AS Sewa Jasa penerbangan Drone Senilai 9,8 Triliun Rupiah

ilustrasi Drone
ANGKATAN Udara Amerika Serikat (AS) menyatakan akan menyewa jasa perusahaan swasta untuk menerbangkan pesawat tanpa awak mereka (drone) di atas Afganistan, Irak, dan Suriah. Langkah ini diambil seiring adanya desakan dari pemerintahan Obama untuk menambah jumlah pesawat tempur untuk membombardir kelompok teroris di ketiga negara tersebut. Ada dua perusahaan yang akan disewa AS untuk mengontrol pesawat tanpa awak mereka. Pertama, Aviation Unmanned, perusahaan veteran kecil yang beroperasi di luar Dallas, Texas, yang menyepakati kontrak pada 24 Agustus.

Kedua, General Atomics, perusahaan kontraktor militer besar di San Diego, California. Perusahaan swasta yang satu ini terkenal karena memproduksi Reaper dan Predator Drone dan dibayar sebesar USD700 juta atau setara Rp 9,8 triliun selama dua tahun terakhir untuk berbagai layanan dukungan drone lainnya. Kontrak mereka disepakati pada 15 April. Perang terus menerus mengakibatkan kelelahan yang teramat sangat pada pilot-pilot AS. Seperti diungkapkan Wakil Kepala Staf Intelijen, Pengawasan dan Pengintaian, Jenderal Robert Otto, para pilot merasa tertekan dan sudah mencapai batasan mereka.
ilustrasi Drone
“Mereka bekerja melebihi batas waktu, sehari 24 jam, tujuh hari seminggu, bertahun-tahun lamanya. Dan, satu-satunya jalan keluar untuk rehat adalah mengambil Formulir DV-214 (form permohonan untuk diberhentikan sementara dari tugas dinas sebagai operator drone). Dan, banyak pilot memutuskan untuk mengambil pilihan itu,” kata Otto, seperti dikutip dari Corpwatch.org.

Dengan menyewa kedua perusahaan swasta itu, AS berharap krisis sumber daya pilot ini bisa diatasi. Sehingga, mereka tidak perlu menunggu pilot-pilot baru menyelesaikan pelatihan yang butuh waktu lama. Belum lagi membuang banyak biaya untuk membangun pangkalan operasi drone baru.

ilustrasi Drone
Musim panas ini, Angkatan Udara AS terpaksa mengurangi jumlah patroli pesawat tempurnya dari 65 menjadi 60, untuk menutup kekosongan yang ditinggalkan beberapa pilot yang masuk tahap pensiun. Meski demikian, Angkatan Udara AS menjelaskan tetap dibutuhkan sedikitnya 400 pilot untuk mengoperasikan drone pada kapasitas yang sama, meski seharusnya operator diharapkan mencapai 1200 orang.

Keputusan ini tidak terlepas dari penolakan beberapa pihak yang menilai, dioperasikannya drone oleh warga sipil (atau pihak swasta) sama saja dengan melanggar hukum internasional. “Angkatan militer harus waspada untuk menghindari pengontrakan kegiatan intelijen ini disalahgunakan warga sipil untuk mengerahkan sejumlah besar pengaruh terkait penargetan dan keputusan pelepasan senjata,” tulis Mayor Keric Clanahan, penasihat hukum untuk Pasukan Khusus AS, dalam sebuah artikel di Air Force Law Review. Menurut dia, sangat penting untuk membatasi pergerakan kontraktor agar tidak terlalu dekat dengan ujung tombak penyerangan.

Sumber: Okezone

Ikuti kami di instagram @militerysindonesia

Artikel Terkait