Proyek kereta cepat rencananya menelan biaya Rp75 triliun. |
Kontroversi pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung masih terus berlanjut meski sudah dilakukan peresmian dimulainya proyek ini oleh Presiden Joko Widodo.
Kontroversi terbaru muncul dari Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Hermanto Dwiatmoko, yang mengatakan bahwa rancang bangun proyek KA cepat yang diajukan PT kereta Cepat Indonesia China ternyata hanya 60 tahun.
Padahal Indoensia menginginkan masa pakainya bisa setidaknya 100 tahun.
Disebutkan, dengan hak operasi selama 50 tahun oleh PT KCIC, maka pemerintah indonesia hanya akan memiliki sisa masa operasi 10 tahun saja.
Ditambahkan Hermanto, jarak antara as rel yang diajukan hanya 4,6 meter, padahal menurut perhitungan Kemenhub, untuk kecepatan 350 km/jam dibutuhkan jarak as rel minimal 5 meter.
Karena itu Kemenhub mengembalikan dokumen rancang bangun dan belum mengeluarkan izin pembangunan.
Namun juru bicara kepresidenan, Johan Budi, menyebut simpang siur soal kereta cepat ini masalahnya hanya pada informasi yang tidak utuh dan 'sepotong-sepotong.'
"Penjelasan yang tidak utuh itu memunculkan kesan seakan ada pertentangan tajam antara Kementerian Perhubungan dan kementerian BUMN. Soal izin, misalnya, bener nggak belum ada izin..." papar Johan Budi.
Jadi sebetulnya bagaimana?
"Sudah. Groundbreaking kan syaratnya sudah ada izin trase. Itu sudah diberikan Menteri Perhubungan. Lalu Amdal, itu sudah ada, disebutkan oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan..."
"Maka berlangsung groundbreaking. Dan sesudahnya ada pembicaraan lanjutan, juga kritik, itu masukan bagi Presiden."
Itu sebabnya, kata Johan Budi, Presiden meminta Menteri BUMN Rini Soemarno untuk memberikan penjelasan menyeluruh kepada publik.
Sekadar manajemen informasi?
Namun pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo menilai, persoalannya bukan sekadar manajemen informasi. Menurutnya, proyek kereta api cepat Jakarta Bandung ini memang penuh persoalan.
"Dari sisi policy, terburu-buru. Kemudian ada mal-administrasi. Yakni pengambilan keputusannya melanggar beberapa ketentuan perundang-undangan," tegas Agus.
Menurutnya, ini proyek yang tidak masuk akal, "karena terlalu mahal. Tidak ada swasta yang mau, karena modalnya baru akan bisa kembali mungkin dalam 100 tahun."
Ia menyebut, empat BUMN dipaksakan untuk terlibat dalam proyek itu, yang ternyata sangat memberatkan mereka.
"Jadi menurut saya harus dilakukan studi fisibilitas ulang, lalu Amdal harus diulang juga. Kemudian diteliti lagi perusahaan-perusahan itu apakah memiliki ekuitas yang cukup untuk menanggung seluruh biaya pembangunan dan maintenance and operation-nya nanti."
Suara senada datang dari DPR, yang bahkan menggelar sebuah diskusi yang temanya adalah seruan pembatalan proyek raksasa itu.
Persetujuan DPR
Ketua Komisi VI, Hafisz Tohir tegas menyebut proyek itu harus ditunda.
"Ada aset BUMN yg digunakan sebagai colateral dalam perusahaan konsorsium itu, dan sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi, aset BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan tetapi tetap rezim keuangan negara. Maka keempat BUMN tersebut harus mendapatkan izin DPR untuk menggunakan asetnya sebagai modal kerja atau kerja sama operasi."
Jadi, kata Hafisz Tohir pula, "ada langkah yang harus diselesaikan Kementerian BUMN untuk mendapatkan persetujuan DPR dengan memberikan presentasi lengkap dengan kajian ekonomi serta bisnis plan yang detail."
Disebutkannya, selama ini DPR tak pernah diajak berembuk dan hanya mengetahui kesertaan empat BUMN itu dari media.
Ada pula anggota DPR yang meminta presiden membatalkannya saja dan mengalihkan prioritas pada pembangunan di luar Jawa.
Pembangunan paralel
Juru bicara kepresidenan Johan Budi mengatakan proyek kereta yang dipermasalahkan itu tidak berarti pemerintah mengabaikan pembangunan di luar Jawa.
"Ini informasinya seakan-akan kita hanya membangun kereta Jakarta-Bandung ini. Padahal di Sumatera dibangun jalan, di Sulawesi dibangun jalan, di Lampung dibangun rel. Semuanya dibangun secara paralel. Bedanya, di Sulawesi, Sumatera, Lampung itu, pembangunannya dengan dana APBN. Yang kereta Jakarta Bandung, tidak," kata Johan Budi.
Betapapun, Johan Budi mengakui, berbagai pendapat yang mucul sesudah groundbreaking membuat Presiden lebih memperhatikan lagi proyek itu.
Disebutkannya, presiden mendegar seluruh kritik dan memperlakukannya sebagai masukan.
BBC