakan Raja Faisal, Faisal bin Musaid, juga terlihat di tempat penyambutan delegasi. 

Delegasi dari Kuwait dipimpin oleh Abd al-Mutalib al-Kazimi, Menteri Minyak Kuwait. Sebelum bertemu dengan Raja Faisal, al-Kazimi bertemu dengan Menteri Minyak Arab Saudi Ahmed Zaki Yamani. Yamani memberitahu bahwa Raja Faisal akan tiba di kantor pukul 10.25 tepat. Yamani menegaskan bahwa Raja Faisal adalah orang yang disiplin. Sambil setengah bergurau, ia meminta al-Kazimi untuk memantau jam tangannya. Tepat di waktu yang Yamani sebutkan, Raja Faisal benar-benar muncul di tempat perjamuan. Kala itu ia hanya dikawal oleh satu pengawal.

Yamani pamit kepada rombongan delegasi Kuwait untuk mendatangi Raja Faisal, lalu terlihat berbisik-bisik sebentar. Kru televisi sudah merekam segala yang terjadi sejak sebelum rombongan dari Kuwait datang. Termasuk saat Faisal bin Musiad menyalami salah satu delegasi dari Kuwait yang pernah saling bertemu di Colorado. 

Semua terlihat normal. Hingga pada pukul 10.32, saat Raja Faisal berjabat tangan dengan jajaran kementerian Kuwait, Faisal bin Musaid tiba-tiba mengeluarkan senjata api jenis revolver dari jubahnya dan menembak Raja Faisal dari jarak dekat. 

Peluru pertama mengenai kepala Raja Faisal, di dagu dan sebagian melukai telinga. Raja Faisal segera jatuh ke lantai, sementara Faisal bin Musiad masih menembakkan senjatanya beberapa kali, tapi kebanyakan mengenai tembok. Pengawal Raja Faisal berusaha merebut senjata dari tangan Faisal bin Musiad dengan mengarahkannnya ke udara. Rombongan pengawal kerajaan lain terburu-buru memasuki tempat kejadian perkara dan mengamankan Faisal bin Musiad dengan cara diikat.

Salah seorang pengawal berupaya untuk menghabisi nyawa Faisal bin Musaid dengan sebilah pedangnya. Namun ia mundur setelah Yamani berteriak agar nyawa Faisal bin Musaid diampuni. 

Raja Faisal yang dalam kondisi kritis segera dilarikan ke rumah sakit. Ia bisa sampai dengan nyawa masih melekat di tubuh. Raja Faisal sempat membisikkan sesuatu di tengah napasnya yang makin berat: agar Faisal bin Musiad jangan dieksekusi mati. Dokter bedah terbaik di rumah sakit tersebut telah berusaha maksimal, namun takdir berkata lain. Raja Faisal mangkat di hari itu juga. 

Balas Dendam Pangeran Bengal

Seperti ditulis dalam buku King Faisal: Personality, Faith and Times karya Alexei Vassiliev (2016) yang memuat detail pembunuhan tersebut, beragam teori konspirasi muncul. Terutama di hari-hari usai acara pemakaman Raja Faisal. Publik mereka-reka apa yang membuat sang pelaku begitu nekad. Terlepas dari itu semua, rakyat Arab Saudi jelas marah. Demi tegaknya keadilan, wasiat sang raja pun dikesampingkan. 

Siang hari tanggal 8 Juni 1975, Faisal bin Musaid dipancung di depan ribuan rakyat Arab Saudi di Riyadh. Saudaranya, Bandar, yang dituduh turut berkonspirasi dalam pembunuhan itu, dipenjara selama satu tahun sebelum dibebaskan.

Laporan awal di pengadilan, sebagaimana tertera dalam buku The Book of Assasins: A Biographical Dictionary from Ancient Times the Present karya George Fetherling (2001), menjelaskan bahwa Faisal bin Musaid adalah orang yang tak waras. Saat ia dipindahkan ke sebuah penjara di Riyadh, ia dianggap cukup waras untuk mengikuti pengadilan. Pengadilan kala itu langsung memutuskan bahwa Faisal bin Musaid bersalah dan dijatuhi hukuman mati.

Keyakinan bahwa jiwa Faisal bin Musaid tak stabil hingga bisa membunuh dikaitkan dengan rekam jejaknya sebagai pecandu narkotika dan dendam pribadinya kepada Raja Faisal. Sebelum terjadi pembunuhan, Faisal bin Musaid baru saja pulang dari luar negeri. Ia adalah saudara termuda dari Khalid bin Musaid, pangeran Arab Saudi yang terbunuh 10 tahun sebelumnya akibat mendalangi penyerangan ke stasiun televisi Riyadh. Ia menempuh studi di Amerika Serikat, negara kawan Arab Saudi untuk urusan dagang minyak. 

Sayang, Faisal bin Musiad bukan tipe mahasiswa berprestasi. Ia bahkan sempat pindah kampus lebih dari sekali. Rekam jejak di luar kampus juga termasuk buruk. Saat masih menjadi mahasiswa di Universitas Colorado di tahun 1969, Faisal bin Musaid pernah ditangkap aparat kepolisian setempat sebab turut berkonspirasi dalam penjualan obat-obatan terlarang. 

Ia juga pernah terlibat dalam setidaknya satu kali perkelahian di bar. Otoritas Arab Saudi selalu berusaha keras agar Faisal bin Musaid tak dipenjara. Saat beberapa kali ke Beirut, ia juga ketahuan berkumpul dengan para pecandu narkotika. Saat pulang ke Arab Saudi di tahun 1971, Raja Faisal melarangnya pergi ke luar negeri. Tujuannya tentu saja agar Faisal bin Musaid tak mempermalukan keluarga kerajaan lebih jauh lagi.

Sebagaimana dipaparkan dalam arsip Daily News, sejumlah media di Beirut kala itu menawarkan sejumlah penjelasan mengapa serangan itu terjadi. Salah satu yang mendukung teori balas dendam pribadi adalah koran Al Bayraak. Koran ini mengkalim ada sumber dari Saudi yang berkata bahwa Raja Faisal melarang Faisal bin Musaid meninggalkan negara itu karena penggunaan alkohol yang berlebihan dan konsumsi obat-obatan selama ia berada di luar negeri.

Koran Beirut lain, An-Nahar, melaporkan bahwa Raja Faisal telah mengabaikan protes terhadap kurangnya uang saku $3.500 per bulan yang diterima oleh Faisal bin Musaid, sehingga akhirnya ia nekad. Ada juga kemungkinan bahwa upaya pembunuhan itu adalah taktik untuk meruntuhkan tahta Wangsa Saud, karena Faisal bin Musaid dijadwalkan akan menikahi putri Saud (Putri Sita) di minggu yang sama.



Reformis yang 'Berbahaya'

Teori lain yang dipaparkan An-Nahar mengungkapkan bahwa pembunuhan tersebut sudah direncanakan jauh-jauh hari dan sejumlah media Arab menyatakan bahwa pembunuhan itu dilakukan atas perintah dan arahan dari Badan Intelijen Pusat AS, CIA. Di sisi lain, Raja Faisal sangat pro-kemerdekaan Palestina, dan tentu saja sepaket dengan sikap anti terhadap pendudukan ilegal Israel. Israel, sebagaimana diketahui, disokong penuh oleh AS.

Usai PBB mengeluarkan resolusi pemecahan wilayah Palestina untuk pendirian Israel, Faisal kala itu mendesak ayahnya, Raja Abdulaziz, untuk memutus hubungan dengan AS. Namun, ayahnya tak merealisasikan keinginan itu sebab Arab Saudi sedang berhubungan dagang dengan AS. Sebelum Raja Faisal naik tahta, kekuasaan berada di saudara laki-lakinya Raja Saud bin Abdulaziz Al Saud. Saud adalah raja yang penuh skandal, salah satunya skandal keuangan yang merugikan baik negara maupun kerajaan. 

Setelah Saud digulingkan karena tak kompeten, Faisal yang menggantikannya mulai 2 November 1964 segera tancap gas untuk membuat kebijakan-kebijakan luar negeri yang pro-Palestina. Ia menyerukan agresi militer melawan Israel untuk membela Al-Quds (Yerussalem) dan menghentikan pemekaran wilayah Israel. Semangat ini disambut baik oleh Mesir dan Suriah. Ketiganya kemudian membentuk koalisi militer melawan Israel yang disokong AS.

Koalisi ini pada awalnya berada di atas angin. Pasukan ketiga negara mampu menguasai arena pertempuran apalagi setelah sukses memukul mundur pasukan Israel dari Syam. Namun, semuanya berubah saat mereka berencana mamasuki wilayah Israel. AS tiba-tiba mengumumkan ancaman penyerbuan ke Mesir jika serangan itu benar-benar diwujudkan. Mesir takut, dan sang Presiden Gamal Abdul Naser terpaksa menarik pasukannya.

Raja Faisal marah besar. Ia tak memedulikan segala intimidasi dan menyerukan perang ekonomi dengan AS, yakni dengan cara mengembargo ekspor minyak Arab Saudi ke AS. Sikap tegas ini tak ditanggapi dengan semarak oleh negara-negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (N.A.T.O) yang mendukung AS. Mereka khawatir kena embargo juga. Dampak dari embargo itu tak main-main. Sektor industri dan transportasi AS lumpuh dan perekonomiannya kacau hingga memicu krisis berkepanjangan. 

Selain diingat sebagai pemberani, Raja Faisal juga dikenal sebagai seorang reformis yang membawa banyak perubahan bagi rakyat Arab Saudi. Ia memodernisasi negaranya dengan banyak kebijakan baru yang tak pernah dikeluarkan raja sebelumnya. Salah satunya adalah menggalakkan program penghapusan budak dengan cara membeli seluruh budak di Arab Saudi memakai uang pribadinya. Sejak saat itu perbudakan dilarang di Arab Saudi.

Raja Faisal juga melakukan penyederhanaan gaya hidup keluarga kerajaan dan melakukan penghematan kas kerajaan dengan menarik 500 mobil mewah Cadillac milik istana. Dana dari hasil program itu, salah satunya, dialihkan untuk pembangunan sumur-sumur raksasa hingga sedalam 1.200 meter sebagai tambahan sumber air rakyat untuk dialirkan pada lahan-lahan tandus di semenanjung Arab.

Ada banyak lagi kebijakan berbasis reformasi dan modernisasi yang mengubah wajah Arab Saudi dan menjadi pondasi yang diletakkan serta diteruskan hingga Raja Salman yang kini berkuasa. Barangkali kecuali satu hal: sikap berani menentang agresi militer Israel plus negara adidaya di belakangnya. 

Sumber : Tirto.id

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait